Pola Asuh Dan Sosialisasi

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Pola Asuh Dan Sosialisasi, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi Gender, pada semester 5. Berikut materinya:

A. Pola Asuh Orang Tua
Perilaku mengasuh dan mendidik anak sudah menjadi pola yang sadar tidak sadar keluar begitu saja ketika menjadi orangtua. Oleh beberapa peneliti, perilaku-perilaku ini kemudian di teliti dan muncullah beberapa teori untuk menyimpulkan pola-pola pengasuhan yang berkembang. Berikut empat tipe pola asuh yang dikembangkan pertama kali oleh Diana Baumrind (1967) : Pola asuh Demokratis, Pola asuh Otoriter, Pola asuh Permisif, dan Pola asuh Penelantar.
1. Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
2. Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
3. Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

4. Tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya. (Faisal nur hidayat, 2013, dalam jurnal UIN Walisongo)

Berikut pola asuh yang di terapkan pada keluarga saya:
1. Pola asuh Kakek Nenek (Orang tua) dari Ibu
Kakek dan Nenek dari Ibu saya mempunyai 3 anak, semuanya berjenis kelamin perempuan. Keluarga dari Ibu saya merupakan keluarga seorang pedagang, Nenek saya mempunyai warteg di Jakarta, begitu pula dengan bude dan buyut saya. Dalam merawat anak masih terlihat perbedaan antara pola asuh anak laki-laki dengan pola asuh anak perempuan, Kakek dan Nenek saya mengasuh anak perempuannya dengan cara lebih tegas, agresif. Sedangkan memperlakukan saudara dari Ibu saya yang berjenis kelamin laki-laki lebih santai tidak seagresif memperlakukan anak-anaknya yang berjenis kelamin perempuan.
Semenjak Ibu saya masih kecil, Kakek dan Nenek saya lebih cenderung menerapkan pola asuh otoriter, dimana segala sesuatunya di tentukan dari orang tua tanpa harus bermusyawarah terlebih dulu kepada anak. Jadi, sewaktu kecil Ibu saya diharuskan untuk bisa memasak, karena pandangan dari Kakek dan Nenek saya, perempuan itu harus bisa memasak, jika perempuan tidak bisa memasak nanti bila sudah berkeluarga siapa yang akan memasak untuk suami dan anak-anaknya kelak. Dari pandangan tersebut sudah terlihat jelas bahwa Kakek dan Nenek saya masih memandang bahwa perempuan nomer satu kerjanya harus di dapur. Sehingga sejak kecil Ibu saya selalu dibelikan mainan masak-masakan, boneka, gambar mini, tari-tarian dan lain sebagainya. Dalam hal bermain, pada suatu ketika ibu saya ikut bermain dengan anak laki-laki seperti bermain mobil-mobilan bersama, setelah kakek dan nenek saya mengetahui hal tersebut lalu Ibu saya di nasihati oleh beliau supaya tidak bermain mobil-mobilan dengan anak laki-laki, bagi Kakek dan Nenek saya jika anak perempuan bermain dengan anak perempuan dan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki, tidak diperbolehkan anak laki-laki dan anak perempuan bermain bersama. Anak perempuan juga tidak diperbolehkan untuk memanjat pohon karena hal-hal yang sifatnya memanjat itu pekerjaannya anak laki-laki bukan perempuan.
Dalam hal berpakaian, Kakek dan Nenek saya selalu membelikan pakaian untuk anak-anak perempuannya rok-rok berwarna terang atau warna-warna soft (lembut) seperti warna pink, putih, orange dan lain sebagainya. Sehingga Ibu saya jarang mempunyai bawahan celana sewaktu kecil dan pakaiannya lebih didominasi rok-rok lucu beserta aksesorisnya seperti bando, pita-pita dan lain sebagainya. Sedangkan bila Kakek dan Nenek saya ingin membelikan kado pakaian untuk saudara yang berjenis kelamin laki-laki mereka cenderung memilih kaos dan bawahan celana yang berwarna gelap seperti biru dongker, hitam, cokelat dan lain sebagainya. Dari sini sudah terlihat secara jelas bahwa adanya pembedaan dalam hal berpakaian antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
Dalam hal pendidikan, Kakek dan Nenek saya masih berpandangan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nantinya akan tetap dirumah, mengurus suami dan anak-anak, akan tetap di dapur. Intinya perempuan nantinya hanya bisa manut pada suami, ngikut pada suami, suami yang bekerja istri di rumah mengurus rumah tangga. Sedangkan anak laki-laki harus sekolah tinggi, karena nantinya dia yang akan menafkahi keluarganya kelak, dia yang akan menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga Ibu saya hanya bersekolah sampai sekolah dasar saja tidak melanjutkan sekolahnya dan langsung ngikut Nenek saya untuk membantu berdagang di Jakarta, sedangkan saudara laki-laki dari Ibu saya bersekolah sampai sekolah menengah atas dan sampai kuliah. Dari sini sudah terlihat jelas Kakek dan Nenek saya masih melakukan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan.
