Archive for ◊ September, 2016 ◊

• Friday, September 30th, 2016

 

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang” (Al Baqarah : 218)

Alhamdulillahirobbil’alamin, rasa syukur perlu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan waktu, sehingga sebentar lagi kita akan menikmati tahun baru Islam yaitu tahun 1438 Hijriah. Ya, hijrah bukan hal yang mudah. Kemudahan itu tidak muncul dalam sesaat, namun perlu ada persiapan batin. Mari kita lihat ayat yang khotib bacakan di atas.

Pertama, orang beriman. Untuk mengawali sesuatu pekerjaaan pasti diawali dengan motivasi yang tinggi. Agama mengajarkan pentingnya niat. Niat harus dilakukan diawal. Pekerjaan akan menjadi bernilai tergantung pada niatnya. Misal, kita beli baju untuk diamalkan untuk sholat, maka pekerjaan mulai dari  melepas kancing hingga berhias di depan kaca menjadi nilai ibadah. Berbeda dengan kita membeli baju untuk menunjukkan kelebihan atau keunggulan atas kemampuan kita membeli baju yang mahal, maka pekerjaan saat memakai hingga menunjukkan baju tersebut kepada orang lain menjadi ria.

Ketika Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya berhijrah, motivasi dan niatnya adalah memperoleh ridho Allah. (Lillahita’ala). Menjelang hijrah, kaum muslim berada  dalam posisi yang lemah dan teraniaya. Namun, keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna. Mengapa demikian? Karena tebalnya iman mereka kepada Allah SWT. Inti atau eksistensi dasar yang ditanamkan Rasul kepada sahabatnya waktu di Mekkah (sebelum hijrah) adalah prinsip keimanan. Ya sekali lagi iman. Atau orang menyebut keyakinan. Iman menjadi pondasi yang kokoh karena akan membentengi manusia dan mengantarkan kepada optimisme.

Dalam hadist arbain nawawi disebutkan Amirul Mukminin Abu Hafash Umar bin Khottob berkata, saya telah mendengar Rosululloh berkata: Sesungguhnya semua amal disertai dengan niat, dan setiap orang akan melakukan tergantung niatnya, barang siapa yang hijrahnya itu menuju kepada keridhoan Allah dan Rosulnya, maka hijrahnya kepada Allah. Dan barang siapa yang hijrahnya itu karena tujuan dunia (harta, kekayaan, kemegahan) yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu pun kepada sesuatu yang akan ditujunya.

Gambaran orang beriman adalah orang yang sedang naik perahu di tengah-tengah laut yang luas, anginya kencang, dan perbekalan yang minim, namun ia memiliki kepercayaan akan menemukan pulau yang dapat ditempati untuk istirahat. PERCAYA atau YAKIN menjadi kuncinya.

Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir Al-Manar mengatakan iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga merupakan petunjuk jalan ketika berjumpa dengan keraguan. Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu yang menghalangi jalan kehidupan yang menyengsarakan. Dengan iman, mampu melihat atau menembus sesuatu yang tersirat dari yang tersurat, dari yang tidak jelas menjadi jelas.

Penekanan waktu Nabi Muhammad SAW berdakwah di Mekkah adalah keimanan. Misal, Bagaimana kita menyembah sesuatu yang aku tidak lihat? Bagaimana pula Allah melihat kita? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan keimanan. Allah tidak dapat dilihat oleh mata, tapi dapat dijangkau dengan hati. Allah dekat dari segala sesuatu, tetapi tidak dapat disentuh. Allah jauh, namun tetap bersama segala sesuatu.

Perasaan akan adanya Allah dalam jiwa adalah sebagaimana hidup kita. Perasaan itu tidak dapat dipisahkan kasih sayang ibu kepada anaknya, atau suami kepada istrinya. Perasaan tersebut harus dipelihara, diasah, diasuh agar tidak luntur dan berkurang. Itulah perasaan akan adanya Allah dalam hati. Ya, kasih sayangnya sangat terasa.

Kedua, pengorbanan. Ketika Rosululloh menyampaikan kepada Abu Bakar bahwa Allah akan memerintahkannya untuk berhijrah dan mengajak sahabatnya berhijrah bersama, Abu Bakar menangis. Dan, seketika itu juga Abu Bakar yang notabene kaya raya langsung membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rosul untuk memilih yang dikehendakinya. Rosul mengatakan: Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku. Unta ini kuserahkan untukmu. Baiklah, tapi aku akan membayar harganya.

Perkataan Nabi Muhammad SAW menunjukkan penolakan atas pemberian hadiah oleh Abu Bakar. Nabi Muhammad menginginkan pembelian atas unta tersebut. Bukankah Abu Bakar adalah sahabatnya? Dan, bukankah Nabi Muhamamd SAW sebelumnya selalu menerima pemberian hadiah Abu Bakar? Namun mengapa di kasus ini menolak pemberian hadiah Abu Bakar?

Ternyata Rosululloh mengajarkan kepada kita untuk mencapai suatu besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang yang akan melakukan. Tidak semuanya diterima dengan gratis. Beliau bermaksud hijrah dengan segala daya yang dimilikinya yaitu tenaga, pikiran, dan materi bahkan nyawa menjadi taruhannya. Dalam kasus ini, Nabi mengajarkan kepada Abu Bakar dan kita bahwa dalam mengabdi atau beribadah kepada Allah, janganlah mengabaikan sedikit kemampuan yang kita miliki.

Dalam ayat lain Allah berfirman Katakanlah: Jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta kekayaan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rosul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (at-Taubah:24)

Ketiga, makna hidup dan tawakal. Saat Nabi akan hijrah memerintahkan kepada Ali bin Abi Tholib untuk tidur di kamarnya sambil berselimut untuk mengelabuhi kaum musrikin. Pada hakikatnya, sahabat Ali mempertaruhkan jiwa dan raganya demi membela Allah. Ia siap mati. Hal ini menjadi pembelajaran kita. Mengapa sahabat Ali mau melakukan pekerjaan dengan resiko mati? Ternyata beliau mengajarkan kita untuk melakukan ibadah atau kewajiban kepada Allah, tidak memandang berapa usia kita. Lakukanlah ibadah atau pekerjaan hari ini, tanpa menunda hari esok. Dan, harus yakin ada kehidupan yang kekal. Itulah makna hidup, dimana ada kehidupan setelah kematian.

Saat bersembunyi di gua Tsur, Nabi Muhamamd bersama Abu Bakar, Abu Bakar merasa takut dan gundah, kemudian Nabi mendamaikan dengan kalimat “La tahzan inna allahu ma’ana (Jangan khawatir, sesungguhnya Allah bersama kita).

Ternyata Nabi Muhamamd bukanlah orang yang egois. Beliau mengatakan kita, Allah bersama kita. Tidak bersamaku. Kalimat tersebut menunjukkan kepasrahan total. Karena sudah tidak ada yang menolong, kecuali Allah. Padahal, dulu waktu perang Badar, Nabi Muhammad yang gusar dan panik karena situasi perang saat itu. Berbeda saat hijrah, meskipun minim persiapan, namun tawakal atau kepasrahan yang total dan usaha yang maksimal mampu melaksanakan perintah hijrah dengan baik. Semoga kita bisa mengambil hikmah peristiwa hijrah, yaitu:

  1. Iman menjadi modal utama, meskipun minim persiapan
  2. Pengorbaban dibutuhkan saat kita akan melakukan tujuan atau pekerjaan yang besar
  3. Hidup harus dipasrahkan secara total kepada Allah, meskipun resikonya adalah kematian.

Semoga kita bisa mengambil hikmah tersebut. Amin.

 

 

• Tuesday, September 27th, 2016

agung bercerita arsip

Judul                 : Agung Bercerita Arsip

Penulis               : Agung Kuswantoro

Peresensi           : Musliichah (Arsiparis Berprestasi Tingkat Nasional 2012)

Penerbit             : Salemba Humanika

Tahun                : 2015

ISBN                 : 978-602-1232-26-2

Halaman            : 184 halaman

 

Buku ini memberikan gambaran cara seorang “publik” mencintai arsip dan mengekspresikan cintanya pada arsip melalui tulisan. Ekspresi cinta ini merupakan rangkuman dari pengalaman bergelut dengan arsip melalui penelitian dan praktik pengabdian. Artikel-artikel dalam buku ini memberikan wacana empiris tentang proses arsip tumbuh dan memberikan kehidupan dalam sebuah organisasi. Gagasan penulis tentang arsip dituangkan dalam dua bagian. Bagian pertama menyajikan berbagai tulisan hasil kajian dan penelitian; dan bagian kedua menyajikan berbagai tulisan tentang arsip berdasar pengalaman di bidang kearsipan.

Bagian pertama yang berisi berbagai artikel dan makalah yang pernah penulis susun dan dipresentasikan dalam “mimbar ilmiah” sebagian besar bertema tentang arsip elektronik. Hal ini menggambarkan tuntutan publik untuk mendorong lahirnya era otomasi arsip. Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta merebaknya budaya digital di tengah kehidupan masyarakat menjadi pemicu dan pendorong keinginan lahirnya otomasi atau digitalisasi arsip. Fenomena ini ditangkap oleh penulis dan menjadi sumber ide atau gagasan penulis. Berbekal latar belakang ilmu administrasi perkantoran penulis mencoba melahirkan ide atau gagasan tentang cara arsip diwujudkan dalam bentuk digital atau sering disebut arsip elektronik. Tentu saja ide atau gagasan penulis ini sangat kekinian dan berusaha memberikan jawaban atas tuntutan publik yang “melek” teknologi. Arsip elektronik atau penulis sebut dengan e-arsip ditawarkan sebagai sebuah solusi kearsipan yang simpel dan sederhana yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan modern masa kini. Konsep e-arsip dapat dibaca dalam artikel berjudul “E-Arsip: Simpel dan Dibutuhkan”.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara mengelola arsip elektronik? Pertanyaan ini dapat ditemukan jawabannya pada makalah-makalah yang pernah disampaikan oleh penulis di berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah baik di lingkungan perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Makalah­-makalah tersebut juga menyajikan berbagai landasan spirit tentang arsip elektronik untuk mewujudkan upaya konservasi/ paperless dalam penciptaan arsip.

Mendorong lahirnya budaya arsip elektronik tidak semudah membalik telapak tangan. Ada faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan budaya tersebut yaitu SDM. SDM kearsipan atau sering disebut arsiparis khususnya terkait kompetensi arsiparis dalam penguasaan TIK menjadi penentu arsip elektronik dapat dikembangkan di sebuah institusi. Sudah banyak dibicarakan publik bahwa SDM kearsipan di Indonesia masih rendah baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Kualitas SDM kearsipan salah satunya adalah kompetensi dalam penguasaan TIK. Menjawab permasalahan tersebut, penulis menawarkan sebuah gagasan taktis cara meningkatkan kompetensi arsiparis tersebut.

Makalah berjudul “Menggagas Arsiparis Kompeten melalui Arsip Elektronik (E-Arsip) berbasis Microsoft Acces pada Fakultas Ekonomi UNNES” memaparkan cara merancang aplikasi yang friendly untuk para arsiparis dalam mengoperasionalkan arsip elektronik. Stretegi peningkatan kompetensi arsiparis dalam bidang TIK dapat juga diambil dari artikel berjudul “Peningkatan Pembelajaran Praktik Kearsipan dengan Digital Automatic Filing Cabinet (DAFC)”. Gagasan yang bersifat konseptual terkait manajemen arsip elektronik penulis sajikan dalam artikel “Model Manajemen Kearsipan sebagai Upaya UNNES Meraih Sertifikat ISO 901:2008 (Kajian Konseptual)”.

Berbagai praktik atau implemantasi manajemen arsip elektronik dapat dipelajari dari artikel-artikel disajikan  artikel yang disajikan dalam bagian 2 yang berisi kumpulan pengalaman penulis dalam melakukan kegiatan pengabdian atau pendampingan penataan arsip di berbagai instansi baik perguruan tinggi maupun non perguruan tinggi. Bidang-bidang kearsipan yang diulas berdasarkan pengalaman penulis antara lain manajemen arsip Bagian Sintensis di PT. KAI DAOP IV Jateng, diskusi tentang perumusan sistem kearsipan, proses penyusunan pedoman pola kearsipan yang diambil dari pengalaman di Badan Konservasi UNNES dan Fakultas Hukum UNNES. Materi yang disarikan dari pengalaman penulis lainnya adalah seputar kegiatan pelatihan kearsipan, apresiasi kearsipan melalui lomba, dan praktik penataan arsip. Kegiatan penataan kearsipan tentu membutuhkan prasarana dan sarana. Keberhasilan penataan arsip ditentukan oleh ketepatan perencanaan kegiatan yang di dalamnya mencakup rencana kebutuhan prasarana dan sarana. Pengalaman  merancang kebutuhan prasarana dan sarana kearsipan dalam penataan arsip dituangkan dalam artikel berjudul “Perlunya Identifikasi Kebutuhan”. Hal-hal yang sifatnya pribadi terkait cara penulis memandang, mengakui, dan menerima arsip banyak diungkapkan dalam berbagai tulisannya seperti dalam artikel “Aku dan Keinginanku”, “Arsip Via Telepon Genggam (HP)”, dan “Pria Panggilan Tak Bertarif’.

Kumpulan tulisan-tulisan yang dirangkum dalam buku ini benar­-benar menggambarkan “cara Agung memandang arsip”, sehingga lahir cerita-cerita Agung tentang arsip. Tulisan ini dapat menjadi bahan referensi riil tentang fenomena dan dinamika kearsipan yang sedang tumbuh di sekitar kita. Kita dapat memperoleh gambaran kekinian tentang arsip. Gambaran ini tentu dapat menjadi masukan yang penting bagi orang yang bergerak di bidang kearsipan untuk merumuskan konsep kearsipan baik pada level kebijakan maupun manajemen praktisnya. Publik yang masih awam dengan kearsipan dapat mencerna dan memahami tulisan ini dengan lebih mudah karena tulisan-tulisan dalam buku ini disajikan dengan ragam bahasa yang membumi bukan teori­-teori yang saat ini mungkin hanya bisa dikonsumsi oleh sebagian kecil masyarakat saja. Dengan demikian buku ini dapat menjadi jalan masuk bagi orang awam untuk memahami arsip. Generasi muda yang sangat erat dengan dunia digital atau sering disebut sebagai digital native akan merasa dekat dan nyaman memahami arsip lewat buku ini karena buku ini mencoba memahami arsip dari perspektif TIK dalam tataran praktis.

Agung mencoba menampilkan potret arsip masa kini berupa arsip elektronik. Sedikit latar belakang munculnya arsip elektronik disampaikan dalam artikel pertama bahwa arsip elektronik muncul sebagai dampak atau tuntutan dari paradigma manajemen perkantoran modern. Manajemen perkantoran modern banyak memproduksi arsip dengan sistem elektronik seperti e­mail, e-commerce, e-procurement, e­arsip, e-document, e-KTP, e-filing, e­laporan, e-journal, dan lain-lain. Berbekal pengalamannya dalam membuat sistem e-arsip melalui program access dengan tiga model yaitu model access, model access berbantuan barcode, dan ketiga model access berbasis internet. Sayang, Agung tidak menjabarkan secara rinci ketiga model tersebut sehingga pembaca tidak mendapatkan gambaran implementasinya. Kekurangan dan kelebihan arsip elektronik juga diulas secara singkat dalam artikel pertama ini.

Gambaran lebih detail tentang manajemen arsip elektronik dapat ditemukan dalam artikel ke- 13 “Arsip Elektronik (E-Arsip) Berbasis Capaian Mutu melalui Folder dan Guide Virtue serta Aplikasi Acces. Praktik manajemen arsip elektronik yang disajikan dalam artikel ini berbasis konteks manajemen arsip dalam rangka akreditasi perguruan tinggi. Agung menawarkan pemberkasan arsip elektronik dengan sarana laci, guide, dan map virtue. Pemberkasan arsip elektronik tersebut menggunakan sistem pemberkasan berdasar subjek atau masalah. Sarana pemberkasan arsip elektronik tersebut jika dikonversikan ke dalam konsep manajemen kearsipan, laci sebagai pokok masalah, guide sebagai submasalah, dan map virtue sebagai sub-­submasalah.

Teknik penyusunan pola klasifikasi arsip dan penomoran arsip dapat dibaca pada artikel ke-25 tentang Pola Kearsipan Badan Konservasi UNNES yang ditentukan dalam 12 klasifikasi berdasarkan jenis fisik arsip yaitu laporan, dokumen, majalah, pedoman, buku, jurnal, esai, proposal, surat-menyurat, buletin, leaflet, dan lain-lain. Teknik penomoran terdiri dari 4 unsur, secara berurutan meliputi: kode klasifikasi, kode unit, kode tahun, dan nomor urut arsip. Sekilas teknik penyusunan pola klasifikasi dan penomoran ini simpel namun jika dikaitkan dengan kaidah kearsipan tentu memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih mendalam. Beberapa catatan terkait pola kearsipan dan penomoran tersebut adalah, pertama pola klasifikasi belum mencerminkan pembagian kelompok masalah/isi arsip. Pola klasifikasi disusun lebih berdasar pada jenis bentuk/format arsip bukan isi informasi arsip. Apabila hal ini dilakukan maka pola klasifikasi ini tidak memberikan jaminan tercapainya pemberkasan arsip yang efektif yaitu menyatukan arsip dalam satu kesatuan informasi yang utuh. Arsip sebagai satu kesatuan informasi dapat terpisah-­pisah karena terdiri dari beberapa jenis format. Terkait penomoran arsip perlu diingat bahwa dalam melakukan penataan arsip salah satu prinsip yang harus diterapkan adalah prinsip provenance atau prinsip asal usul, yaitu menata arsip atau memberkaskan arsip dengan terlebih dahulu mengutamakan asal-usul arsip (asal pencipta arsip). Melihat struktur urutan penomoran arsip yang ditawarkan, justru prinsip asal usul tidak diprioritaskan terlebih dahulu. Idealnya arsip dikelompokkan berdasarkan devisi dulu baru kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi.

Artikel-artikel dalam buku ini memberikan warna dalam manajemen kearsipan di era modern. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa arsip merupakan sebuah objek yang tidak bisa dengan mudah dikemas dan dibentuk berdasarkan keinginan dan kebutuhan. Ada aspek-­aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam mengelola arsip. Hal ini penting menjadi pemahaman bersama bahwa pada hakikatnya arsip-arsip yang ada di berbagai instansi khususnya badan publik merupakan arsip milik negara sehingga pengelolaannya harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau kaidah kearsipan. Manajemen kearsipan harus mempertimbangkan berbagai aspek. Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan atau teknik penataan arsip antara lain aspek hukum berupa peraturan perundang­undangan atau ketentuan-ketentuan hukum terkait kearsipan dan aspek ekonomis terkait efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan kearsipan.

Kehadiran buku ini patut mendapatkan apresiasi karena memperkaya khazanah bidang kearsipan dan memberikan ulasan praktik kearsipan dari aspek TIK. Hal ini sejalan dengan tuntutan era saat ini. Buku ini akan lebih mudah dipahami apabila penyajian artikel dikelompokkan berdasarkan tema bahasan bukan jenis artikel yang dibagi dalam dua kelompok besar yaitu hasil kajian/penelitian dan praktik. Artikel dengan topik atau tema yang sama baik hasil kajian/penelitian maupun praktik jika disajikan menjadi satu justru akan lebih memberikan pemahaman yang lengkap dari tataran teori hingga praktiknya. Bagi pembaca yang menjadikan buku ini sebagai referensi dapat mengambil banyak ide untuk membuat inovasi dalam praktik kearsipan. Namun demikian, tetap perlu diingat bahwa dalam melakukan praktik kearsipan kajian kaidah kearsipan tetap harus diperhatikan.


 

• Friday, September 23rd, 2016

entus

Oleh Agung Kuswantoro

Ada kejadian yang tak terduka saat saya jenguk ibu saya yang sedang sakit di Pemalang (21/9). Saya tiba di Pemalang pada malam hari, tepatnya pukul 17.30 WIB. Setibanya di Pemalang, langsung saya menuju ke rumah  untuk menemui ibu saya.

Di rumah saya bertemu dan bercerita dengan ibu saya sembari melepas kangen. Saya datang ke Pemalang tidak sendiri. Saya datang bersama anak dan istri. Pukul 20.30 WIB, saya keluar rumah untuk mencari makan malam bersama istri dan anak.

Saya memilih makan lontong dekem. Saat saya makan, datanglah seorang pembeli yang lain minta bungkus dua lontong dekem. Kemudian datang lagi tiga pembeli yang turun dari mobil Innova. Ketiga pembeli tersebut menyeberang menuju warung lontong dekem. Saat menyebrang ada pengendara sepeda motor yang akan menabrak ketiga orang tersebut yang menyebrang. Ketiga orang tersebut duduk disamping kiri saya.

Tiba-tiba pembeli yang satunya, menginginkan foto bersama salah satunya  ke-3 orang tersebut. Awalnya saya cuek dengan tindakan orang tersebut. Anggap saja, biasa foto selfie. Saat orang (pembeli) yang pesan bungkus lontong dekem pergi. Posisi di warung hanya keluarga saya (saya, istri, dan anak) dan ketiga orang pembeli, serta penjualnya. Penjualnya pun cuek terhadap ke-3 pembeli tersebut. Justru saya tertarik pada satu dari ke-3 pembeli tersebut. Ternyata benar dugaan saya, bahwa yang duduk disamping saya adalah Bupati Tegal, Bapak Entus, yang dulunya berprofesi sebagai dalang.

Saya pun bercerita dengan beliau dengan menggunakan bahasa Jawa halus (ala saya) dan campur bahasa Indonesia. Saya sempat bertanya mengenai anaknya yang barusan di wisuda di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Langsung beliau merespon pertanyaan saya, dengan kalimat “Lho, Masnya ko tau, kalau anak saya diwisuda dan saya menghadirinya?”.

Saya pun tersenyum pada beliau. Kemudia beliau meneruskan jawabannya dengan kalimat “Aku wong NU, tapi anakku tak sekolahke di Muhammadiyah”. Karena beliau akan memulai makan, dan makanan saya sudah habis, saya bergegas untuk meninggalkan warung tersebut. Saat saya akan membayar makanannya, penjual tersebut mengatakan makanan Bapak, Ibu, dan Anak (keluarga saya) dibayar oleh Bapak itu. Saya pun langsung terkejut dan langsung seketika itu mengucapkan terima kasih.

Dalam hati ingin berfoto dengan beliau, namun saya tidak membawa HP atau kamera. Saya memutuskan untuk pulang rumah untuk mengambil HP. Allah memang memberiku rizki lain, saat saya datang ke warung tadi, beliau masih di tempat dan berbicara kepada saya, “Mas sini, kita foto bareng”. Justru saya dipanggil untuk foto dengan beliau. Yang mengambil gambar adalah ajudannya.

Rizki tak kemana, mungkin kalimat itu yang tepat saya ucapkan. Bertemu dengan seseorang, langsung ditraktir semua pesanan makanan keluarga saya. Kemudian, saya dapat berfoto bersama dengan  beliau tanpa bersusah ria.

Semoga saya bisa meneladai sikap beliau yang sederhana. Makan di warung dengan pengawalan yang biasa yaitu satu ajudan dan sopir. Bahkan, sempat akan ditabrak oleh pengendara sepeda motor. Saya pun melihatnya sendiri bahwa beliau sudah memberi tanda untuk menyebrang. Namun pengendara motor langsung mengencangkan gasnya. Mari kita menjadi pribadi yang selalu anggun agar pantas diri kita dikatakan pribadi yang anggun.

Semoga pertemuan ini memberikan makna bagi saya tentang kesederhanaan, santun dalam berkendara di lalu lintas, berbagi, dan berkomunikasi.  Sukses selalu, Pak Dalang, Maju terus, Pak Bupati Tegal, terima kasih traktirannya.

 

Semarang, 23 September 2016

• Monday, September 19th, 2016

Oleh Agung Kuswantoro

Belajar dimana pun dan kapan pun. Pastinya pula membutuhkan perjuangan. Saat saya mengikuti seminar nasional di Universitas Sebelas Maret (UNS) di Surakarta dengan pembicara Bapak Sutanto pada 10 September 2016. Selain, Bapak Sutanto, juga ada pembicara lainnya yaitu Istofani Api Diany dan Bahtiar Minarto. Tema seminar tersebut adalah ecommerce.

Saya sangat tertarik dengan materi yang disampaikan oleh Bapak Sutanto. Judul makalah beliau adalah disruptive models: creativity dalam science & art menuju prosperity. Beliau menyampaikan era ekonomi menuju otonom sudah berakhir ditandai dengan munculnya internet. Sejak itu bergeser aktivitas ke era ekonomi atom yaitu era ekonomi yang mendasarkan pada kekuatan informasi. Dalam bisnis berlaku dua aktivitas yaitu take dan give. Beliau mampu menampilkan kuadran yang terdiri dari empat yaitu kuadran I (penyeimbang), kuadran II (penerima), kuadran III (penyeimbang), dan kuadran IV (pemberi).

Kuadran I dan III, adalah orang yang bekerja atau memberi sesuai dengan imbalan yang diterima. Kuadran II adalah orang yang mendapatkan lebih banyak dari apa yang mereka keluarkan. Kuadran IV adalah orang yang selalu memberi dengan hanya sedikit mengambil. Ia adalah ahli sedekah. Prinsip kuadran IV dalam perkembangan bisnis di era informasi menjadi trend. Menariknya adalah disaat hilangnya value sebagai akibat dari kegiatan memberi, maka bahkan yang diterima adalah REPUTASI. Reputasi secara kreatif akan dikelola sebagai sebuah bisnis yang akhirnya akan mengembalikan value yang hilang, hingga merubah diri PEMBERI menuju PENYEIMBANG dan PENERIMA, meski masih harus terus memberi layanan secara kolaboratif.

Beliau (Bapak Sutanto) membuat akun facebook wikimatika. Dalam facebook tersebut orang bebas memberikan pertanyaan mengenai soal-soal matematika. Kemudian, pemilik akun atau yang mengikuti akun tersebut akan menjawab soal matematika tersebut. Wikimatika sebagai wujud sebagai ilmu atau sedekah era digital. Ia sangat cepat, mampu menekan biaya produksi dan produksi. Ia berkualitas tinggi, dimana (1) users siapa pun dapat memperoleh akses, (2) users tidak dikenakan biaya konsultasi, (3) users tidak dibatasi oleh geografis, dan (4) users membangun komunitas.

Melalui wikimatika inilah, tak disangka kumpulan soal matematika terkumpul, hingga penerbit pun tertarik untuk mempublikasikan atau menerbitkan kumpulan soal matematika. Bahkan users yang berasal dari Malaysia mengikuti perkembangan update soal matematika. Hingga, akhirnya Bapak Sutanto diundang ke Malaysia untuk bekerjasama dengan lembaga di Malaysia.

Menurut saya, Bapak Sutanto sudah melaksanakan sedekah. Menjawab soal matematika yang ada di wikimatika. Efek dari perbuatan mulia tersebut adalah reputasi. Beliau  yang dikenal oleh banyak orang. Sehingga benar dan yakin terjadi dengan janji Allah yang tertulis di Al qur’an.

Lalu, apa yang bisa kita sedekahkan agar senantiasa Allah selalu ada dalam kehidupan kita. Malu rasanya, jika kita hanya pada kuadran PENYEIMBANG dan PENERIMA. Jika demikian, bila posisi kita ada di ke-2 kuadran tersebut, maka akan susah untuk bereputasi. Semoga Allah membimbing kita semua dalam  melangkah kehidupan di dunia ini. Amin.

 

Semarang, 17 September 2016

 

 

• Tuesday, September 13th, 2016

Saya dan istri mengakui bahwa kajian Madrasah Istiqlal semakin surut santrinya. Kendalanya bermacam-macam. Pertama, ada santri yang les di sekolahan dari hari Senin hingga Jum’at. Padahal Madrasah Istiqlal dilakukan pada hari Senin hingga Kamis. Kedua, santri (anak) mengikuti perpindahan rumah. Dulu, ia mengontrak di sekitar rumah saya. Sehingga ia aktif mengaji di rumah saya. Ketiga, faktor lain, seperti kecapean atau jam sekolah belum selesai.

Memang itu semua tantangan untuk kami dalam mengelola Madrasah Istiqlal. Kami secara professional dengan mengumpulkan orang tua, pembagian raport, menyediakan sarana prasarana (buku, bolpen, crayon, buku gambar, jilid, papan tulis, spidol, dan lainnya), dan guru mengaji yang selalu stand by.

Segala tantangan, kami mencoba menyelesaikannya. Satu per satu, kami menyelesaikannya. Mulai dari jam mengaji dipilih sore hari karena harapannya orang tua bisa mengantar anaknya sembari memberi makan dan bermain. Ketersediaan sarana dan prasarana yang belum memadai sama sekali. Alhamdulillah berkat proposal yang saya buat, toko AJM ‘mengijabahi’ semua permintaan kami atas proposal yang saya buat. Kajian yang dihari tertentu libur karena ada kepentingan, kami menyiapkan guru yang stand by. Permasalahan tersebut, kita selesaikan agar Madrasah Istiqlal tetap berjalan. Namun, justru permasalahan yang terjadi adalah minimnya santri kami. dulu santri stabil empat hingga lima orang. Sekarang, yang aktif mengaji hanya dua orang santri. Alhamdulillah masih ada yang hadir.

Kondisi ini sangat susah bagi kami untuk menentukan nasib Madrasah Istiqlal. Karena akan berdampak pada profesionalisme keberadaan Madrasah Istiqlal. Jadi serba bingung. Menyalahkan santri yang tidak mengaji, jelas tidak boleh. Mau mempertahankan, Madrasah Istiqlal, namun santrinya semakin susut. Belum lagi, apakah orang tuanya mengetahui perkembangan kemajuan anak mengajinya? Karena, jangan sampai anak mengaji, namun orang tuanya cuek terhadap perkembangan mengaji anak. Jika Madrasah Istiqlal saya tutup, maka nanti anak saya akan mengaji dimana? Lha wong tujuan membuat Madrasah Istiqlal agar anak saya bisa mengaji.

Permasalahan-permasalah  atau kalimat tanya di ataslah yang belum kami selesaikan. Kami berharap ada kerjasama antara orang tua dengan pengelola Madrasah Istiqlal terhadap keberadaan sekolah mengaji ini.  Sederhana memang tujuan Madrasah Istiqlal ini agar anak-anak yang disekitar lingkungan kami bisa mengenal Allah dan bisa membaca kitab suci orang Muslim yaitu Alqur’an. Butuh ketegasan juga, apakah harus dilanjutkan keberadaan Madrasah Istiqlal. Atau harus ditutup  Madrasah Istiqlal karena masalah justru pada internal, bukan secara material. Semoga Allah memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan Madrasah Istiqlal, Semarang.

 

Semarang, 12 September 2016

Agung Kuswantoro

• Thursday, September 08th, 2016

DSC_0278

PPs UNNES adalah unit kerja di UNNES yang menyelenggarakan khusus pendidikan strata dua dan tiga, sehingga ia memiliki peran yang sangat vital dalam kemajuan UNNES. Oleh karenanya, perlu dokumen atau arsip yang dikelolanya harus ditata sebagai dasar dalam membuat kebijakan atau keputusan atas informasi yang tersaji dalam arsip tersebut.

UNNES telah memiliki pola klasifikasi, Jadwal Retensi Arsip (JRA), tata naskah surat dinas, pengelolaan arsip dinamis, dan pedoman lainnya mengenai kearsipan. Namun, itu semua perlu didukung oleh unit kerja, salah satunya PPs UNNES. Bagaimana agar arsip di PPs UNNES dapat tertata? Jawaban yang sangat singkat adalah membuat Record Center PPs UNNES. Namun, untuk mewujudkan record center bukan hal yang mudah. Mengapa demikian? Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan dan sumber daya yang kompeten. The right man on the right place atau penempatan orang sesuai dengan tempatnya menjadi prinsip utama dalam penataan arsip. Jangan sampai penataan arsip dilakukan asal saja. Menata arsip memiliki kaidah dan pola tersendiri. Oleh karenanya perlu dirancang.

Adapun rancangannya ada beberapa tahap. Pertama, unit kerja (PPs UNNES) harus memiliki SOP (Standard Operational Prosedure) mengenai pola klasifikasi kearsipan dan tata naskah dinas. SOP sebagai pedoman orang yang bekerja agar sesuai  prosedur sehingga tujuan organisasi cepat tercapai. Ilustrasinya saat orang pekerja bangunan akan masuk ke gedung yang sedang dikerjakan, maka ia akan memakai helm, rompi warna cerah, sepatu, membawa peralatan kerja, dan bekal lainnya. Tujuannya ia memakai atribut seperti itu adalah agar ia selamat dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Lantas, bagaimana penata dokumen dalam mengelola arsip? Pastinya, dibutuhkan SOP sebagaimana pekerja bangunan akan masuk ke gedung. Penata dokumen menuliskan surat masuk-keluar ke buku agenda, membuat kartu kendali, mengklasifikasikan, memberkas arsip, menyimpan arsip, memelihara arsip, mengamankan arsip, dan menyusutkan arsip. Setiap pekerjaan penata dokumen pasti memiliki langkah kerjanya agar ia selamat dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti arsip hilang atau merasa sudah menerima arsip, padahal belum menerima arsip. Oleh karenanya, SOP kearsipan di PPs UNNES sangat dibutuhkan, sebagai acuan penata dokumen dalam bekerja.

Kedua, unit kerja memiliki sumber daya (penata dokumen) yang potensial dibidang administrasi. Hal ini sangat penting, karena menata arsip dibutuhkan profesionalitas, sehingga kita mengenal arsiparis, dimana ia memiiki tugas utama menata arsip. Kenyataan selama ini, ada rotasi pegawai pada penata dokumen atau tendik, namun UNNES masih terbatas dalam tenaga arsiparisnya, sehingga menyulitkan dalam penataan arsip. Oleh karenanya, cara yang harus ditempuh  adalah menguatkan SOP dan memberikan pelatihan dan pendampingan dalam kearsipan.

Ketiga, menata arsip membutuhkan ruangan atau record center. Tujuannya adalah menyimpan arsip atau depo arsip dari masing-masing subunit atau prodi. Depo arsip ini menjadi  pusat penyimpanan arsip PPs UNNES. Arsip yang aktif masih disimpan di subunit atau prodi, sedangkan arsip yang masa umurnya sudah habis dan masih berguna, serta memiliki nilai guna, maka disimpan di depo arsip. Untuk memindahkan arsip dari subunit kerja ke unit kerja atau record center atau depo arsip juga harus sesuai dengan prosedur, yaitu dengan mencatat arsip mulai dari judul arsip, tahun arsip, pola klasifikasi, jumlah arsip, bentuk arsip, dan retensi arsip.

Cara penyerahan arsip bukan berwujud berkas-berkas yang dibendel tali rafiya atau berkas yang dimasukkan ke kardus, kemudian dikirim ke depo arsip. Sebelum dikirim ke depo arsip, dibuatkan berita serah terima arsip dari subunit kerja ke unit kerja. Jadi, bukan asal mengirim berkas ke record center.

Ketiga rancangan itulah yang dapat kita lakukan dalam menata arsip, khususnya membuat record center. Memang bukan hal mudah untuk menciptakan arsip yang rapi dan tertib, sehingga penemuan kembali (finding) arsip dapat cepat ditemukan. Semoga arsip PPs UNNES dapat tertata dengan  rapi sesuai dengan kaidah manajemen kearsipan. Sukses untuk kita semua. Amin.

 

 

Semarang, 7 September 2016

Agung Kuswantoro