• Sunday, October 23rd, 2016

 

 

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Saat tes kesehatan untuk kepentingan status kepegawaian, saya disarankan oleh seorang untuk tes disebuah rumah sakit kota di daerah dengan julukan Atlas. Saya datang sendiri, langsung mendaftar. Kemudian, diberi map yang bertuliskan nama lengkap saya. Di dalam map terdapat blanko-blanko (form-form) yang jumlahnya kurang lebih ada tiga form. Satu form bisa sampai 4 halaman. Tidak hanya satu halaman.

 

Satu per satu saya datangi poliklinik mulai dari mata, THT, laboratorium, rontgen, gigi dan lainnya. Ternyata setiap dokter menuliskan dari hasil pemeriksaan. Ada yang menuliskan di form yang saya bawa, ada pula yang menuliskan di form baru dari polikliniknya. Jadi, yang awalnya hanya ada tiga form, pada hasil akhirnya menjadi lima form.

 

Membawa map atas pemeriksaan tersebut mengingatkan saya pada waktu saya jadi mahasiswa S1 yang membawa berkas dan mengisinya, serta meminta tanda tangan pada setiap bagian-bagian. Bedanya hanya, jika pada tes kesehatan, yang tanda tangan dokter, sedangkan waktu mahasiswa yang tanda tangan adalah dosen.

 

Saya melihat pula, ada perawat yang membawa setumpukan map, yang berwarna-warni. Tidak hanya putih, namun ada yang rangkap. Dalam rangkapan tersebut, ada yang warna merah dan kuning. Kemudian, perawat tersebut melepas masing-masing berkas ke dalam map yang lain. Sembari memperhatikan pekerjaan perawat tersebut, saya sejenak berpikir, apakah ada yang simple dengan pekerjaan perawat tersebut?

 

 

Pada kesempatan yang lain, saya pernah mengantarkan ibu saya berobat  di sebuah yayasan kesehatan milik perusahaan yang berlokasi di kota Bakpia tersebut. Saat datang, saya hanya memberikan kartu identitas ibu saya sebagai pasien. Kartu tersebut seperti KTP atau SIM yang didalamnya ada Barcode. Petugas rumah sakit langsung bisa memanggil data pasien dan petugas tersebut mencari kartu atau catatan riwayat penyakit yang diderita pasien. Kemudian masuk ke ruang dokter. Saat menuliskan resep atau hasil pemeriksaan, dokter tersebut hanya mengetikkan di layar computer. Dimana dapat mendeteksi ketersediaan obat yang ada di apotik dalam sistem informasi tersebut. Bahkan hasil pemeriksaan langsung bisa dilaporkan dengan pimpinan perusahaannya tersebut yang ada di Kota Hujan. Itu pula, saya tidak membawa map yang berisi bermacam-macam form.

 

Saya membayangkan, berapa banyak arsip yang ada di sebuah rumah sakit. Bagaimana manajemen kearsipannya? Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemberkasan, penyimpanan, pemeliharaan, pengamanan, penyusutan, dan pemindahan arsipnya? Saking penasarannya,saya mencoba melihat kantor yang menyimpan arsip di rumah sakit tersebut. Arsip diletakkan di box kardus arsip yang bertuliskan Arsip Rumah Sakit Kota. Box kardus tersebut berjejer di atas lemari dan meja kerja.

 

Satu pasien menyimpan berapa arsip? Menurut saya banyak (baca: lebih dari tiga arsip). Apakah ada jaminan aman dari rumah sakit, apabila arsipnya hilang? Berapa ratus arsip yang ia simpan dalam satu hari? Pertayaan-pertanyaan di atas menjadi pemikiran bagi saya ingin mencoba meneliti arsip di rumah sakit. Ada beberapa alternatif penyelesaian kearsipan di rumah sakit.

 

Pertama, memperkuat sistem informasi. Sebagaimana temuan saya saat mengantar ibu di sebuah rumah sakit yayasan. Ternyata sudah menerapkan sistem informasi tersebut. Saya memiliki aplikasi yang saya namakan e arsip pembelajaran. Karakteristik aplikasi tersebut sangat cocok untuk pendidikan vokasi (SMK) jurusan administrasi perkantoran.

 

Aplikasi tersebut memang hasil penelitian yang saya lakukan. Kesuksesan aplikasi tersebut, saya ingin mencari solusi kearsipan di rumah sakit. Namun, saya butuh data, alur, dan pola kerja (SOP) yang ada di sebuah rumah sakit. Ini yang belum saya dapatkan, terlebih saya seorang pendidik di sebuah perguruan tinggi. Jadi, waktunya terbatas. Bagi sahabat saya yang berprofesi dokter, mohon bantuannya terkait data di atas.

 

Kedua, memunculkan record center. Record center adalah tempat khusus menyimpan arsip. Arsip terdiri dari arsip aktif dan inaktif. Arsip aktif disimpan di unit masing-masing. Masa umurnya kurang lebih lima tahun. Arsip inaktif arsip yang disimpan oleh rumah sakit tersebut, dimana berumur lima tahun ke atas. Arsip di unit yang memiliki nilai guna informasi sudah lebih dari empat tahun, lebih baik disimpan di record center rumah sakit. Bentuk record center ini seperti depo arsip.

 

Ketiga, perkuat sumber daya kearsipan yang kompeten. Dibutuhkan tenaga arsiparis yang kompeten untuk menangani arsip di rumah sakit karena ia mengelola kearsipan yang unit-unitnya berupa poli-poli yang banyak, laboratorium, rontgen, dan unit lainnya. Tidak mudah untuk menata arsip.

 

Keempat, bekerjasama dengan arsip daerah atau nasional. Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 disebutkan bahwa dalam rangka penyelamatan sebuah arsip, maka diperlukan pemindahan arsip. Arsip-arsip yang sangat penting, lebih amannya dipindahkan (akuisisi) ke arsip daerah atau arsip nasional. Tujuannya agar arsip tersebut tetap terpeliharan dengan baik, sehingga informasi yang melekat di dalamnya juga terjaga.

 

Itulah catatan kecil saya, mengenai kearsipan di rumah sakit. Tulisan ini sebagai motivasi saya agar tetap eksis dan meneliti arsip. Arsip tak pernah lekang oleh karenanya perlu dirawat, dijaga, dan simpan dengan baik. Masih sedikit orang yang peduli terhadap permasalahan ini.  Sehingga melalui goresan ini diharapkan orang sadar akan arsip. Semoga kearsipan di rumah sakit bisa terselesaikan. Amin.

 

Semarang, 23 Oktober 2016

 

 

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply