• Thursday, April 05th, 2018

Sholat Sebagai Kebutuhan Atau Kewajiban?

Oleh Agung Kuswantoro

 

Satu pekan lagi, kita akan memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj. Isra’ Mi’raj adalah salah satu mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. mengapa disebut mukjizat? Karena, peristiwa tersebut mengandung unsur “keluarbiasaan” pada saat itu dan kini.

 

Lazimnya, orang saat bepergian jauh membutuhkan waktu berjam-jam. Bahkan, berhari-hari. Namun,  Isra’ Mi’raj membutuhkan waktu yang singkat. Bahasa Alqur’an “lailan”. Tidak hanya perjalanan dari Mekah (Masjidil Haram) ke Palestina (Masjidil Aqsa). Tetapi juga ke atas, yaitu langit ke tujuh. Lazimnya, orang saat menuju ke atas, membutuhkan roket. Namun, Nabi Muhammad SAW tidak. Beliau menggunakan hewan bernama Buroq. Ia adalah hewan yang ada di surga.

 

Peristiwa luar biasa, yang terlibat pun luar biasa. Tokoh yang menyertai Nabi Muhammad SAW, juga luar biasa. Ada malaikat Jibril, yang terlibat secara langsung dengan nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan visi suci. Proses yang luar biasa, hasilnya pun luar biasa. Orang yang terlibat saja “bersih”, hasilnya pun “suci”. Hasil dari peristiwa itu adalah sholat. Sholat adalah pesaannya. Dan, sholat adalah “oleh-olehnya”.

 

Mari kita cek, pesan yang ada dalam sholat itu. Banyak yang menduga bahwa sholat baru disyariatkan/dihukum wajibkan oleh Allah SWT saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Dugaan itu keliru. Padahal sejak zaman suku Tsaqif pun sudah ada sholat. Suku Tsaqif menginginkan masuk Islam, tetapi ingin dibebaskan dari ibadah sholat. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW: “Tidak ada baiknya suatu agama tanpa rukuk dan sujud (sholat). HR Abu Dawud dan At Tirmidzy)

 

Karena itu pula, shalat dikenal dalam semua agama, kecuali waktu, cara, dan bilangannya dapat berbeda-beda. Shalat lima kali sehari semalam inilah yang diwajibkan ketika peristiwa Mi’raj. Sebelum peristiwa itu pun, Nabi Muhammad SAW bersama sahabat-sahabatnya telah shalat menghadap Ilahi, minimal dua kali dalam sehari semalam, yaitu pagi dan petang.

 

Dalam Alqur’an disebutkan bahwa Aqimus sholah wa atuz sakat. Dirikanlah sholat dan tunaikan zakat. Secara Nahwu kalimat di atas adalah bentuk fiil amar (perintah). Dalam kaidah Usul Fiqih disebutkan “segala sesuatu yang bentuknya perintah adalah wajib.” Oleh karenanya peristiwa sholat adalah wajib.

 

Jadi, tidak benar apa yang dilakukan oleh suku Tsaqif, bahwa mereka ingin beragama Islam tetapi tidak melaksanakan ibadah sholat. Secara tauhid disebutkan, bahwa salah satu rukun Islam adalah sholat. Sholat menduduki nomor dua, setelah Syahadat. Namanya saja, rukun. Jadi, segala sesuatu harus dipenuhi oleh orang yang telah bersyahadat dan mengatakan dirinya Islam. Oleh karenanya, tidak tepat jika orang Islam, tetapi tidak sholat. Karena sholat hukumnya wajib sebagaimana dalil di atas.

 

Karena, perbuatan itu wajib, maka segala sesuatu yang menyertainya menjadi wajib. Misal, sebelum sholat ada pekerjaan bernama wudhu. Maka, sebelum sholat harus wudhu. Wudhu hukumnya menjadi wajib. Karena sholat adalah pekerjaan wajib. Tidak sah sholat seseorang, tanpa ia melakukan wudhu.

 

Ilustrasinya, gelar sarjana bisa diraih, apakah telah menempuh 145 SKS (misal). Tidak bisa, seseorang tiba-tiba mendapatkan gelar sarjana, tanpa menempuh 145 SKS. Gelar sarjana itu pun wajib diikuti dengan 145 SKS. Jika ia memperoleh gelar sarjana, tanpa menempuh perkuliahan, maka gelar sarjananya cacat hukum.

 

Sama halnya, dengan sholat. Sholat bisa dikatakan sah, apabila telah berwudhu sesuai dengan syariat/fiqih. Wudhu dulu, baru sholat. Kuliah dulu, baru sarjana. Kurang lebih logikanya seperti itu.

 

Jika kita mengacu pada ayat di atas, apakah sholat itu kebutuhan? Menghadapkan jiwa raga kepada Allah merupakan kewajiban keagamaan. Karena agama, sebagaimana diakui dan diyakini oleh setiap penganutnya itu menetapkan bahwa Allah adalah Penguasa dan Pengatur alam raya. Dia yang menguasai hidup dan kehidupan manusia. Dia Maha Mutlak, Mahakuasa, dan Maha Sempurna dalam segala sifat keutamaan yang wajar disandang-Nya.

 

Dengan shalat, seseorang mengangungkan Tuhan yang diyakini. Shalat yang diajarkan Islam mengarah kepada dua substansi pokok. Pertama adalah penghormatan dan pengagungan tulus serta penyerahan diri kepada Yang Maha Esa itu. Segala bentuk penghormatan yang dikenal umat manusia dapat ditemukan dalam tatacara shalat umat Islam. Bukankah ada bentuk pengagungan dengan berdiri tegak, atau mengangkat kedua tangan. Atau rukuk, ata sujud, atau puji-pujian. Semua itu terdapat dalam shalat.

 

Mari kita cermati dalam fiqih. Takbirotul ihrom. Takbirotul itu takbir. Ihrom itu haram. Takbir kok haram? Maknanya, setelah kita takbir, kita haram untuk makan, minum, tidur, tertawa, dan aktivitas lainnya. Padahal, aktivitas tersebut halal untuk dilakukan. Tetapi, setelah kita takbir dalam perbuatan tersebut, maka menjadi haram.

 

Rukuk adalah simbol “kelemahan”. Dalam karate atau pencak silat ada istilah “kuda-kuda”. “Kuda-kuda” masih ada kekuatan kaki yang melebar dan siap untuk menahan. Pada sholat, ada rukuk. Bentuk/posisi yang lemah. Saat orang mendorong ke depan dari belakang, maka dapat dipastikan ia akan jatuh. Demikian juga, saat didorong dari samping, dapat dipastikan ia akan jatuh pula. Oleh karenanya, kita disunahkan/dianjurkan bacaan yang mensucikan Allah Yang Maha Agung, karena posisi kita saat itu lemah, yaitu rukuk. Bacaannya adalah subhanal robiyal adzimi wabihamdihi.

 

Sama halnya takbir. Tangan diangkat ke atas, sebagai simbol kepasrahan total kepada Allah. Saat ada Polisi yang menangkap seseorang, ia mengatakan ‘angkat tangan’. Itu, maknanya pasrah atau tidak ada perlawanan. Demikian juga takbir, kepastahannya diserahkan ke Allah sebagai Dzat Yang Maha Hidup. Kemudian, ia membaca doa ‘inna solati wanusuki wa mahyaya wa wamti lillahi raobbil ‘alamin.

 

Kedua, shalat dibutuhkan manusia karena shalat adalah salah satu dari “makanan bergizi” yang dibutuhkan jiwa manusia. Tanpa shalat jiwa mengerdil, bahkan lumpuh. Manusia, lebih-lebih para ilmuan, membutuhkan kepastian tentang tata kerja alam ini demi pengembangan ilmu dan penerapannya. Kepastian ini tidak dapat diperoleh, kecuali dengan keyakinan tentang wujudnya pengendali dan penguasa tunggal Yang Maha Esa.

 

 

Disisi lain, manusia adalah makhluk yang memililiki naluri cemas dan harap. Ia selalu membutuhkan sandaran, lebih-lebih pada saat-saat cemas. Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar kepada makhluk, betapapun kekuatan dan kekuasaannya sering kali tidak membuahkan hasil. Yang mampu hanyalah Tuhan semata. Di sini sekali lagi terlihat kebutuhan manusia kepada shalat yang kali ini adalah kebutuhan kalbu, jiwa, dan perasannya.

 

Hanya lima kali sehari Allah mewajibkan kita menghadap kepada-Nya. Malu rasanya yang telah mendapat anugerah-Nya yang tidak terbilang justru mengabaikan kewajiban itu, apalagi shalat bukan untuk kepentingan-Nya, tapi kepentingan dan kebutuhan kita sendiri.

 

Sholat diwajibkan kepada umat muslim hanya 5 kali sehari semalam. Malu pula rasanya apabila hanya pada saat-saat kepepet/terdesak, pada saat cemas dan mengharap, baru kita berkunjung kehadirat-Nya, dengan berkata, “Yang penting saya menghormati dengan hati, tanpa harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan,” Karena itu, jangan mempermasalahkan Allah apabila Dia tidak menghiraukan yang datang tanpa menampakkan kebutuhan kepada-Nya atau tidak memuja dan memuji-Nya sepenuh hati. Kelak, Allah menjawab: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi engkau melupakannya (mengabaikannya), maka demikian pula hari ini engkau dilupakan (diabaikan Allah).

 

Sebagai penutup ada beberapa kesimpulan, yaitu

  1. Sholat adalah kewajiban umat Islam. Karena hukumnya wajib, maka segala sesuatu yang menyertai juga menjadi wajib. Wudhu menjadi wajib. Tidak benar jika ada yang mengatakan wudhu itu tidak wajib.
  2. Sholat tak sekadar kewajiban saja, tetapi kebutuhan akan jiwa manusia. Perhatikanlah simbol-simbol gerakan didalamnya. Ada penyerahan diri dan penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya, yaitu Allah.
  3. Jaga sholat kita, karena sholat lima waktu sudah dipotong sepersepuluh dari ketentuan awal yang diperoleh oleh Nabi Muhammad SAW yaitu 50 kali sehari semalam. Malu rasanya, jika kita meninggalkannya, setelah “dipotong” jumlah kewajibannya.

 

Demikian tulisan yang singkat ini, semoga bisa bermanfaat dan melakukannya.  Amin.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply