Ketidakadilan Gender

Hallo teman-teman semua.. kali ini saya akan membagikan materi tentang ketidakadilan gender mulai dari bentuk-bentuknya sampai contoh kasusnya. Materi ini saya dapat di semester 5, mata kuliah sosiologi gender. Kalian dapat membacanya dibawah ini:

Definisi dan bentuk-bentuk ketidakadilan gender

Ketidakadilan gender atau ketidaksetaraan gender adalah segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki yang bersumber pada keyakinan gender. Model sosial ketidaksetaraan perempuan telah digarisbawahi oleh Michelle Rosaldo, dia mendefinisikan ketidaksetaraan sebagai sebuah kondisi di mana perempuan secara universal di bawah laki-laki; di mana laki-laki menjadi dominan karena partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan merendahkan perempuan ke lingkup domestik. Partisipasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik tidak hanya memberikan kenaikan otoritas laki-laki atas perempuan secara universal, namun juga penilaian yang lebih tinggi terhadap peran laki-laki dibandingkan perempuan. (Rosaldo dan Lamphere, 1974). Ketidakadilan gender yang terjadi ternyata lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki, hal ini dapat dilihat di berbagai lingkup, yakni: negara, masyarakat, budaya/keyakinan, tempat kerja/ pabrik, rumah tangga, keyakinan pribadi. Ketidakadilan gender yang dialami perempuan dan terjadi di berbagai bidang kehidupan seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanian, politik, dan keamanan (masih adanya tindak kekerasan terhadap perempuan). Perempuan yang secara statistik jumlahnya lebih besar daripada laki-laki (perempuan 52% dan laki-laki 48%) ternyata:

  1. Tidak mempunyai akses yang sama pada sumber daya pembangunan
  2. Belum berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan
  3. Belum memiliki kontrol yang sama dalam penguasaan sumber daya pembangunan
  4. Belum mendapatkan manfaat yang sama dari hasil-hasil pembangunan.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender:

  1. Stereotip (stereotypes)

Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Biasanya stereotip merugikan pihak lain atau melahirkan ketidakadilan. Sebagai contoh, perempuan bersolek diasumsikan untuk memancing perhatian lawan jenis, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada kasus perkosaan yang dialami perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korban.

  1. Beban Ganda (Double Burden)

Beban ganda (double burden) berkaitan dengan beban kerja, yakni pembagian tugas dan tanggungjawab yang selalu memberatkan perempuan. Adanya anggapan bahwa perempuan secara alamiah memiliki sifat memelihara, merawat, mengasuh dan rajin, mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya, serta menjaga kelangsungan sumber-sumber tenaga kerja produktif, mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak, mencari air, memelihara anak dan lainnya. Beban kerja menjadi dua kali lipat terlebih lagi bagi perempuan yang bekerja di luar rumah.

  1. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan

Marginalisasi merepresentasikan realitas sosial dan material dari banyak perempuan. Ia juga merupakan konstruksi filsafat yang bermakna tidak rasional dan pinggiran. Ketika penulis Marxist menyatakan bahwa marginalitas itu fungsional bagi kapitalisme, teori feminis membantah bahwa marginalitas itu merupakan konsep relasional karena apa yang di anggap sebagai marginal selalu tergantung pada posisi yang di tempati (Moi, 1985). Pemiskinan adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi kaum (biasanya) perempuan. Proses marginalisasi disebut juga sebagai proses pemiskinan, seringkali menimpa baik laki-laki maupun perempuan di sebuah negara karena berbagai peristiwa, misalnya oleh bencana alam, konflik bersenjata, penggusuran, proses eksploitasi atau bahkan kebijakan pembangunan. Pemiskinan berbasis gender ini berbeda jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marjinalitas terhadap kaum perempuan, seperti karena kebijakan pemerintah, interpretasi agama, tradisi dan kebiasaan. Contoh marginalisasi, misalnya banyak buruh perempuan yang menjadi miskin akibat keyakinan pimpinan perusahaan bahwa hanya laki-laki yang cocok menjadi manajer, sehingga promosi dan pendidikan/ pelatihan hanya diberikan kepada laki-laki. Dengan demikian buruh perempuan menjadi terhambat kariernya karena keyakinan tersebut.

  1. Subordinasi (penomorduaan)

Subordinasi perempuan merupakan gambaran sentral dari semua struktur dominasi inter personal, namun feminis memilih lokasi dan penyebab subordinasi berbeda. Teori Kate Millet mengenai subordinasi menyatakan bahwa perempuan merupakan kelas jenis kelamin yang tergantung di bawah dominasi patriarkhis millet (1970). Shulamith Firestone meletakkan subordinasi perempuan ini dalam keterbatasan reproduksi dan kelahiran anak (Firestone, 1970). Antropolog feminis menyatakan bahwa pemisahan dunia publik dan domestik dan penurunan perempuan ke domestik (atau ke alam) mempertegas subordinasi perempuan (Rosaldo dan Lamphere, 1974; Ortner, 1974). Secara umum subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin yang lain. Misalnya keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dan karenanya tidak sederajat dengan laki-laki. Bentuk subordinasi terhadap perempuan antara lain:

  1. Lebih banyak perempuan buta aksara dibandingkan laki-laki
  2. Laki-laki lebih bebas memilih pekerjaan/ profesi ketimbang perempuan
  3. Mengurus pekerjaan rumah tangga dianggap kodrat perempuan.
  4. Kekerasan (violience) terhadap perempuan

Kekerasan dalam bentuk perkosaan, pemukulan, incest (hubungan dengan anak kandung), pelecehan seksual, atau pornografi, teori feminis membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu meliputi segala bidang dan bahwa ia merupakan produk dari budaya patriarkhi di mana laki-laki menguasai institusi sosial maupun tubuh perempuan. Kate Millet menjelaskan bahwa patriarkhi tergantung pada kekerasan yang dilembagakan yang melekat dalam sistem hukum, aborsi illegal dan perkosaan (Millet, 1970). Kekerasan merupakan mekanisme utama dimana relasi kekuasaan yang tidak setara dipertahankan dalam politik. Sosiolog feminis menyatakan bahwa kekerasan adalah bentuk perbedaan kekuasaan dalam perkawinan. Mereka menunjukkan bahwa eksistensi dan skala penganiayaan istri dan kekerasan laki-laki dalam rumah tangga menjadikan persoalan kekerasan domestik sebagai contoh utama kekuatan yang saling berlawanan (negara, uang, hukum, dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin) yang membentuk kehidupan perempuan. Tulisan para feminis mengenai dunia ketiga menggambarkan bagaimana kekerasan digunakan melawan perempuan yang tidak mentaati aturan sosial. Mereka menyatakan bahwa kekerasan laki-laki digunakan untuk mengontrol perempuan di dalam aturan dan perilaku yang diperuntukkan bagi mereka dan menyatakan bahwa kekerasan secara khusus digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksinya, misalnya dalam penggambaran simbolik dan ritual dari hubungan seksual (Brown, 1981). Kekerasan terhadap perempua sama-sama merupakan sarana subordinasi perempuan dan bagian dari dominasi ideologis dan institusional.

  1. Contoh kasus ketidakadilan gender di masyarakat:

Cerita Buruh Perempuan yang Alami Diskriminasi Gender di Lingkungan Kerja

Jakarta – Buruh perempuan masih menghadapi berbagai masalah kekerasan berbasis gender di lingkungan kerja. Bentuk kekerasan ini muncul dalam berbagai wujud. Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih mengatakan, pelecehan seksual termasuk dalam kategori kekerasan berbasis gender. Pelecehan ini menjadi momok bagi setiap buruh perempuan yang bekerja di pabrik. Ia mengatakan, FLBP telah melakukan sebuah penelitian yang didasarkan pada wawancara langsung kepada korban. Setidaknya sudah ada 25 kasus pelecehan seksual yang terjadi sejak tahun 2012. “Beberapa waktu lalu kita lakukan penelitian dengan pendeketan persuasif. Sebenarnya ada enggak sih korban pelecehan di tempat kerja? Lalu diperoleh informasi ada 25 kasus di 25 perusahaan di zona industri. Ini hal yang mengejutkan. Satu saja kasus harus kita hadapi dan menjadi tanggung jawab bersama,” kata Jumisih. Pernyataan ini disampaikannya saat acara peluncuran Sekolah Buruh Perempuan di Aula Balai Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Utara, Jalan Plumpang Semper, Koja, Jakarta Utara, Sabtu (17/12/2016). Terhadap temuan itu, Jumisih kemudian menyampaikan kepada pihak Kawasan Berikat Nusantara di Kawasan Cakung, Jakarta Utara.

Hasilnya muncul kesepakatan untuk membuat sebuah kawasan bebas pelecehan seksual. Menurutnya ini adalah sebuah langkah preventif agar pelecehan kasus seksual tidak terulang. “Kami di FDLP mendekati dan menyampaikan hasil itu di Kawasan Berikat Nusantara. Dari situ kami buat kesepakatan tertulis, pihak kawasan akan mendukung penghapusan pelecehan di tempat kerja. Kami bersama pihak kawasan launching plang yang bertuliskan ‘kawasan bebas dari pelecehan seksual’. Ini tindakan preventif kita agar tidak ada korban kelanjutan,” ujar Jumisih. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pemulihan mental terhadap korban. Jumisih mengatakan banyak buruh perempuan yang tidak menyadari hal itu dikarenakan tidak tahu dan atas dasar ketakutan. “Karena di kalangan buruh tidak mengerti itu adalah pelecehan, kadang juga karena ketakutan. Seperti contohnya tidak dapat menolak ajakan kencan dari atasan. Karena hal itu dilakukan oleh atasan mereka. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia sudah beri dukunganya. Agar upaya isu perempuan ini sama pentingnya ketika kita perjuangkan upah buruh, union busting dan lainnya,” ucapnya.

Luviana seorang mantan reporter dari stasiun televisi swasta juga mengatakan kekerasan berbasis gender juga terjadi di industri media. Ia mengatakan ada diskriminasi dalam perlakuan terhadap sesama jurnalis wanita. “Saya ceritakan kalau dalam hal jurnalis. Ada juga perbedaan perlakuan di antara buruh perempuan. Bagaimana perlakuan reporter di lapangan dengan presenter di studio itu berbeda. Presenter di studio mendapatkan fasilitas yang baik seperti spa dan salon. Sementara reporter di lapangan mengurus diri mereka sendiri,” kata Luviana yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Meski begitu, presenter di studio juga mengalami wujud kekerasan lainnya. Luviana mengatakan, presenter wanita akan sangat dibatasi dalam makan. Bahkan ada seorang presenter yang sehari hanya dibolehkan makan selembar roti tawar agar tidak mengalami masalah berat badan.

Hal lain diceritakan oleh seorang guru, Retno Listyarty yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia. Retno mengatakan, sangat sulit bagi seorang guru perempuan untuk menjadi pemimpin di sekolah. “Di sekolah tempat saya mengajar, mayoritas guru adalah perempuan. Cuma ada 7 orang guru pria. Tapi tetap saja kepala sekolahnya dari kaum pria,” kata Retno. Retno mengatakan, secara umum tidak ada perbedaan yang menjadi tantangan bagi guru dan buruh perempuan. Hal ini termasuk dalam kesulitan berorganisasi. Menurutnya, sebagai seorang perempuan berorganisasi mempunyai kerumitan tersendiri. Karena selain harus aktif dalam organisasi, seorang perempuan juga harus mengurus masalah rumah tangga. “Banyak juga di sekolah yang saat ini kesulitan untuk berorganisasi. Karena mereka harus urus suami dan anak juga. Sehingga gaji yang sudah cukup, membuat mereka enggan untuk menambah beban baru,” tutur Retno yang pernah bersinggungan dengan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini. Meski demikian, Retno beranggapan bahwa berorganisasi adalah kunci untuk dapat memperjuangkan hak-hak buruh perempuan. Dalam acara peluncuran SBP ini, mereka berharap para buruh perempuan bisa mendapatkan penyadaran soal hak-hak. Sekaligus juga dapat saling memberi dukungan dan advokasi.

Tanggapan saya mengenai berita tersebut:

Jadi, didalam berita tersebut ada beberapa ketidakadilan gender. Di dalam berita tersebut membahas 3 kasus sekaligus. Kasus pertama, membahas mengenai buruh pabrik perempuan yang mengalami diskriminasi gender dengan atasanya, yakni buruh pabrik perempuan tersebut sering diajak kencan oleh atasannya yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan buruh pabrik laki-laki tidak diajak kencan bersama. Karena yang mengajak atasannya sendiri, maka buruh pabrik perempuan tersebut tidak dapat menolak. Kasus kedua, adanya diskriminasi di industri media yakni antara presenter di studio dengan reporter di lapangan, presenter di studio mendapatkan fasilitas yang baik seperti spa dan salon, sementara reporter di lapangan mengurus diri mereka sendiri. Presenter wanita akan sangat dibatasi dalam makan. Bahkan ada seorang presenter yang sehari hanya dibolehkan makan selembar roti tawar agar tidak mengalami masalah berat badan. Kasus ketiga, adanya diskriminasi gender yakni lebih banyaknya guru perempuan namun, yang menjadi kepala sekolah tetap guru laki-laki karena jika guru perempuan menjadi kepala sekolah pekerjaannya akan terbagi-bagi dengan pekerjaan rumah tangga seperti mengurus anak dan suami. Dari ketiga kasus tersebut dapat di simpulkan bahwa adanya bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Dari kasus pertama masuk kedalam kekerasan (violience) terhadap perempuan yakni kekerasan seksual oleh buruh pabrik perempuan. Kasus kedua dan ketiga masuk kedalam stereotip yaitu adanya pandangan bahwa profesi yang ada di dunia industri media yang dapat dilihat ditelevisi harus menjaga keindahan tubuh. Dan juga adanya pandangan dari masyarakat bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin di sebuah kantor atau instansinya yang pantas memimpin yaitu seorang laki-laki, karena kodrat perempuan hanya mengurus rumahtangganya bukan yang lainnya, itulah stereotip dari masyarakat.

Sumber:

  1. Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender Dalam Realitas Sosial. Semarang: Unnes Press

www.detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: