Rumah Sosiologi dan Antropologi

Tempat berbagi ilmu oleh Afiat Afianti

Review Jurnal Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa

Pada Jurnal yang berjudul “Budaya Kekerasan dalam Perspektif Nilai-Nilai dan Etika Masyarakat Jawa” yang ditulis oleh Nugroho Trisnu Brata, mengupas mengenai makna dari budaya kekerasan yang selalu bersamaan dengan budaya alus dalam berbagai peristiwa masyarakat Jawa dan dari sudut pandang nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa. Pada bagian pendahuluan di jelaskan mengenai adanya pandangan masyarakat Jawa sebagai masyarakat yang berbudaya halus dilihat dari perilaku dan cara berbahasa mereka. Kemudian, kegiatan yang terjadi dalam masyarakat secara tidak langsung diatur dan berpedoman pada nilai-nilai dan etika yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Penggambaran mengenai budaya kekerasan, pertama dijelaskan oleh penulis melalui peristiwa penjajahan yang pernah terjadi di Indonesia. Pada masa itu kekerasan muncul sebagai usaha untuk menguasai satu sama lain. Bagaimana usaha untuk mendapatkan kekuasaan dan menghegemoni masyrakat melalui kekuasan maupun dilakukan dengan kekerasan. Siapa yang menang dan berkuasa maka dialah yang mampu menggerakan masyarakat baik itu dengan paksaan maupun dengan tipuannya. Kemudian, budaya kekerasan yang kedua dijelaskan oleh penulis melalui peristiwa yang penah terjadi pada masa Reformasi 1998 yaitu peristiwa Pisowanan ageng 20 Mei. Pada bagian ini penulis juga memunculkan bagaimana budaya halus itu ada sebagai pengendali budaya kekerasan. Asal mula terjadinya Pisowanan ageng 20 Mei adalah ketika masyarakt ingin menuntut penguasa untuk memundurkan diri dari jabatannya. Sultan Hamengkubuwono X yang pada saat itu sadar akan terjadi kekerasan, maka dia berinisiatif mengadakan Pisowanan ageng 20 Mei namun tanpa adanya kekerasan. Hal tersebut dia kendalikan melalui kekuasaan yang dia miliki sehingga masyarakat pasti patuh terhadap perintahnya. Kekuasaan Sultan HB X dilambangkan sebagai budaya halus yang dia dapatkan melalui usaha yaitu laku prihatin dan mampu mengendalikan budaya kasar yaitu kekerasan.

Selain melalui kedua contoh tersebut, penulis juga menggambarkan budaya kasar dan halus melalui salah satu istilah yang ada di jawa yaitu “Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati”, cerita Barata Yuda, dan tari Bambangan Cakil. Ketiganya menjelaskan budaya kasar dan halus melalui kebudayaan yang ada pada masyrakat Jawa. Secara tidak sadar, orang Jawa yang dicitrakan sebagai orang yang berperilaku dan berbudi bahasa halus, ternyata juga telah menurunkan budaya kekerasan dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat kita lihat melalui pemaknaan “Dupak Bujang, Semu Mantri, Esem Bupati” yang salah satunya memiliki arti bahwa komunikasi dapat berjalalan pada kaum pemuda atau wong cilik dengan cara kekerasan. Selain itu, dalam tari Bambangan Cakil menceritakan bagaiman budaya kekerasan (dilambangkan pada watak Buto Cakil) saling berlawanan dengan budaya alus (watak Arjuna). Dari semua penjelasan yang dipaparkan oleh penulis, saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Jawa yang dikenal sebagai masyarakt yang berbudaya alus, ternyata secara tidak langsung telah mewariskan secara turun temurun budaya kasar. Kamudian, kekerasan merupakan sifat dasar yang pasti dimiliki oleh setiap orang, namun hal tersebut dapat dirubah dengan usaha yang keras untuk mencapai Kuasa. Yaitu dimana sesorang dianggap telah memiliki kesaktian dan mampu mengendalikan diri sehingga sifat keras yang ada pada dirinya mampu diredakan.

posted by afiatafianti in Sosiologi and have No Comments

Place your comment

Please fill your data and comment below.
Name
Email
Website
Your comment

Skip to toolbar