Dalam hal pekerjaan, Kakek dan Nenek saya lebih menyuruh anak-anak perempuannya supaya berdagang saja, tidak perlu mencari pekerjaan yang tinggi, yang penting perempuan harus bisa memasak. Sedangkan pada saudara laki-laki dari Ibu saya diharuskan mencari pekerjaan yang tetap yang layak, pekerjaan yang gajinya besar supaya dapat menghidupi keluarganya, sehingga tidak kekurangan tidak meminta uang pada orang tua secara terus menerus. Harus bisa mandiri malu kalau masih bergantung pada orang tua. Sehingga jika sudah menikah harus memiliki rumah dan kendaraan sendiri untuk ditempatinya bersama istri.
Dalam hal norma atau aturan, Kakek dan Nenek saya sangat menjaga anak-anak perempuannya, dimana sewaktu Ibu saya masih kecil, Ibu dan adik-adik perempuannya tidak diperbolehkan bermain pada malam hari jadi batas waktu main hanya sampai jam 17.00 wib, sehingga pada saat maghrib semuanya harus berkumpul dirumah supaya dapat sholat berjamaah. Pada waktu tidur malam, Ibu dan adik-adik perempuannya sudah memiliki batas tidur malam yakni maksimal pada pukul 21.00 wib harus sudah tidur, karena agar besok dapat bangun pagi, kata Kakek dan Nenek saya jika anak gadis bangun siang-siang maka rezekinya akan dipatok ayam. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa anak perempuan tidak diperbolehkan bangun siang dan harus bangun pagi. Lalu pada saat setelah mandi Ibu dan adik-adiknya harus wangi, wajahnya harus di poles bedak supaya terlihat cantik, bersih, wangi karena anak perempuan harus bisa menjaga atau merawat dirinya supaya tidak terlihat kumel ataupun jorok. Berbeda dengan saudara laki-laki dari Ibu saya, dia lebih dibebaskan dalam hal bermain, dia diperbolehkan bermain pada malam hari dan batas maksimal bermainnya sampai pukul 21.00 wib. Namun tetap pada saat maghrib harus dirumah terlebih dulu setelah maghrib baru boleh keluar untuk bermain. Batasan tidur malamnya juga sangat lama yakni pada pukul 23.00 wib. Lalu tidak adanya perintah untuk bangun pagi. Jadi, cenderung dibebaskan.
Peran di dalam keluarga, sewaktu kecil setiap Nenek saya sedang memasak di dapur, Ibu saya selalu disuruh untuk membantu memasak, baik itu memotong sayuran ataupun membelikan bumbu-bumbu dapur. Setelah makan bersama Ibu selalu membereskan makanan dan mencuci piring, gelas, sendok dan lain sebagainya. Ibu saya sudah mencuci pakaiannya sendiri sejak sekolah dasar. Menyapu lantai, halaman depan dan halaman belakang rumah sudah menjadi kegiatan Ibu saya setiap harinya. Sedangkan pada saudara laki-laki dari Ibu saya di rumah dia melakukan kegiatan membantu ayahnya membenarkan genteng yang rusak, ikut mengecat tembok rumah, memperbaiki sepeda atau kendaraan yang rusak. Dan kegiatan lainnya yang membutuhkan kekuatan fisik lebih. Ketika saudara laki-laki dari Ibu saya ikut membantu Ibunya di dapur, maka Ibunya langsung melarangnya dan menyuruhnya untuk duduk di depan menunggu masakannya matang. Jadi, terlihat jelas peran antara anak laki-laki dengan anak perempuan ketika sedang berada di rumah.
2. Pola asuh Kakek Nenek (Orang tua) dari Ayah
Keluarga dari Ayah saya merupakan keluarga petani, dimana orang tua dari Ayah saya mempunyai sawah yang cukup luas untuk di kelola. Karena tempat tinggal Ayah di desa maka lebih mengutamakan sawah sebagai lahan investasinya atau tabungannya. Orang tua dari Ayah saya mempunyai 5 anak yang terdiri dari 2 anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Tetapi masih saja terdapat perbedaan perilaku ataupun pola asuh antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Orang tua dari Ayah cenderung memakai pola asuh permisif yakni memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Namun tetap saja perhatian yang lebih diberikan untuk anak perempuan. Sewaktu kecil Ayah saya sudah di ajarkan untuk belajar mandiri tidak bergantung kepada orangtua, karena nantinya anak laki-laki yang akan menjadi tulang punggung keluarga. Jadi, sejak kecil sudah dilatih untuk tidak cengeng, tidak gampang putus asa, dan yang terpenting harus mandiri.
Dalam hal bermain, sewaktu Ayah saya kecil beliau bermain tembak-tembakan yang dibuat sendiri dengan bahan dasar pelepah pisang, lalu bermain mobil-mobilan dengan dibuat sendiri juga dengan bahan dasar kulit buah jeruk bali yang di bentuk seperti mobil-mobilan, lalu bermain kelereng dan layangan di lapangan dari mulai siang hari sampai hampir mau maghrib baru pulang, bermain di sawah, memancing ikan, dan lain sebagainya. Sedangkan kakak perempuannya hanya bermain di sekitaran rumah saja seperti bermain masak-masakan, boneka-bonekaan, rumah-rumahan. Jika sesekali bermain jauh maka Kakek dan Nenek saya akan mencarinya sampai benar-benar ketemu. Sedangkan untuk anak laki-lakinya tidak begitu dikhawatir jika mereka bermain jauh, karena Kakek dan Nenek saya memandang bahwa anak laki-laki lebih bisa menjaga dirinya daripada anak perempuan.
Dalam hal berpakaian, sewaktu kecil Ayah saya cenderung diberikan pakaian yang berwarna gelap seperti hitam, biru dongker, coklat tua dan lain sebagainya. Sehingga sekarang ini warna favorit dari Ayah saya tetap kepada warna-warna gelap, dan koleksi baju Ayah saya sehari-hari juga lebih didominasi dengan warna-warna gelap. Sedangkan untuk kakak perempuannya selalu dibelikan pakaian yang unyu-unyu seperti rok-rok beserta aksesoris bando dengan warna-warna lembut seperti pink, hijau muda, biru muda dan lain sebagainya. Dalam hal berpakaian sudah terlihat jelas bahwa Kakek dan Nenek dari Ayah saya masih melihat bahwa jika anak laki-laki tidak pantas memakai warna lembut seperti pink dan lain sebagainya karena nanti dikhawatirkan anak laki-laki tersebut akan berperilaku seperti perempuan begitupun sebaliknya.
Dalam hal pendidikan, Orangtua dari Ayah juga masih memandang bahwa anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena nanti akan ngikut suami, sedangkan anak laki-laki harus bersekolah tinggi sehingga akan mendapat pekerjaan tetap dan dapat mencukupi kebutuhannya ketika sudah berkeluarga, tidak selalu bergantung kepada orangtua, anak laki-laki harus mandiri harus bekerja keras tidak boleh mengeluh jika sedang ada musibah atau kendala apapun. Sehingga pendidikan anak laki-laki dari Kakek dan Nenek saya lebih tinggi daripada pendidikan anak perempuannya.
Dalam hal pekerjaan, Kakek dan Nenek dari Ayah memandang bahwa anak perempuan tidak perlu memikirkan pekerjaan yang tinggi lebih baik membantu orangtuanya dalam mengelola sawah yang dimilikinya walau sudah ada kuli yang membantu dalam mengelolanya, sedangkan anak laki-laki harus mencari pekerjaan yang layak dan diperbolehkan merantau untuk mendapat pekerjaan yang diinginkannya. Orangtua dari Ayah saya tidak merasa keberatan jika anak laki-lakinya bekerja di luar kota sedangkan anak perempuan dibatasi wilayahnya apabila ingin bekerja.
Dalam hal norma atau aturan di dalam keluarga Ayah saya juga masih menerapkan bahwa anak perempuan tidak boleh keluar malam jadi sebelum maghrib harus sudah di rumah tanpa alasan apapun, sedangkan anak laki-laki masih diperbolehkan keluar malam, karena menurut Kakek dan Nenek saya anak laki-laki lebih bisa menjaga dirinya sendiri dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-laki lebih kuat lebih jagoan daripada anak perempuan. Jadi, di dalam pemikiran Kakek dan Nenek saya itu perempuan itu lemah selalu bergantung kepada orangtua.
Peran di dalam keluarga, anak laki-laki biasanya di ajari mencangkul di sawah dan bila masa panen anak laki-laki biasanya yang membawakan karung-karung berisi panenan tersebut, sedangkan yang anak perempuan diajarkan untuk bagaimana cara menanam padi, bawang. Ketika Ayah dan anak laki-lakinya di sawah, anak perempuan yang mengirim makanan ke sawah, jadi perempuan harus biasa memasak, menyapu, mencuci pakaian, menyetrika dan hal-hal yang bersifat domestik lainnya. Ketika masa panen datang anak perempuan dan Ibu-ibu cenderung membantu pada saat panennya sudah ada di rumah. Lalu ketika sedang ada acara hajatan anak perempuan atau Ibu-Ibu kerjanya di bagian belakang seperti memasak dan menyiapkan makanan atau berkat sedangkan laki-laki kerjanya di depan yakni hanya duduk, bercengkrama, tidak tidur semalaman (lek-lekan). Anak perempuan kerja di depan pada saat akan membawakan minum untuk para tamu dan untuk menemani pengantin saja.
3. Pola asuh orangtua (Ayah dan Ibu) kepada saya
Orangtua saya mempunyai anak 2 yakni: 1 perempuan dan 1 laki-laki. Saya merupakan anak pertama. Dalam mengasuh anak, orangtua saya menggunakan pola asuh demokratis, yakni semua keputusan harus dibicarakan terlebih dulu kepada anggota keluarga terutama kepada anak, tidak menentukan pilihan dengan sepihak saja. Di dalam pola asuh orangtua saya sudah tidak membeda-bedakan antara peran anak laki-laki harus begini, peran anak perempuan harus begitu. Semua sama tidak ada yang dilebih-lebihkan. Bahkan waktu saya masih kecil orangtua saya membelikan mobil-mobilan, tembak-tembakan, boneka, alat masak-masakan kepada saya, sehingga permainan saya dulu sewaktu kecil diturunkan kepada adik laki-laki saya. Di dalam hal bermain anak laki-laki dan anak perempuan sudah diberikan kebebasan dalam arti tidak adanya paksaan anak perempuan harus bermain dirumah saja ataupun sebaliknya, semua sama. Dalam hal berpakaian, antara rok dan celana seimbang banyaknya, bahkan kata Ibu saya, sewaktu kecil saya lebih suka memakai celana daripada rok. Orangtua saya juga tidak membedakan untuk warna pakaiannya, Adik laki-laki saya bahkan dibelikan kaos berwarna pink. Untuk pendidikan orangtua saya selalu berkata kepada saya dan adik laki-laki saya supaya menjadi anak yang pintar, rajin sehingga bisa sama-sama melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga jika bersekolah tinggi nantinya saya dan adik laki-laki saya akan mendapatkan pekerjaan tetap yang diharapkan, jadi intinya harus dapat meraih cita-cita setinggi mungkin. Didalam norma ataupun aturan sudah tidak adanya anak perempuan tidak boleh keluar malam semua diperlakukan sama asalkan jika ingin keluar malam harus izin dulu pada orangtua dan untuk jam-jam tidurpun sudah tidak ada batasan waktu untuk tidur malam. Di dalam peran keluarga Ibu saya tidak mengharuskan saya untuk membantu beliau ketika sedang memasak di dapur, kegiatan seperti menyapu, mencuci pakaian itu sudah tidak diharuskan tetapi harus dengan kesadaran dari diri kitanya sendiri mau melakukan atau tidak. Adik laki-laki saya bahkan sehabis makan sudah diajarkan untuk mencuci piringnya sendiri. Dari situ sudah terlihat jelas bahwa tidak adanya pembedaan peran antara anak laki-laki dan anak perempuan. Orang tua saya akan memperlakukan istimewa atau lebih pada anak-anaknya apabila si anak tersebut berprestasi atau nilai sekolahnya bagus, biasanya akan mendapat hadiah dan akan lebih dipuji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: