• Friday, September 30th, 2016

 

 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang” (Al Baqarah : 218)

Alhamdulillahirobbil’alamin, rasa syukur perlu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan waktu, sehingga sebentar lagi kita akan menikmati tahun baru Islam yaitu tahun 1438 Hijriah. Ya, hijrah bukan hal yang mudah. Kemudahan itu tidak muncul dalam sesaat, namun perlu ada persiapan batin. Mari kita lihat ayat yang khotib bacakan di atas.

Pertama, orang beriman. Untuk mengawali sesuatu pekerjaaan pasti diawali dengan motivasi yang tinggi. Agama mengajarkan pentingnya niat. Niat harus dilakukan diawal. Pekerjaan akan menjadi bernilai tergantung pada niatnya. Misal, kita beli baju untuk diamalkan untuk sholat, maka pekerjaan mulai dari  melepas kancing hingga berhias di depan kaca menjadi nilai ibadah. Berbeda dengan kita membeli baju untuk menunjukkan kelebihan atau keunggulan atas kemampuan kita membeli baju yang mahal, maka pekerjaan saat memakai hingga menunjukkan baju tersebut kepada orang lain menjadi ria.

Ketika Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya berhijrah, motivasi dan niatnya adalah memperoleh ridho Allah. (Lillahita’ala). Menjelang hijrah, kaum muslim berada  dalam posisi yang lemah dan teraniaya. Namun, keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna. Mengapa demikian? Karena tebalnya iman mereka kepada Allah SWT. Inti atau eksistensi dasar yang ditanamkan Rasul kepada sahabatnya waktu di Mekkah (sebelum hijrah) adalah prinsip keimanan. Ya sekali lagi iman. Atau orang menyebut keyakinan. Iman menjadi pondasi yang kokoh karena akan membentengi manusia dan mengantarkan kepada optimisme.

Dalam hadist arbain nawawi disebutkan Amirul Mukminin Abu Hafash Umar bin Khottob berkata, saya telah mendengar Rosululloh berkata: Sesungguhnya semua amal disertai dengan niat, dan setiap orang akan melakukan tergantung niatnya, barang siapa yang hijrahnya itu menuju kepada keridhoan Allah dan Rosulnya, maka hijrahnya kepada Allah. Dan barang siapa yang hijrahnya itu karena tujuan dunia (harta, kekayaan, kemegahan) yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu pun kepada sesuatu yang akan ditujunya.

Gambaran orang beriman adalah orang yang sedang naik perahu di tengah-tengah laut yang luas, anginya kencang, dan perbekalan yang minim, namun ia memiliki kepercayaan akan menemukan pulau yang dapat ditempati untuk istirahat. PERCAYA atau YAKIN menjadi kuncinya.

Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir Al-Manar mengatakan iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga merupakan petunjuk jalan ketika berjumpa dengan keraguan. Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu yang menghalangi jalan kehidupan yang menyengsarakan. Dengan iman, mampu melihat atau menembus sesuatu yang tersirat dari yang tersurat, dari yang tidak jelas menjadi jelas.

Penekanan waktu Nabi Muhammad SAW berdakwah di Mekkah adalah keimanan. Misal, Bagaimana kita menyembah sesuatu yang aku tidak lihat? Bagaimana pula Allah melihat kita? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan keimanan. Allah tidak dapat dilihat oleh mata, tapi dapat dijangkau dengan hati. Allah dekat dari segala sesuatu, tetapi tidak dapat disentuh. Allah jauh, namun tetap bersama segala sesuatu.

Perasaan akan adanya Allah dalam jiwa adalah sebagaimana hidup kita. Perasaan itu tidak dapat dipisahkan kasih sayang ibu kepada anaknya, atau suami kepada istrinya. Perasaan tersebut harus dipelihara, diasah, diasuh agar tidak luntur dan berkurang. Itulah perasaan akan adanya Allah dalam hati. Ya, kasih sayangnya sangat terasa.

Kedua, pengorbanan. Ketika Rosululloh menyampaikan kepada Abu Bakar bahwa Allah akan memerintahkannya untuk berhijrah dan mengajak sahabatnya berhijrah bersama, Abu Bakar menangis. Dan, seketika itu juga Abu Bakar yang notabene kaya raya langsung membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rosul untuk memilih yang dikehendakinya. Rosul mengatakan: Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku. Unta ini kuserahkan untukmu. Baiklah, tapi aku akan membayar harganya.

Perkataan Nabi Muhammad SAW menunjukkan penolakan atas pemberian hadiah oleh Abu Bakar. Nabi Muhammad menginginkan pembelian atas unta tersebut. Bukankah Abu Bakar adalah sahabatnya? Dan, bukankah Nabi Muhamamd SAW sebelumnya selalu menerima pemberian hadiah Abu Bakar? Namun mengapa di kasus ini menolak pemberian hadiah Abu Bakar?

Ternyata Rosululloh mengajarkan kepada kita untuk mencapai suatu besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang yang akan melakukan. Tidak semuanya diterima dengan gratis. Beliau bermaksud hijrah dengan segala daya yang dimilikinya yaitu tenaga, pikiran, dan materi bahkan nyawa menjadi taruhannya. Dalam kasus ini, Nabi mengajarkan kepada Abu Bakar dan kita bahwa dalam mengabdi atau beribadah kepada Allah, janganlah mengabaikan sedikit kemampuan yang kita miliki.

Dalam ayat lain Allah berfirman Katakanlah: Jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta kekayaan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rosul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (at-Taubah:24)

Ketiga, makna hidup dan tawakal. Saat Nabi akan hijrah memerintahkan kepada Ali bin Abi Tholib untuk tidur di kamarnya sambil berselimut untuk mengelabuhi kaum musrikin. Pada hakikatnya, sahabat Ali mempertaruhkan jiwa dan raganya demi membela Allah. Ia siap mati. Hal ini menjadi pembelajaran kita. Mengapa sahabat Ali mau melakukan pekerjaan dengan resiko mati? Ternyata beliau mengajarkan kita untuk melakukan ibadah atau kewajiban kepada Allah, tidak memandang berapa usia kita. Lakukanlah ibadah atau pekerjaan hari ini, tanpa menunda hari esok. Dan, harus yakin ada kehidupan yang kekal. Itulah makna hidup, dimana ada kehidupan setelah kematian.

Saat bersembunyi di gua Tsur, Nabi Muhamamd bersama Abu Bakar, Abu Bakar merasa takut dan gundah, kemudian Nabi mendamaikan dengan kalimat “La tahzan inna allahu ma’ana (Jangan khawatir, sesungguhnya Allah bersama kita).

Ternyata Nabi Muhamamd bukanlah orang yang egois. Beliau mengatakan kita, Allah bersama kita. Tidak bersamaku. Kalimat tersebut menunjukkan kepasrahan total. Karena sudah tidak ada yang menolong, kecuali Allah. Padahal, dulu waktu perang Badar, Nabi Muhammad yang gusar dan panik karena situasi perang saat itu. Berbeda saat hijrah, meskipun minim persiapan, namun tawakal atau kepasrahan yang total dan usaha yang maksimal mampu melaksanakan perintah hijrah dengan baik. Semoga kita bisa mengambil hikmah peristiwa hijrah, yaitu:

  1. Iman menjadi modal utama, meskipun minim persiapan
  2. Pengorbaban dibutuhkan saat kita akan melakukan tujuan atau pekerjaan yang besar
  3. Hidup harus dipasrahkan secara total kepada Allah, meskipun resikonya adalah kematian.

Semoga kita bisa mengambil hikmah tersebut. Amin.

 

 

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply