• Friday, September 23rd, 2016

entus

Oleh Agung Kuswantoro

Ada kejadian yang tak terduka saat saya jenguk ibu saya yang sedang sakit di Pemalang (21/9). Saya tiba di Pemalang pada malam hari, tepatnya pukul 17.30 WIB. Setibanya di Pemalang, langsung saya menuju ke rumah  untuk menemui ibu saya.

Di rumah saya bertemu dan bercerita dengan ibu saya sembari melepas kangen. Saya datang ke Pemalang tidak sendiri. Saya datang bersama anak dan istri. Pukul 20.30 WIB, saya keluar rumah untuk mencari makan malam bersama istri dan anak.

Saya memilih makan lontong dekem. Saat saya makan, datanglah seorang pembeli yang lain minta bungkus dua lontong dekem. Kemudian datang lagi tiga pembeli yang turun dari mobil Innova. Ketiga pembeli tersebut menyeberang menuju warung lontong dekem. Saat menyebrang ada pengendara sepeda motor yang akan menabrak ketiga orang tersebut yang menyebrang. Ketiga orang tersebut duduk disamping kiri saya.

Tiba-tiba pembeli yang satunya, menginginkan foto bersama salah satunya  ke-3 orang tersebut. Awalnya saya cuek dengan tindakan orang tersebut. Anggap saja, biasa foto selfie. Saat orang (pembeli) yang pesan bungkus lontong dekem pergi. Posisi di warung hanya keluarga saya (saya, istri, dan anak) dan ketiga orang pembeli, serta penjualnya. Penjualnya pun cuek terhadap ke-3 pembeli tersebut. Justru saya tertarik pada satu dari ke-3 pembeli tersebut. Ternyata benar dugaan saya, bahwa yang duduk disamping saya adalah Bupati Tegal, Bapak Entus, yang dulunya berprofesi sebagai dalang.

Saya pun bercerita dengan beliau dengan menggunakan bahasa Jawa halus (ala saya) dan campur bahasa Indonesia. Saya sempat bertanya mengenai anaknya yang barusan di wisuda di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Langsung beliau merespon pertanyaan saya, dengan kalimat “Lho, Masnya ko tau, kalau anak saya diwisuda dan saya menghadirinya?”.

Saya pun tersenyum pada beliau. Kemudia beliau meneruskan jawabannya dengan kalimat “Aku wong NU, tapi anakku tak sekolahke di Muhammadiyah”. Karena beliau akan memulai makan, dan makanan saya sudah habis, saya bergegas untuk meninggalkan warung tersebut. Saat saya akan membayar makanannya, penjual tersebut mengatakan makanan Bapak, Ibu, dan Anak (keluarga saya) dibayar oleh Bapak itu. Saya pun langsung terkejut dan langsung seketika itu mengucapkan terima kasih.

Dalam hati ingin berfoto dengan beliau, namun saya tidak membawa HP atau kamera. Saya memutuskan untuk pulang rumah untuk mengambil HP. Allah memang memberiku rizki lain, saat saya datang ke warung tadi, beliau masih di tempat dan berbicara kepada saya, “Mas sini, kita foto bareng”. Justru saya dipanggil untuk foto dengan beliau. Yang mengambil gambar adalah ajudannya.

Rizki tak kemana, mungkin kalimat itu yang tepat saya ucapkan. Bertemu dengan seseorang, langsung ditraktir semua pesanan makanan keluarga saya. Kemudian, saya dapat berfoto bersama dengan  beliau tanpa bersusah ria.

Semoga saya bisa meneladai sikap beliau yang sederhana. Makan di warung dengan pengawalan yang biasa yaitu satu ajudan dan sopir. Bahkan, sempat akan ditabrak oleh pengendara sepeda motor. Saya pun melihatnya sendiri bahwa beliau sudah memberi tanda untuk menyebrang. Namun pengendara motor langsung mengencangkan gasnya. Mari kita menjadi pribadi yang selalu anggun agar pantas diri kita dikatakan pribadi yang anggun.

Semoga pertemuan ini memberikan makna bagi saya tentang kesederhanaan, santun dalam berkendara di lalu lintas, berbagi, dan berkomunikasi.  Sukses selalu, Pak Dalang, Maju terus, Pak Bupati Tegal, terima kasih traktirannya.

 

Semarang, 23 September 2016

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply