Religi dan Etika Jawa

Dahulu waktu saya masih kecil keluarga saya selalu memberi nasihat-nasihat mengenai nilai-nilai kebudayaan Jawa, banyak sekali aturan-aturan yang harus di patuhi. Yang paling sering memberi nasihat tentang nilai-nilai kebudayaan Jawa yaitu Nenek saya. Mulai dari hal terkecil seperti bagaimana cara perempuan duduk, makan sampai ke hal terbesar seperti bertingkah laku, berbicara, berpenampilan dan lain sebagainya. Waktu saya berusia sekitar 7 tahun Nenek saya selalu mengingatkan kalau makan tidak boleh bersuara karena jika sedang makan mengeluarkan suara maka di katakan tidak sopan, jika saya makan lalu nasinya tidak di habiskan maka keluarga saya akan menegur, mereka mengatakan jika makan tidak di habiskan maka ayam kita akan mati. Padahal keluarga saya tidak ada yang memelihara ayam. Awalnya saya tidak tahu makna dari perkataan tersebut saya hanya mengikuti nasihat yang diberikan oleh keluarga saya, hingga akhirnya saya mengerti makna dari perkataan tersebut yang mana kita harus menghargai sebutir padi yang di tanam oleh petani, petani dalam menanam padinya tentunya melalui proses yang sangat panjang, belum lagi cuaca yang tidak mendukung yang akan menyebabkan gagal panen, dari situlah saya dapat mengambil pelajaran mengenai menghargai orang lain dan juga hidup untuk hemat (gemi). Lalu ketika saya duduk dengan kedua kaki terbuka sebutan orang Jawa mentang orang tua saya selalu menegur dengan mengatakan “perempuan harus duduk dengan tumakninah jangan mentang-mentang semaunya sendiri” dari situ mulailah saya menerapkan hingga sekarang posisi duduk yang baik untuk perempuan. Perempuan juga tidak boleh duduk di depan pintu, sesekali saya pernah duduk di depan pintu sambil mainan handphone lalu ibu saya menegur dengan mengatakan “perempuan pamali duduk depan pintu, nanti yang mau ngelamar balik lagi ga jadi ngelamar” begitu ucapan dari Ibu saya. Hingga sekarang ini saya mengerti makna dari perkataan Ibu saya bahwasanya kita dilarang duduk di depan pintu di karenakan menghalangi orang yang lewat karena orang biasanya jalan muter-muter melewati pintu, jadi ketika saya duduk di depan pintu akan menghalangi orang jalan.

Saya juga selalu di beri nasihat tentang bagaimana berbicara, berpenampilan, bertingkah laku yang baik dan sopan. Ibu saya selalu mengatakan jika berbicara kepada orang yang lebih tua tidak boleh dengan nada yang keras, karena jika kita berbicara keras di hadapan orang yang lebih tua di sangkanya kita melawan atau menantang mereka, jadi kita harus dapat menyesuaikan kepada siapa kita berbicara dengan nada keras dan kepada siapa kita berbicara dengan nada lembut semua sudah ada aturannya masing-masing. saya juga di ajarkan untuk tidak mengejek atau membully agama lain, saya boleh berteman dengan teman yang berbeda agama, ibu saya selalu memberi nasehat dalam berteman kita harus menghormati satu sama lain tidak boleh menganggap agama kita yang paling baik atau benar, karena semua manusia sudah memiliki keyakinan atau kepercayaan yang berbeda-beda. Seperti kutipan “salah satu akumulasi tradisi yang amat tampak dalam perilaku hidup orang jawa adalah munculnya kebatinan. Yakni, sebuah integrasi nilai-nilai luhur budaya asli jawa. Melalui kebatinan, watak toleransi orang Jawa semakin terpupuk, karena hampir setiap keyakinan di Jawa memanfaatkan kebatinan.” Dalam berteman saya cenderung menghindari konflik walau itu sangat sulit di hindari, ibu saya selalu memberi nasihat jika berteman tidak boleh egois kita harus hidup rukun jangan ada dendam-dendam apapun,  seperti kutipan “keistimewaan orang jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian adalah nomor satu. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram.” Dari situ sudah terlihat jelas masyarakat Jawa cenderung menghindari konflik, mereka lebih baik diam tidak memakai tindakan kekerasan dalam menyelesaikan masalahnya, atau dalam bahasa Jawa di sebut neng-nengan, karena diam itu emas, orang Jawa lebih suka mbatin daripada harus melawan atau menantang.

Masyarakat jawa dalam menjalani hidupnya lebih berserah kepada Tuhan, mereka percaya hidup di dunia hanya sementara dan hidup abadi hanya ada di akhirat. Seperti dalam Serat Sasangka Jati, ditegaskan bahwa sikap hidup Jawa semacam itu lazimnya ditandai adanya watak: eling (sadar), percaya, mituhu (setia), rila, narima (tidak memaksa diri), temen, sabar (tahan cobaan), berbudi luhur, mawas diri, dan satria pinandhita (tidak tergiur semat, derajat, kramat, hormat) dan sepi ing pamrih, rukun. Masyarakat Jawa selalu nrima tetapi bukan berarti diam, nrimanya masyarakat Jawa sudah di dasari oleh usaha terlebih dahulu, setelah itu baru mereka akan pasrah atau berserah kepada Sang Maha Pencipta.

