Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini

Hallo teman-teman semua, kali ini saya akan membagikan materi mengenai Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini, materi ini merupakan tugas dari mata kuliah Antropologi Kesehatan, pada semester 5. Berikut materinya:

Ringkasan Berita yang berjudul “Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini”
Di suatu Dusun Datte, Desa Lembang, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan ada seorang warga bernama Hadirah, dia bingung karena sudah seminggu anaknya yang bernama Haslinda, yang belum berumur dua tahun sering menangis di malam hari. Istilah di kampungnya rajo-rajoan. Badannya demam, malas makan dan dari mulutnya keluar bau tak sedap. Ibunya sudah dua kali membawanya ke Puskesmas Pembantu (Pustu) dan diberi sejumlah obat dari petugas kesehatan setempat. Namun sakitnya tak kunjung sembuh. Perawat di Pustu itu yang prihatin karena konsumsi obat modern yang begitu banyak pada bayi itu, kemudian bertanya tentang kemungkinan pengobatan alternatif di kampung tersebut. Hadirah pun teringat pada Sando Pea, atau dukun melahirkan di kampung, yang ternyata tantenya sendiri. Dia datang ke Sando Pea untuk meminta obat-obatan tradisional agar anaknya dapat sembuh dari penyakitnya.
Tanaman-tanaman semak belukar di pinggir jalan ternyata banyak di antaranya yang bisa digunakan untuk pengobatan. Untuk anak-anak yang biasa disebut pembollo, umumnya harus mendapat jampi atau doa dari dukun anak atau Sando Pea dalam masyarakat adat Kaluppini, Sulsel. Pembollo sendiri berarti racikan obat dari berbagai macam tanaman yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengobati berbagai macam penyakit, khususnya pada anak balita.

Racikan obat ini telah diberi semacam mantra atau doa untuk mempercepat penyembuhan. Pembollo dari Sando Pea ini ternyata sangat manjur. Tak butuh waktu lama bagi Sando Pea untuk mengenali penyakit yang diderita sang bayi. Beragam macam tanaman seperti kunyit, bawang merah, merica, dan lainnya dicampur, sebelum diberikan kepada Haslinda, sang bayi. Menurut Ibunya, Haslinda menderita panas dalam, setelah diberi obat keluar lendir yang banyak dari mulut. Baru setelah itu ia merasa nyaman dan mulai membaik.
Pembollo biasanya dicampur dengan air kelapa, madu atau air saja. Tergantung apa yang tersedia. Kalau air kelapa dan madu tidak ada maka bisa hanya menggunakan air putih saja. Di Komunitas Adat Kaluppini kalau terkena diare mereka pakai daun jambu dicampur daun paria. Kalau anak-anak demam ada tahapan pembollonya, karena dikhawatirkan anak tersebut menderita sarampa, penyakit yang paling ditakuti. Kalau dalam tiga hari si anak belum sembuh, mereka gunakan konsep mappasibali. Mappasibali sendiri adalah pengobatan dengan cara kombinasi antara obat tradisional dengan obat modern yang umumnya diperoleh dari Pustu, yang bisa diartikan saling melengkapi. Pengetahuan tentang jenis tanaman yang bisa digunakan sebagai obat sebenarnya sudah diketahui luas masyarakat, hanya saja sebelum digunakan harus diberi jampi-jampi atau bacaan doa dari dukun atau Sando Pea.
Di masyarakat adat Kaluppini ini, masyarakat juga mengenal konsep Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) untuk bayi, atau strategi antisipasi pengobatan untuk bayi yang baru lahir hingga mencapai usia tertentu, yang disebut pejappi. Pejappi adalah kumpulan berbagai jenis tanaman yang terdiri dari kunyit, kayu manis, panini dan kariango, yang diberikan kepada bayi setelah dia lahir. Pejappi ini juga telah diberi jampi atau doa dari Sando Pea, yang akan disimpan dekat bayi. Pejappi ini biasanya diikat di ayunan si bayi, selain agar mudah dijangkau juga karena penempatan pejappi ini punya aturan tersendiri, tidak boleh dilangkahi kucing. Pejappi biasanya untuk pengobatan penyakit-penyakit yang lazim diderita bayi, seperti demam, batuk dan diare fungsi lain sebagai pelindung bagi bayi dari gangguan-gangguan dari hal-hal yang bersifat supernatural.
Masyarakat adat Kaluppini juga memanfaatkan tanaman-tanaman sekitar untuk memperlancar air susu ibu (ASI) bagi ibu yang baru saja melahirkan. Sejumlah tanaman yang lazim digunakan antara lain kulo atau sukun berbiji, pucuk daun labu, daun katuk dan daun kelor. Cara konsumsinya adalah dengan cara dimasak, dicampur dengan jenis sayuran lain. Berbagai informasi jenis makanan ini diperoleh dari orang tua dan telah menjadi pengetahuan umum warga yang diwariskan secara turun temurun. Selain makanan yang dianjurkan, terdapat juga beragam jenis makanan pantangan bagi ibu hamil. Misalnya, pantangan makan jantung pisang. Alasannya, jangan sampai anaknya nanti akan seperti jantung pisang, besar di awal, namun lama kelamaan menjadi kecil. Ada juga pantangan tak boleh makan usus ayam karena takut ari-ari si bayi akan melilit leher sendiri. Pantangan lain adalah selama masa nifas, atau sesaat setelah melahirkan, tak boleh mengkonsumsi buah pepaya, yang muda ataupun matang. Alasannya, takut getah pepaya akan mengganggu kondisi rahim si ibu.
Sumber:

Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini


Tanggal terbit: 1 Mei 2017

Argumentasi kaitannya dengan Antropologi Kesehatan:
Menurut pendapat saya, berita tersebut berkaitan dengan Antropologi Kesehatan karena di dalam berita tersebut berisi mengenai obat-obatan tradisional, penyakit yang diderita oleh masyarakat, upaya penyembuhan penyakit melalui kebudayaan, serta pola hidup masyarakat dalam menjaga kesehatan. Jadi, masyarakat adat Kaluppini masih mempercayai adat kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya terutama pada tanaman-tanaman di sekitar pekarangan rumah untuk dijadikan obat sebagai penyembuhan penyakit yang diderita oleh masyarakat setempat. Contoh kasus di dalam berita tersebut yakni Haslinda anak dari Hadirah yang menangis setiap malam karena badannya demam, malas makan dan dari mulutnya keluar bau tak sedap. Ibunya sudah memeriksakan Haslinda ke Puskesmas namun tidak kunjung sembuh, hingga akhirnya Dia memutuskan untuk pergi ke Sando Pea (dukun bayi) untuk meminta obat-obatan tradisional sekaligus meminta jampi atau doa-doanya supaya anaknya sembuh setelah minum obat tersebut. Dari sini dapat di tarik kesimpulan bahwa masyarakat adat Kaluppini masih percaya akan obat-obatan tradisional yang diturunkan oleh nenek moyangnya serta adanya orang pintar (mempunyai kekuatan tersendiri) salah satunya Sando Pea (dukun bayi) dalam menyembuhkan penyakit yang diderita oleh bayi pada masyarakat setempat. Selain mereka percaya akan obat-obatan modern namun tidak dipungkiri bahwa masyarakat adat Kaluppini masih bergantung pada obat-obatan tradisional dalam menyembuhkan penyakitnya.
Masyarakat adat Kaluppini juga percaya mengenai pejappi, pejappi ini yakni kumpulan berbagai jenis tanaman yang terdiri dari kunyit, kayu manis, panini dan kariango, yang diberikan kepada bayi setelah dia lahir. pejappi ini ditaruh di dalam satu wadah biasanya di taruh di dalam kain dan diletakkan tidak jauh dari bayi biasanya diikat di ayunan si bayi karena dalam penempatan pejappi memiliki aturan tersendiri yakni tidak boleh dilangkahi oleh kucing. Pejappi tersebut tentunya sudah di beri jampi atau doa oleh Sando Pea (dukun bayi) untuk mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh si bayi seperti demam, batuk, dan diare. Selain itu juga dapat mengusir gangguan-gangguan dari makhluk halus. Hal tersebut sangat jelas bahwa masyarakat adat Kaluppini masih menjunjung nilai-nilai budaya lokal dengan melakukan tradisi tersebut pada setiap kelahiran bayi. Mereka juga masih bergantung kepada Sando Pea (dukun bayi) dalam membesarkan bayi-bayi atau anak-anaknya, karena tanpa obat-obat tradisional yang diberikannya dan jampi atau doa-doa dari Sando Pea (dukun bayi) anak-anak mereka tidak akan cepat sembuh dari penyakit-penyakit yang dideritanya.
Untuk Ibu hamil dan yang baru melahirkan ada anjuran dan pantangan makanan yang harus dikonsumsi dan dihindari bagi masyarakat adat Kaluppini. Anjurannya yaitu memakan kulo atau sukun berbiji, pucuk daun labu, daun katuk dan daun kelor. Sedangkan pantangannya tidak boleh memakan jantung pisang, usus ayam, dan buah papaya, karena adanya mitos-mitos dari nenek moyang mengenai pantangan tersebut. Berbagai informasi jenis makanan ini diperoleh dari orang tua dan telah menjadi pengetahuan umum warga yang diwariskan secara turun temurun. Hal demikian, berarti adanya pola hidup masyarakat dalam menjaga kesehatan khususnya bagi wanita yang hamil dan baru melahirkan untuk melancarkan air susu ibu (ASI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: