Arsip Bulanan: Desember 2017

Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Antropologi Kesehatan, pada semester 5. Berikut materinya:

Ringkasan Berita yang berjudul “Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini”
Di suatu Dusun Datte, Desa Lembang, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan ada seorang warga bernama Hadirah, dia bingung karena sudah seminggu anaknya yang bernama Haslinda, yang belum berumur dua tahun sering menangis di malam hari. Istilah di kampungnya rajo-rajoan. Badannya demam, malas makan dan dari mulutnya keluar bau tak sedap. Ibunya sudah dua kali membawanya ke Puskesmas Pembantu (Pustu) dan diberi sejumlah obat dari petugas kesehatan setempat. Namun sakitnya tak kunjung sembuh. Perawat di Pustu itu yang prihatin karena konsumsi obat modern yang begitu banyak pada bayi itu, kemudian bertanya tentang kemungkinan pengobatan alternatif di kampung tersebut. Hadirah pun teringat pada Sando Pea, atau dukun melahirkan di kampung, yang ternyata tantenya sendiri. Dia datang ke Sando Pea untuk meminta obat-obatan tradisional agar anaknya dapat sembuh dari penyakitnya.
Tanaman-tanaman semak belukar di pinggir jalan ternyata banyak di antaranya yang bisa digunakan untuk pengobatan. Untuk anak-anak yang biasa disebut pembollo, umumnya harus mendapat jampi atau doa dari dukun anak atau Sando Pea dalam masyarakat adat Kaluppini, Sulsel. Pembollo sendiri berarti racikan obat dari berbagai macam tanaman yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengobati berbagai macam penyakit, khususnya pada anak balita. Lanjutkan membaca Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini

Ritual Suku Benuak

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Ritual Suku Benuak, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Antropologi Kesehatan, pada semester 5. Berikut materinya:

Dari video yang saya lihat kemarin menggambarkan ritual yang ada di masyarakat Dayak, salah satunya yakni ritual Suku Benuak, ritual ini bertujuan memberikan rasa nyaman kepada arah supaya lebih baik. Lalu adanya acara Kuangka yang diselenggarakan sampai 18 harian, diacara tersebut dimeriahkan dengan adanya pasar kaget. Hewan yang akan di kurbankan pada acara tersebut yakni hewan kerbau. Kerbau tersebut ketika akan dijadikan kurban, terlebih dahulu di doakan dulu, setelah itu cara agar kerbau itu meninggal dengan cara di bacok dengan menggunakan celurit ataupun pisau yang tajam.
Lalu yang kedua adanya ritual Belian, ritual ini diadakan dengan cara dilaksanakan dirumah warga yang sakit. Orang yang sakit terjadi karena rohnya hilang sebagian, dengan awal gejala orang yang sakit tersebut berbicara pelo. Pada malam harinya ritual Belian pun dilakukan hingga dini hari. Mereka melakukan beberapa ritual dengan mengelilingi Balai hingga delapan putaran lebih. Lanjutkan membaca Ritual Suku Benuak

Melatih Kepekaan Terhadap Artikel “Berbau” Kajian Budaya Dan Kesehatan

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Melatih Kepekaan Terhadap Artikel “Berbau” Kajian Budaya Dan Kesehatan, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Antropologi Kesehatan, pada semester 5. Berikut materinya:

Di suatu desa tempatnya di desa Wawolaa dan Lampeapi, Kecamatan Wawonii, Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara, mempunyai cara tersendiri dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan paska persalinan bagi perempuan. Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacammacam, ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. Oleh karena itu para sando (dukun) selalu mengandalkan pengobatannya dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.

Untuk menangani penyakit dan perawatan pra dan paska persalinan terdapat beberapa tumbuhan yakni dari 73 jenis tetumbuhan, 68 jenis digunakan untuk pengobatan penyakit dan 16 jenis digunakan untuk perawatan persalinan. Beberapa jenis di antaranya mempunyai manfaat ganda. Masyarakat setempat memberikan nama lokal tumbuhan dengan cara yang tergolong sederhana, misalnya untuk jenis-jenis benalu diberi nama susuan tomi, jenis tumbuhan liana berbatang kuning disebut oyong kuni, jenis tumbuhan yang menempel pada tumbuhan/pohon lain namun bukan parasite disebut apa-apa, tumbuhan yang berkhasiat sebagai penutup luka dengan urat putus disebut umpu iya dan lain-lain. Tumbuhan obat ini umumnya merupakan tumbuhan liar di semak-semak belukar, atau gulma di pekarangan dan pada lahan pertanian. Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam perawatan paska persalinan tergolong sedikit dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Di desa Wawolaa diketahui ibu yang baru melahirkan dianjurkan untuk meminum air rendaman abu panas hasil pembakaran di dapur. Menurut mereka air abu ini lebih berkhasiat daripada air rebusan ramuan/racikan jamu. Selama mengkonsumsi air abu ini, ibu tersebut tidak diperbolehkan untuk minum dan makan hidangan yang panas. Lanjutkan membaca Melatih Kepekaan Terhadap Artikel “Berbau” Kajian Budaya Dan Kesehatan

Pola Asuh Dan Sosialisasi

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Pola Asuh Dan Sosialisasi, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi Gender, pada semester 5. Berikut materinya:

A. Pola Asuh Orang Tua
Perilaku mengasuh dan mendidik anak sudah menjadi pola yang sadar tidak sadar keluar begitu saja ketika menjadi orangtua. Oleh beberapa peneliti, perilaku-perilaku ini kemudian di teliti dan muncullah beberapa teori untuk menyimpulkan pola-pola pengasuhan yang berkembang. Berikut empat tipe pola asuh yang dikembangkan pertama kali oleh Diana Baumrind (1967) : Pola asuh Demokratis, Pola asuh Otoriter, Pola asuh Permisif, dan Pola asuh Penelantar.
1. Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
2. Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
3. Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Lanjutkan membaca Pola Asuh Dan Sosialisasi

Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi Politik, pada semester 5. Berikut materinya:

            Kebudayaan Jawa dengan Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta sebagai simbolnya identik dengan kebudayaan yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis, dan aristokratis (Nugroho Trisnu Brata, 2000;63). Tari gambyong, tari srimpi, tari bedhoyo dan tari-tarian yang bersumber dari kedua Kraton Jawa sering menjadi potret atau gambaran budaya Jawa yang halus dan penuh tata krama. Akan tetapi pada masa lalu sebenarnya masyarakat jawa adalah etnis yang keras dan menjadi bangsa penakluk Kerajaan Singasari pernah mengirimkan bala tentaranya untuk menaklukkan Sumatera melalui Ekspedisi Pamalayu. Imperium Majapahit menjadi kerajaan Jawa paling sukses dalam melakukan penaklukan dengan wilayahnya yang meliputi hampir seluruh Asia Tenggara dan lebih luas dari Indonesia. Untuk masa berikutnya, H.J. de Graaf mengatakan bahwa, Kerajaan Mataram berhasil menaklukkan seluruh Pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia, bahkan wilayahnya sampai ke Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Pergeseran kebudayaan akhirnya menjadikan masyarakat Jawa menjadi masyarakat yang budayanya halus dan penuh sopan santun.

Lanjutkan membaca Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-Nilai Dan Etika Masyarakat Jawa

Budaya Pilih Kasih dan Mood-mood’an oleh Guru dalam Proses Belajar Mengajar di SMA

Hallo teman-teman semua kali ini saya akan membagikan materi mengenai Budaya Pilih Kasih dan Mood-mood’an oleh Guru dalam Proses Belajar Mengajar di SMA, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Antropologi Pendidikan, pada semester 5. Berikut materinya:

SMA Negeri 2 Kota Tegal merupakan sekolah saya sewaktu masih duduk di bangku SMA, sekolah saya merupakan sekolah yang biasa-biasa saja, tidak favorit dan juga tidak dalam kategori buangan. Sekolah saya berada di tengah kota sehingga banyak siswa-siswi yang dari luar pulau Jawa dengan berbagai budaya dan agamanya mendaftar di sekolah saya. Walaupun banyak teman yang mayoritas beragama Islam tetapi di sekolah saya belum pernah ada kasus perkelahian antar siswa yang mengatas namakan agama. Semua siswa berteman tanpa melihat budaya ataupun agama, hanya saja terkadang dalam berteman ada sebuah geng-geng tersendiri yang telah dibentuk oleh siswa yang mengetuai geng tersebut. Biasanya di dalam geng tersebut terdapat karakteristik tersendiri dari anggotanya masing-masing. Selain siswa-siswi yang mempunyai karakter berbeda, Guru juga memiliki karakteristik yang berbeda pula, baik itu di dalam mengajar maupun dalam memberikan tugas harian.
Dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas Guru sebagai tenaga pendidik memiliki peranan yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan guru mendidik dan mengajar siswa di kelas yang nantinya akan menjadi tenaga kerja atau sumber daya manusia setelah menyelesaikan sekolah atau study. Dengan kata lain guru sebagai ujung tombak dari pendidikan di sekolah, yang nantinya akan menghasilkan keluaran-keluaran yang berkualitas. Tugas Guru dituntut untuk dapat bekerja secara kompenten. Guru yang kompeten adalah guru yang mampu memenuhi empat karakteristik kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, sosial, pribadi, dan profesional. Dengan adanya kompetensi ini diharapkan semua guru dapat melaksanakan kewajibannya dan memenuhi semua tuntutan atau kriteria dari kompetensi tersebut serta melaksanakan pembelajaran di dalam kelas secara maksimal untuk dapat mendidik, melatih, dan mengajar dengan baik untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Menjadi seorang guru haruslah memiliki karakteristik yang disenangi oleh peserta didik, menurut Kunandar (2007;62), karakteristik guru yang disenangi oleh siswa adalah guru yang : 1) demokratis; 2) suka bekerja sama; 3) baik hati; 4) sabar; 5) adil; 6) konsisten; 7) bersifat terbuka; 8) suka menolong; 9) ramah-tamah; 10) suka humor; 11) memiliki bermacam ragam minat; 12) menguasai bahan pelajaran; 13) fleksibel; 14) menaruh minat yang baik kepada siswa. Akan tetapi tidak semua guru dapat memenuhi semua karakteritik yang dikemukakan diatas. Menjadi seorang guru harus memiliki prinsip sesuai dengan UU No. 14 tentang Guru dan Dosen Bab III pasal 7b yang berbunyi “memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia”. Dalam prinsip tersebut sangatlah jelas bahwa guru harus memiliki komitmen untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan, dan secara tidak langsung guru haruslah dapat melaksanakan kewajiban mengajar didalam kelas dengan sebaik mungkin agar siswa dapat memahami lebih baik sehingga mutu atau kualitas juga akan lebih meningkat. Seorang guru yang baik adalah guru yang berkompeten dan tidak bersikap subjektif ketika melaksanakan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan UU No. 14 pasal 20c yang berbunyi “guru berkewajiban: bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar perimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran”. Dengan adanya guru yang subjektif dalam proses pembelajaran, siswa akan merasa diabaikan sehingga tidak memiliki semangat untuk belajar yang dapat berakibat pada menurunnya pemahaman siswa dalam menerima materi yang diberikan oleh guru. (Susi Suryani, 2013 dalam skripsi)
Guru yang inovatif tentunya memiliki cara atau strategi agar siswa siswinya dapat paham dengan materi yang disampaikan, tidak hanya semata-semata telah melakukan kewajiban mengajar saja. Akan tetapi, dalam proses pembelajaran sebaiknya guru tidak monoton dalam memberikan materi, karena hal tersebut dapat mempengaruhi pola pikir siswa yang mengikuti pembelajaran. Saat pembelajaran dilaksanakan secara monoton tidak bervariasi siswa akan merasa bosan kemudian malas untuk menerima materi yang disampaikan. Guru harus menggunakan metode yang tepat dan bervariasi agar siswa tidak merasa bosan ketika proses pembelajaran.
Pada kenyataannya dalam proses belajar mengajar masih terdapat guru yang sebatas memberikan materi tanpa menjelaskan lebih lanjut materi yang disampaikan. Misalkan guru hanya menuliskan materi di papantulis kemudian menyuruh siswa untuk mencatat. Tidak hanya permasalahan tersebut, masih terdapat pula guru yang meninggalkan jam pelajaran. Guru yang sering meninggalkan kelas akan berakibat pada berkurangnya jam mengajar yang seharusnya dapat digunakan untuk menambah penjelasan materi yang diberikan. Kekurangan jam mengajar dapat berdampak pada ketercapaian pokok bahasan yang seharusnya disampaiakan kepada siswa. Masih rendahnya tingkat kedisiplinan guru yang dapat berdampak pada terhambatnya proses pembelajaran. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya guru yang terlambat datang ke sekolah dan terlambat masuk kelas. Kurangnya partisipasi guru dalam pelaksanaan rapat yang dilaksanakan bagi seluruh guru dan staf atau karyawan dapat meghambat proses pengambilan keputusan atau kebijakan yang diambil oleh sekolah. Terkadang guru tidak mengikuti tanpa memberikan alasan, seharusnya guru dapat melaksanakan peraturan-peraturan yang telah sepakati bersama.
Sesuai dengan pengalaman saya sewaktu masih duduk di bangku SMA, hampir semua Guru jika mengajar menggunakan metode ceramah, yang nantinya akan menjadikan suasana bosen, ngantuk dan lain sebagainya. Jadi, tidak heran jika di dalam kelas banyak siswa siswi yang tidak memperhatikan Gurunya tetapi sibuk sendiri-sendiri. Setelah Guru menjelaskan materinya dengan kontekstual tidak menggunakan contoh-contoh yang terjadi di dalam masyarakat, Guru cenderung memberikan tugas essay yang ada di LKS masing-masing siswa, kadang kala siswa diberi tugas untuk merangkum materi yang jelas-jelas sudah ada di LKS masing-masing siswa. Setelah diberi tugas biasnya Guru pergi keluar, jika tidak biasanya Guru bermain handphone, tidak memperdulikan siswa maupun siswinya paham mengenai materi yang disampaikan atau tidak. Hal ini berdampak ketika akan menghadapi Ulangan Tengah Semester (UTS) ataupun Ulangan Akhir Semester (UAS) yang nantinya banyak siswa-siswi melakukan kecurangan seperti membawa contekan, sampai memfotokopi diperkecil materi-materi yang akan keluar. Hal tersebut saya rasa sudah menjadi tradisi turun temurun yang dilakukan oleh siswa-siswi ketika akan mengahadapi ulangan. Menurut saya hal demikian sebenarnya salah, akan tetapi melihat Guru dengan metode mengajar yang seperti itu tidak sepenuhnya siswa-siswi tersebut salah juga karena Guru cenderung tidak memperdulikan siswa-siswinya untuk paham atas materi yang telah disampaikan.
Selain metode pembelajaran yang membosankan, dalam mengajar Guru juga cenderung pilih kasih terhadap siswa maupun siswinya, seperti contoh jika Guru tersebut laki-laki maka beliau lebih baik, lebih memberikan kesempatan kepada siswi perempuan dan sebaliknya jika Guru tersebut perempuan maka beliau akan lebih berpihak kepada siswa laki-laki. Hal semacam itu masih saya jumpai ketika duduk di bangku SMA. Ketika ada salah satu mata pelajaran yang diampu oleh Guru laki-laki, beliau cenderung menunjuk siswi perempuan untuk maju mengerjakan soal yang sebelumnya soal tersebut telah dijadikan tugas dan telah dikerjakan di rumah, hal tersebut tentunya akan menambah nilai tambah tersendiri sehingga banyak siswi perempuan yang nilainya lebih baik daripada siswa laki-laki. Lalu ketika ada PR (pekerjaan rumah) siswa laki-laki tidak mengerjakan PR tersebut baik itu karena lupa ataupun karena siswa tersebut malas, maka Guru akan memarahi siswa tersebut sebelum siswa tersebut dihukum berbeda dengan siswi perempuan yang hanya di beri masukan sedikit lalu tetap diberi hukuman. Sedangkan ketika Guru tersebut perempuan maka yang akan dibangga-banggakan siswa laki-laki, biasanya Guru lebih mengutamakan siswa laki-laki dalam segala hal, dan biasanya siswa tersebut akan di bangga-banggakan di depan kelas. Ketika ada tugas baik itu dikerjakan di kelas ataupun di rumah, Guru cenderung akan memberikan nilai tinggi kepada siswa laki-laki yang rajin, jika kepada siswi perempuan walau dia rajin tetap akan diberi nilai dibawah siswa laki-laki tersebut. Hal demikian tidak seharusnya ada, karena semua murid juga berhak mendapatkan pelayanan dan bimbingan yang sama, mereka juga sama-sama membayar bulanan. Jadi, budaya pilih kasih dari Guru tersebut harusnya dapat dihilangkan karena jika budaya tersebut masih berlaku, siswa ataupun siswi cenderung akan malas mengikuti pelajaran tersebut, yang nantinya akan merasa tidak nyaman ketika sedang diajar oleh Guru yang bersangkutan tersebut, dan akan berdampak pula pada materi pembelajaran tersebut dan akhirnya kurang dikuasai.
Bukan hanya budaya pilih kasih saja, pengalaman saya sewaktu duduk di bangku SMA yakni adanya budaya Mood-mood’an yang dilakukan oleh Guru pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Misalnya jika Guru sedang bersemangat mengajar maka beliau akan datang tepat waktu dengan membawa bahan ajar yang telah disiapkan. Sebaliknya jika Guru dalam suasana tidak mood atau tidak bergairah dalam mengajar, baik itu karena adanya faktor keluarga ataupun sebagainya, maka akan dilampiaskan pada proses belajar mengajar di kelas. Guru cenderung akan malas bahkan sampai tiduran dikelas, adapula ketika pintu kelas ditutup Guru masuk dengan marah-marah hanya karena pintu kelas tidak sengaja tertutup, setelah itu Guru langsung tidak mau mengajar pada kelas tersebut, ketika ketua kelas membujuk sampai ke kantor Guru untuk meminta maaf, Guru tersebut tetap tidak mau mengajar sampai jam pelajaran selesai. Menurut pendapat saya Guru tidak seharusnya semarah itu sampai tidak mau mengajar hanya karena pintu kelas tidak sengaja tertutup, apalagi ketua kelas sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Guru bertindak seperti itu pasti sedang ada sesuatu baik itu masalah keluarga, pribadi ataupun sedang tidak ada mood untuk mengajar. Adapula Guru yang datang hanya memberikan tugas saja tanpa diberikan penjelasan materi terlebih dahulu, setelah itu Guru meninggalkan kelas yang sebelumnya terdapat kesepakatan waktu pengumpulan dari tugas tersebut. Memang ada yang menyukai karakteristik dari Guru tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang tidak menyukai karakteristik Guru tersebut, siswa atau siswi tentunya akan mengalami kesalahpahaman mengenai materi yang ada karena sebelumnya tidak ada penjelasan sedikitpun mengenai materi tersebut. Guru yang tidak mood dalam mengajar tentunya akan telat masuk kelas atau tidak disiplin biasanya akan masuk ketika jatah jam pelajarannya sisa satu jam ataupun setengah jam.
Dari budaya mood-mood’an tersebut yang dilakukan oleh Guru tidak sepantasnya dicampur adukan atau dibawa kesekolah, Guru hendaknya memiliki profesionalitas dalam mengajar, masalah pribadi ataupun keluarga hendaknya disingkirkan terlebih dulu ketika hendak mengajar sehingga tidak adanya perasaan marah, malas, jenuh dalam mengajar. Jika Guru masuk kelas dengan suasana yang menyenangkan ataupun bersemangat, maka siswa ataupun siswi akan bersemangat dan fokus dalam menerima materi yang diajarkan. Seorang guru yang profesional seharusnya sudah memiliki semua kompetensi dasar sebelum guru tersebut menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional seharusnya dapat dipahami oleh semua guru agar tujuan dalam pembelajaran dapat terwujud secara maksimal. Seorang guru hendaknya juga dapat memberikan contoh kehidupan dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Untuk menghilangkan budaya pilih kasih dan budaya Mood-mood’an dari seorang Guru, perlunya penilaian yang dilakukan oleh Kepala Sekolah terhadap Kinerja dari masing-masing Guru pelajaran. Sistem penilaian prestasi kerja menurut Sondang P. Siagian (2002:225), adalah suatu pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai dimana terdapat berbagai faktor, yaitu:
1) Yang dinilai adalah manusia yang disamping memiliki kemampuan tertentu juga tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan
2) Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolok ukur tertentu yang realistik, berkaitan langsung dengna tugas seseorang serta kriteria yang ditetapkan dan diterapkan secara obyektif
3) Hasil penilaian harus disampaikan kepada pegawai yang dinilai dengan tiga maksud, yaitu:
a) Dalam hal penilaian tersebut positif, menjadi dorongan kuat bagi pegawai yang bersangkutan untuk lebih berprestasi lagi dimasa yang akan datang sehingga kesempatan meniti karir lebih terbuka baginya
b) Dalam hal penilaian tersebut bersifat negatif, pegawai yang bersangkutan mengetahui kelemahannya dan dengan demikian dapat mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan tersebut
c) Jika seseorang merasa mendapat penilaian yang tidak obyektif, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatannya sehingga pada akhirnya dapat memahami dan menerima hasil penilaian yang diperolehnya.
4) Hasil penilaian yang dilakukan secara berkala tersebut didokumentasikan dengan rapi dalam arsip kepegawaian setiap orang sehingga tidak ada informasi yang hilang, baik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pegawai
5) Hasil penilaian prestasi kerja setiap orang menjadi bahan yang selalu turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil mengenai mutasi pegawai, baik dalam arti promosi, alih tugas, alih wilayah, demosi maupun dalam pemberhentian tidak atas permintaan sendiri. (Susi Suryani, 2013 dalam skripsi)

Daftar Pustaka:
Buku:
1. Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
2. Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga
3. Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana
4. Sudarsono, Juwono dan Wahyudi Ruwiyanto. 1999. Reformasi Sosial Budaya dalam Era Globalisasi. Jakarta: Wacha Widia
5. Ihromi, T.O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Jurnal nasional:
1. Rowikarim, Aja. 2013. Mengajar Yang Efektif Menjadi Penentu Kualitas Seorang Guru. Garut: Jurnal Pendidikan Universitas Garut. Vol. 07; No. 01; 40-50. (Diakses 22 Oktober 2017)
2. Suryani, Susi. 2013. Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Kinerja Guru Dalam
Proses Belajar Mengajar Sekolah Menengah Atas Dan Kejuruan Di Kecamatan Prambanan. Yogyakarta: Skripsi Program Studi Menejemen Pendidikan, Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitasi Negeri Yogyakarta. (Diakses 22 Oktober 2017)
3. Paramita Eka, 2013. Lingkungan Sosial Budaya Sekolah. Pontianak: Artikel Jurnal Program Studi Pendidikan Sosiologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura. (Diakses 22 Oktober 2017)
4. Sitompul, Nurmida Catherine. 2012. Perilaku Komunikasi Nonverbal Guru Dalam Kelas Pembelajaran: Maknanya Bagi Siswa SMA. Surabaya: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, Volume 19, Nomor 1. (Diakses 22 Oktober 2017)

Jurnal Internasional:
1. Choudhury, Rahim Uddin. 2014. The Role Of Culture In Teaching And Learning Of English As A Foreign Language. Kingdom of Saudi Arabia: Express, an International Journal of Multi Disciplinary Research. ISSN: 2348 – 2052, Vol. 1, Issue 4. (Diakses 22 Oktober 2017)
2. Saglam, Sercan. 2012. Teaching Culture In The Fl Classroom: Teachers’ Perspectives. Turkey: IJGE: International Journal of Global Education. volume 1 issue 3. (Diakses 22 Oktober 2017)

Teori-Teori Evolusi

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Teori-Teori Evolusi, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Teori-Teori Budaya, pada semester 4 yang lalu. Berikut materinya:

Definisi teori evolusi menurut para ahli
Menurut Charles Darwin (1809-1882), evolusi tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya seleksi alam. seleksi alam tersebut menurut Charles Darwin didasarkan kepada hasil dari observasi yang dibuatnya yaitu: lebih baik untuk keturunan yang dihasilkan dari pada harus dapat benar-benar mampu bertahan hidup, dalam suatu spesies tersebut tidak ada individu yang identik (sama) dikarenakan ialah selalu terjadi suatu variasi dan juga beberapa individu yang mempunyai sifat-sifat yang cocok dengan kondisi lingkungan yang terdapat dibandingkan individu yang lainnya, Setiap populasi tersebut pada umumnya akan bertambah terus dikarenakan reproduksi Pertambahan populasi dibatasi faktor-faktor pembatas yang membuat kenaikan populasi tidak berjalan mulus Adanya seleksi alam yang dapat membuat setiap individu tersebut harus beradaptasi terhadap lingkungannya, dan yang berhasil hidup tersebut akan dapat mewariskan sifat-sifat keturunannya
Menurut Jean Baptise Lamarck (1744-1829), teori evolusi ialah suatu perubahan yang terjadi dalam suatu individu yang dikarenakan adanya faktor lingkungan yang dapat diturun temurunkan.
Menurut Erasmus Darwin (1731-1802), dalam bukunya “Zoonomia or The Laws of Organic Life” evolusi tersebut terjadi pada suatu makhluk hidup (evolusi organic) yang termasuk manusia dan juga percaya Erasmus Darwin bahwa karakteristik yang diperoleh orang tua tersebut akan turun kepada keturunannya.
Menurut Aristoteles (384-322 SM), menurutnya evolusi tersebut dapat terjadi dengan didasarkan pada suatu metafisika alam. metafisika alam ialah mengubah organisme dan juga habitatnya dari bentuk yang sederhana ke dalam bentuk yang lebih kompleks.
Menurut William Paley (1743-1805), dalam bukunya yang berjudul “Natural Thurology” William Paley ini berpendapat evolusi ialah kekompleksitas makhluk hidup ialah suatu bukti kerja sama sang pencipta. Lanjutkan membaca Teori-Teori Evolusi

Sub-Sub Strukturalisme

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Sub-Sub Strukturalisme, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Teori-Teori Budaya, pada semester 4 yang lalu. Berikut materinya:

Di buku ini membahas struturalisme miliknya Levi-Strauss. strukturalisme Levi-Strauss ini berbicara mengenai strukturalisme Prancis sama dengan berbicara mengenai skema teoretik Levi-Strauss. Yang melatarbelakangi teoretik Levi-Strauss yaitu metodologi linguistik struktural, misalnya bahasa. Jika di tinjau sebagai sistem bunyi bahasa ialah fonem-fonemnya, yakni kelompok signifikan yang memuat unsur-unsur bunyi. Bila fonem itu digabungkan menjadi unit linguistik yang lebih besar, maka muncul arti, dengan demikian timbullah komunikasi. Linguis bertugas menembuskan pandang terhadap manifestasi permukaan ungkapan kebahasaan, hingga menemukan kaidah struktural yang mendasarinya dan yang dikatakan sebagai sebab kemunculan ungkapan kebahasaan ini.
Bagi Levi-Strauss budaya bagi hakekatnya adalah suatu sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambangan.Levi-Strauss memiliki pandangan yang berbeda mengenai mite, ia tidak banyak mengurus konteks sosial mite, ia tidak pula memandang mite untuk memberikan penjelasan tentang dunia meskipun ia memang menekankan makna intelektual mite. Mite mengandung semacam amanat yang di kodekan, dan tugas penganalisa ialah menemukan dan mengurai kode itu serta menyingkapkan amanatnya. Levi-Strauss menyatakan bahwa struktur mite bersifat dialektis. artinya, dari sana ditampilkan oposisi dan kontradiksi tertentu.laki-laki, wanita, endogamy, eksogami, kakak, adik, bumi, langit, dan seterusnya dan kemudian ada semacam penengahan atau pemecahan. Jika dipandang dalam skala global, variasi mite yang tampak nyata itu dipandang sebagai transformasi logis dari seperangkat hubungan struktural yang bertahan lama. Penemuan inti struktur yang mendasar inilah yang menjadi perhatian pokok Levi-Strauss dalam menganalisis mite. Lanjutkan membaca Sub-Sub Strukturalisme

Heterogenitas Dalam Masyarakat Perkotaan

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Heterogenitas Masyarakat Perkotaan, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi Perkotaan, pada semester 4. Berikut materinya:

A. Gambaran umum masyarakat perkotaan.
Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/tingkatana hidup, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat non agraris. (Muhammad Cholil Mansyur : 107) Untuk menggambarkan mengenai karakteristik masyarakat perkotaan, kita mengacu kepada pendapat dari seorang sosiolog yaitu Me. Iver-Page. Menurutnya yang ditulis dalam bukunya Astrid S. Susanto (1985:135) berpendapat bahwa tidak boleh dilupakan bahwa kota merupakan hasil pengelompokan dari daerah yang karena perubahan ekonomi dan perubahan struktur mengalami pengelompokan baru. Adalah suatu kenyataan bahwa : 1. Kota terdiri dari berbagai kelompok (comunitas) 2. orang tidak terikat oleh tanah yang sama, sehingga akan mem peri ihatkan kebiasaan dan norma yang berbeda. 3. Sehubungan dengan kadaan tadi, juga harapan dan gambaran tentang masa depan akan berbeda. 4. Sehubungan dengan faktor, faktor terdahulu, kota mengakibatkan adanya kehidupan heterogen dalam berbagai bidang. Lanjutkan membaca Heterogenitas Dalam Masyarakat Perkotaan

Opini Hari Lingkungan Hidup “Kelola Sampah, Selamatkan Lingkungan”

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Opini Hari Lingkungan Hidup “Kelola Sampah, Selamatkan Lingkungan”, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Penulisan Karya Ilmiah Populer, pada semester 4 yang lalu, berikut materinya:

KELOLA SAMPAH, SELAMATKAN LINGKUNGAN
Kata sampah memang sudah tidak terdengar asing lagi di telinga kita. Mendengar kata sampah, memang seperti mendengar hal yang sepele. Tetapi tahukah anda? Sampah yang seringkali terdengar sepele itu justru akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup kita. Di Indonesia sendiri sampah telah menjadi sebuah permasalahan yang tak kunjung usai. Bukan hanya di kota-kota besar, kota-kota kecil pun semakin hari semakin di pusingkan oleh sampah dan pengelolaannya. Semakin hari, sampah bukannya semakin berkurang justru sebaliknya semakin menumpuk dan bertambah. Walaupun sudah beribu-ribu kali di galakkan dengan slogan yang berbunyi “buanglah sampah pada tempatnya” hingga saat kini masih saja banyak masalah yang ditimbulkan karena jumlah sampah semakin banyak. Akibat tidak adanya penanganan sampah yang benar dan tuntas, maka tumpukan sampah tersebut akan mengakibatkan masalah-masalah seperti bau busuk sampah yang menyengat sehingga mengganggu penciuman, tersumbatnya saluran air dan selokan yang dapat berakibat banjir, timbulnya penyakit kulit, diare, demam berdarah (DBD), dan lain sebagainya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat. Dengan kata lain sampah merupakan sisa-sisa kotoran yang sudah tidak mempunyai nilai kegunaan atau manfaat, sehingga tidak diinginkan keberadaannya oleh sebagian masyarakat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 menyebutkan bahwa ada tiga jenis sampah yang seharusnya dikelola yaitu sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Dari ketiga jenis sampah tersebut, produksi sampah rumah tangga akan selalu ada dan tidak pernah berhenti, tidak kita sadari sampah padat kita kumpulkan di bak sampah untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Sementara itu, sampah cairnya kita biarkan mengalir ke selokan dan akhirnya akan meresap ke dalam tanah, sehingga akan mencemari tanah, dan air dalam tanah. Dari hal sepele tersebut, akan mengakibatkan dampak besar yakni meresapnya air ke dalam tanah ini berakibat menurunnya kualitas air, timbul masalah kekurangan air yang berkualitas, penyakit menular, dan lain-lain. Lanjutkan membaca Opini Hari Lingkungan Hidup “Kelola Sampah, Selamatkan Lingkungan”