Lalu pada berpenampilan, Ibu saya selalu mengajak saya kondangan entah kondangan di tempat yang jauh ataupun dekat. Ibu saya selalu menyuruh untuk memakai kebaya saat kondangan walaupun kebaya yang modelnya modern yang lebih simple tetap harus di pakai, ketika saya bertanya kepada Ibu tentang pemakaian kebaya tersebut, Ibu hanya menjawab “biar lebih sopan, soalnya nanti bertemu dengan tamu banyak baik yang kita kenal maupun tidak” tetapi saya kurang puas dengan jawabannya Ibu hingga sekarang saya mengetahui mengapa Ibu selalu menuruh saya memakai kebaya pada waktu pergi kondangan, karena Ibu ingin memperkenalkan pakaian tradisional Jawa yang kini sudah mulai jarang di pakai oleh masyarakat apalagi oleh remaja, Ibu menginginkan anaknya untuk tidak melupakan budaya Jawa seperti pakaian tradisional kebaya, karena Ibu sering melihat saya selalu memakai pakaian seperti bawahan jeans jadi mungkin beliau khawatir jika saya sudah melupakan budaya Jawa. Masyarakat Jawa selalu berpenampilan sederhana tidak berlebihan, jika saya melihat penampilan Ibu setiap harinya entah mau pergi atau di rumah Ibu selalu berpakaian simple tidak ribet ataupun berlebihan, berbeda dengan Ibu-Ibu yang ada di media sosial, yang lebih mencolokkan pakaiannya yang selalu menjadi pusat perhatian. Setelah saya mendapat mata kuliah religi dan etika jawa saya jadi mengetahui bahwa masyarakat jawa tidak suka berpenampilan berlebihan seperti dalam kutipan “melok nanging aja nyolok (tampak jelas, tetapi jangan terlalu menyolok). Maksudnya, boleh saja dalam perilaku selalu tampil beda, tetapi jangan sampai terlampau mencolok.” Dari kutipan tersebut sudah jelas bahwa hidup orang jawa dalam kewajaran dan kesederhanaan, hidup tidak bersikap menonjolkan kelebihan kita baik kelebihan dalam bidang kekayaan , bidang kepandaian ataupun bidang wewenang dan kekuasaan.

Masyarakat jawa percaya akan hal-hal mistis, dahulu sejak saya kecil Nenek saya selalu menasehati saya jika melewati kuburan tidak boleh menunjuk karena jika kita menunjuk jari kita tidak akan bisa ditekuk kembali, lalu jika kita melewati jembatan yang sepi kita di haruskan untuk dehem sebanyak tiga kali yang berarti tanda penghormatan untuk roh halus. Saya juga di larang oleh Nenek saya untuk bersiul di malam hari karena dengan bersiul artinya kita memanggil roh-roh ghaib. Sewaktu kecil saya tidak boleh bermain sampai maghrib, jika maghrib masih bermain di luar maka orang tua kita selalu bilang “Nak masuk nanti di bawa Nenek Gombel” dari contoh tersebut sudah terlihat jelas bahwa masyarakat Jawa percaya akan hal-hal ghaib, roh-roh halus tersebut selalu ada di sekitar kita dimana pun dan kapan pun. Jadi tindak tanduk kita harus selalu di jaga, tidak seenaknya sendiri, karena ada roh halus yang mengawasi kita. Dari semua nasihat yang di berikan oleh Keluarga saya tentunya mengarah ke dalam hal yang positif. Setelah saya belajar Religi dan etika jawa ternyata ada sangkut pautnya dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Kita sebagai orang Jawa harus tetap menguri-uri kebudayaan jawa harus tetap njawani, jangan sampai kita terbawa oleh arus modernisasi yang datang. Memang sudah banyak masyarakat Jawa yang mulai melupakan kebudayaan Jawa. Contoh dalam berpenampilan masyarakat kini lebih mencolokkan penampilannya agar menjadi pusat perhatian, mereka lebih senang berfoya-foya jika mempunyai banyak uang, sudah tidak prihatin. Dengan contoh-contoh yang seperti itu hendaknya kita dapat memilih mana yang sebaiknya kami tiru dan mana yang sebaiknya kami hindari. Melihat masyarakat Jawa sekarang kita dapat mengkaitkannya dengan teori perubahan sosial yang mana satu demi satu mulai luntur nilai-nilai budaya Jawa dan sudah tergantikan dengan gaya hidup orang barat. Menurut Soemardjan dan Soemardi faktor perubahan sosial dipengaruhi oleh: Lingkungan alam atau fisik, Faktor teknologi dan Faktor kebudayaan.

Perubahan lingkungan alam dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya dalam masyarakat. Majunya teknologi pada saat sekarang ini menjadikan masyarakat dengan mudah mengakses apa saja lewat internet di tambah lagi produk-produk yang ada di internet kebanyakan produk dari luar negeri yang mana masyarakat sangat mudah terpengaruh karena pada dasarnya sifat manusia yang selalu ingin berubah. Lalu faktor kebudayaan sudah terlihat jelas bahwa sudah banyak budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia contohnya seperti pakaian, makanan dan minuman dan lain sebagainya, di setiap daerah tentunya terdapat indomaret dan alfamart yang kini mulai menggeser pasar tradisional. Di tambah gaya hidup orang barat yang selalu menginginkan apa-apa serba instan, dan masyarakat Indonesia dengan mudahnya terpengaruh dengan budaya-budaya orang barat. Sehingga sudah jarang sekali masyarakat Jawa sekarang ini yang masih njawani apalagi di kalangan remaja.

Daftar pustaka:

Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakrawala.

One thought on “Religi dan Etika Jawa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: