Archive for ◊ June, 2018 ◊

• Friday, June 29th, 2018

Menyajikan Alquran

Oleh Agung Kuswantoro

 

Dulu, waktu saya bersilaturohim dengan orang yang saya hormati, saya melihat Alquran di meja tamu. Biasanya di meja tamu ada jajanan. Namun di rumahnya, selain jajanan juga ada Alquran.

 

Ketika duduk di ruang tamu, pemilik rumah membacanya. Waktu untuk membaca Alquran dengan mudah ia dapat karena Alqurannya tersaji.

 

Menyajikan Alquran itu ternyata penting. Biasanya Alquran ada di lemari atau rak tempat sholat. Namun, dengan menghadirkan di tempat-tempat strategis ternyata semangat untuk membacanya pun lebih tinggi.

 

Seakan-akan Alquran berkata “ayo baca Aku”. Saat pemilik rumah duduk di meja tamu, langsung ia membaca Alquran yang tersaji itu.

 

Keadaan tersebut menjadikan saya terinspirasi untuk melakukannya. Saya mencoba menyajikan (baca:menghadirkan) Alquran di ruang kerja saya. Setiap meja di kantor yang saya tempati saya beri satu Alquran. Tujuannya agar mudah membacanya di setiap waktu. Saat membaca pun jadi mudah.

 

Ternyata, cara ini lebih ampuh untuk mempermudah membaca Alquran dimana dan kapan pun. Ketika Alquran disajikan, maka disitulah mata melihat, maka kita akan membacanya.

 

Cobalah, Anda yang sangat sibuk, untuk melakukan hal ini. Sederhana caranya, hanya butuh dilirik. Dalam batin nanti, Alquran akan mengatakan “masa Aku (Alquran) cukup dilirik saja dengan mata?”

 

Hati kita, Insya Allah langsung terpanggil untuk membacanya. Selamat mencoba.

 

Semarang, 26 Juni 2018

• Thursday, June 28th, 2018

Surat Suara

Oleh Agung Kuswantoro

 

Surat adalah komunikasi yang berbentuk tulisan. Berisi pesan informasi penting. Sifat surat ada yang rahasia, sangat rahasia, dan biasa.

 

Sehingga, lazimnya surat biasanya ada pembuka, isi, dan penutup. Lazimnya pula, ada kata kepada, Yth, hormat kami, tanggal, tempat, penanda tangan, dan atribut yang ada pada surat.

 

Lalu, bagaimana dengan surat suara? Apakah ada bagian-bagian tersebut? menurut saya, tidak ada! Inti dari surat suara adalah pesan seseorang dalam menentukan pilihannya. Pilihan pimpinan. Baik, Kepala Daerah, Gubernur, Anggota Dewan, dan Presiden.

 

Intinya, suaranya. Suara itulah pesannya. Wujud suara berupa toblosan pada pilihannya. Jadi, bagian-bagian surat sebagaimana umumnya tidak ada. Langsung kepada isi pesannya, berupa gambar calon pemimpin.

 

Bayangkan, kalau surat suara tersebut ada kata Yth, tanda tangan, pengirim, dan item lainnya. Dapat dipastikan akan bocorlah suara kita. Itulah yang namanya, surat suara.

 

Semarang, 28 Juni 2018

 

 

 

 

 

 

 

 

• Thursday, June 28th, 2018

Sahabat Bukan Malaikat

Oleh Agung Kuswantoro

 

Buku ini sangat renyah, gurih, dan empuk. Penulis – yang juga guru produktif Administrasi Perkantoran SMK 1 Magetan, Jawa Timur – sangat mahir dan lincah dalam “meramu” cerita-cerita yang menarik.

 

Basis pengalamannya, ia himpun dalam buku yang bertema sosial. Tak cukup hanya bercerita mengenai pengalaman hidupnya, namun penuh hikmah.

 

Saya sebagai pembaca pun, mengambil nilai-nilai yang ada dalam setiap buku ini. Misal konsep rizki dan jodoh.

 

Sayang, tidak ada semacam mantra/kalimat penggugah dalam setiap bab/judul. Sehingga pembaca mudah menemukan esensi/inti dari tiap judulnya.

 

Menarik lagi, ada testimoni dari sosok pendidik yang menginspiratif, sehingga buku ini menjadi layak untuk dicemil oleh para guru.

 

Menurut saya, buku ini isinya bagus. Guru tidak hanya pandai di depan kelas. Tetapi, juga lihai dalam mencairkan ide-idenya melalui tulisan.

 

Ibu Riful Hamidah, patut menjadi panutan bagi guru. Jago, dalam menulis cerita. Saya sendiri belum bisa “seenak” dan “serenyah” dalam menulis cerita.

 

Teruslah menulis dan berkarya,  Bu Riful. Teruslah menginspirasi untuk kami. buktikan, jika guru itu bisa berkreasi melalui menulis.

 

 

Semarang, 28 Juni 2018

• Wednesday, June 27th, 2018

 

Tangis
Oleh Agung Kuswantoro

Menangis adalah kata kerja dari tangis. Orang yang menangis berarti sedang bekerja tangis. Pertanyaannya adalah “mengapa orang tersebut menangis?”

Ada dua sebab. Pertama, bahagia. Tangis karena bahagia. Biasanya, muncul setelah ada sifat bahagia datang kepadanya. Seperti, wisuda, pengumuman CPNS, diterimanya seseorang di Perguruan Tinggi, lulusnya tes psikologi dan peristiwa membahagiakan lainnya.

Kedua, sedih. Tangis karena sedih. Biasanya, muncul setelah ada sifat sedih datang kepadanya. Seperti, seseorang yang ditinggal orang dekatnya karena meninggal dunia, seseorang yang kehilangan (harta benda), seseorang yang tidak berhasil suatu ujian, dan peristiwa menyedihkan lainnya.

Lalu, saat Idul Fitri. Pernahkah Anda melihat tangis seseorang? Saya pernah memperhatikan tangis seseorang saat sholat Idul Fitri, ternyata yang menangis tidak hanya satu, dua, atau tiga orang saja.

Saat takbir berkumandang, orang yang sedang berdzikir dan bertakbir itu menangis. Terlebih saat sholat Id, ada orang yang menangis. Tak cukup tangisnya hanya sekali, bahkan beberapa kali. Misal, saat masuk rokaat kedua dari sholat id, ia juga menangis.

Atau, saat takbiran hingga akan sholat Id, ia terus mengeluarkan air mata. Tak cukup hanya itu, ketika bersalaman dengan orang-orang tertentu, ia juga mengeluarkan air mata. Misal, bersalaman/sungkem kepada orang tua.

Tak hanya bersalaman dengan orang tua saja, ia mengeluarkan air mata. Bahkan, kepada orang yang tertentu (bukan saudaranya) pun ia bersalaman mengeluarkan air matanya.

Dalam hati saya bertanya, mengapa dia mengeluarkan air mata saat bersalaman kepada orang-orang tertentu?

Berikut beberapa jawaban yang saya himpun. Pertama, ia punya dosa kepada yang bersangkutan. Air mata sebagai tanda tulus untuk memaafkannya. Ia rela menghapus atas dosa-dosa yang ia telah disalami. Bahkan, ia yang mengajak bersalaman.

Kedua, ia melupakan masa lalu orang tersebut. Ia mengikhlaskan apa pun amal seseorang tersebut, khususnya perbuatan buruk. Ia menganggap permasalahan terhadap dirinya selesai. Dan, ia berusaha tidak akan mengulanginya.

Tangis yang seperti ini menurut saya adalah tangis yang bahagia. Mengapa? Karena tangis tersebut menunjukkan rasa “plong” atau lega atas sikapnya. Baik berupa kesalahan, keganjalan, ketidaksengajaan, dan perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya.

Tangis yang seperti ini menunjukkan seseorang berhati lembut. Tidak kaku, hatinya. Hatinya mudah tersentuh. Dan, hatinya mudah memberi maaf kepada orang lain.

Namun, didalam tangis yang ia lakukan terdapat kekuatan yang dahsyat berupa “ikhlas” dan “mengikhlaskan” kesalahan seseorang.

Tak mudah, memaafkan kesalahan seseorang. Terlebih, kesalahan yang telah membuat ia “tersungkur” dalam hidupnya. Menjadikan ia sangat “sakit hati” dalam menjalani kehidupannya.

Namun, dengan kerelaan hatinya di hari Fitri, ia mudah menghapus kesalahan orang tersebut melalui air yang mengalir di matanya. Sembari mengucapkan “maafkan atas kesalahan saya”, cukup kalimat itu, ia benar-benar menghayati, ke lubuk hatinya. Tulus hatinya, mengatakan itu. sehingga, meneteslah air mata ke bumi.

Itulah gambaran tangis bahagia yang dianjurkan oleh agama. Menangis atas kesalahan kita kepada sesama. Makhluk Allah, saat dengan Allah pun demikian.

Melalui Istighfar, ia menghayati kesalahan-kesalahan atas perbuatan maksiat yang telah diperbuatnya. Ia membayangkan masa lalunya, yang kelam dengan dosa. Sehingga, saat melafalkan astaghfirullahal ‘adzim, yang keluar dari mata berupa tangisan. Hati pun menjadi lembut. Insya Allah memaafkan kesalahan atas dosa orang tersebut.

Mari, lembutkan hati kita melalui tangis karena bahagia. Bahagia karena mengikhlaskan kesalahan-kesalahan orang lain. Atau, kita yang meminta maaf atas perilaku kita yang tidak baik kepada orang lain. Hati yang keras harus dilatih dengan perbanyak istighfar agar menjadi lunak. Ikhlaskan masa lalu seseorang kesalahannya. Sambut ia dengan harapan yang baik untuk hari berikutnya. Mari menangis karena bahagia.Semarang, 28 Juni 2018

• Saturday, June 23rd, 2018

Menjaga Spirit Ramadhan

Oleh Agung Kuswantoro

 

Ramadhan telah dipanggil oleh Allah. Ramadhan, bukan meninggalkan kita. Tetapi, ia telah pulang ke pangkuan Allah. Ramadhan akan hadir lagi pada 11 bulan berikutnya. Justru, belum tentu kita bertemu kepadanya. Bisa juga karena sakit atau Allah menghendaki umur kita yang pendek/mati.

 

Sebagai umat Islam dan beriman, kita merasa sedih telah melalui bulan ini.   Di bulan tersebut, “obral” pahala sangat banyak, namun sekarang bulan tersebut telah dipanggil oleh Allah.

 

Ada 2 kategori orang meninggalkan bulan Menjaga Spirit Ramadhan, yaitu:

  1. Orang yang ditinggalkan merasa bahagia. Mengapa bahagia? Karena telah melalui “wisuda”. Layaknya, sekolah/kuliah di Perguruan Tinggi. Usai ujian ada wisuda. Ujiannya meliputi “pelajaran” tarawih, puasa, witir, tadarus, itikaf, qiyamul lail, sedekah, dan ibadah lainnya.

 

Materi-materi “pelajaran” tersebut telah dilalui bagi oang yang senang dengan kehadiran sekolah Ramadhan. Ia lalui “ujian-ujian” materi pelajaran dengan bahagia. Sehingga, “wisuda berupa orang yang bertakwa, ia mudah menggapainya. Minimal, ia telah mendapat fitrah/kesucian. Gelar yang ia dapat adalah “muttaqien” atau orang yang bertakwa. Itulah, orang yang bahagia saat ditinggalkan Ramadhan.

 

Orang yang bahagia ini, hatinya bersedih, karena tidak semua (11 bulan) itu ada “penggemblengan” ibadah sebagaimana di sekolahan Ramadhan.

 

  1. Perasaan biasa-biasa saja ini ada pada orang yang tidak melaksanakan pembelajaran dengan baik waktu di sekolahan Ramadhan. Ia tidak rajin mengikuti setiap pelajaran. Bahkan, ia sangat mungkin tidak hadir/bolos saat pembelajaran. Saat pelajaran puasa, ia malah tidak puasa. Padahal, ia mampu secara hukum fiqih.

 

Saat pelajaran tarawih dan witir, ia bolos juga. Ia tidak hadir dengan alasan tidak jelas. Padahal, ia telah memenuhi syarat hukum untuk melaksanakan pembelajaran tersebut.

 

Saat tadarus pun, ia bolos, ia tidak hadir untuk tadarus. Padahal, ia punya kemampuan untuk belajar Alqur’an.

 

Demikian “pelajaran-pelajaran” lainnya. Ia dengan mudahnya tidak mengikutinya. Ia “bolos”. Ia tidak puasa, tarawih, witir, tadarus, itikaf, zakat fitrah, dan ibadah di bulan suci tersebut. tetapi, “anehnya” tetap berlebaran.

 

Dalam pandangan penulis, maka perlu ada pembeda antara Idul Fitri dan Lebaran. Orang yang telah membolos pada pelajaran di sekolahan Ramadhan, ia hanya dapat Lebaran. Lebaran sebagai adat/budaya saja. Ia tetap melakukan makan opor ayam, reuni dengan teman sekolah, merayakan lebaran dengan berwisata, dan perayaan lainnya. Namun, “fitrinya” ia tidak dapat. Fitrinya tidak ia peroleh, dikarenakan ia tidak lulus saat bersekolah di sekolahan Ramadhan.

 

Bukannya perayaannya tidak boleh. Tetapi sebagai orang Islam dan beriman. Rasa “Fitrinya” seperti biasa. Tidak sedih. Mengapa? Ia tidak menjalani/menikmati “pelajaran-pelajaran” di sekolah Ramadhan.

 

 

Dijaga

 

Spirit atau motivasi yang ada di sekolah Ramadhan harus kita jaga. Insya Allah posisi kita berada pada orang yang bahagia saat ditinggalkan Ramadhan dengan hati sedih. Bahagia karena telah suci/menang. Spiritnya diantaranya

 

Sholat tarawih dan witir. Tetap kita lakukan dengan sholatullail/sholat malam. Tarawih saja kita 20/ 8 rokaat. Masa sholat tengah malam, minimal 2 rokaat tidak bisa?

 

Tadarus. Pelajaran ini harus dilakukan kajian dan dimana saja. Tidak hanya di bulan suci, setelah sholat tarawih biasanya membaca Alqur’an. Karena hikmahnya sangat banyak.

 

Puasa. Pelajaran ini mengajarkan kepada kita untuk merasakan rasa lapar. Ternyata, orang yang kelaparan itu tidak enak. Tetapi, secara kesehatan menyehatkan.

 

Itikaf. Pelajaran ini mengajarkan kepada kita untuk mengingat kepada Allah. Tempatnya harus dilakukan di Masjid. Ia berdzikir dan berpikir akan makna hidup. Memasrahkan kepada Allah.

 

Zakat Fitrah. Pelajaran ini mengajarkan agar selalu berbagi. Merasakan makna memberi. Bahwa, memberi itu lebih baik daripada menerima.

 

Masih banyak pelajaran yang lainnya yang belum penulis sampaikan. Pada intinya, semua pembelajaran di sekolah Ramadhan sangat bermanfaat.

 

Mari kita jaga spirit/motivasi Ramadhan ini. Agar kita hidup lebih bahagia. Karena kita adalah bagian dari orang yang bahagia saat bulan Ramadhan. Amin.

 

 

 

Semarang, 24 Juni 2018

 

 

 

• Thursday, June 21st, 2018

Berguru Menulis Kepada RK

Oleh Agung Kuswantoro

 

Khatam. Selesai saya membaca buku karangan Rhenald Kasali (RK). RK selalu menarik saat menulis buku. Buku-bukunya menjadi best seller. Buku yang saya nikmati saat ini bertema Disrupsi. Bukunya tebal, hingga 500-an halaman. Semuanya saya baca.

 

Kesannya, akurat sekali. Prediksinya tepat, di saat sekang muncul “penyimpangan-penyimpangan” yang harus dijalani. Ia (disrupsi) tidak bisa dihindari. Dalam segi aspek apa pun. Yang saya tangkap dari RK adalah “mengolah” contoh-contoh disrupsi sesuai  dengan negara Indonesia.

 

Dapat dikatakan, bahwa Indonesia ketinggalan dalam disrupsi. Di Amerika, era disrupsi muncul tahun 2006. Sekarang 2018. Sudah 12 tahun seharusnya kejadian ini.

 

Tokoh disrupsi adalah Christensen. Dalam daftar pustaka buku tersebut tertulis ada 10 buku yang dikutip oleh RK. Itu maknanya, Christensen  adalah tokoh utama dalam disrupsi.

 

RK itu sosok yang cerdas. Informasi dalam pikiran Christensen ia olah dengan apik, sehingga saya sebagai pembaca, bahwa disrupsi itu sudah terjadi di Indonesia.

 

Contoh-contoh yang RK tulis pernah di-publish pada koran Kompas. Ia tulis pula di buku tersebut. ini sebagai penguat dari sebuah konsep. Ia “racik” konsep dan contohnya dengan bahasa yang sederhana, sehingga “kesannya” pembaca itu tidak “digurui” atau “diajari”. Tetapi, diajak berpikir. Ini pula bukti, bahwa RK itu rajin menulis.

 

Didalam buku itu terdapat grafik, tabel, dan bagan, layaknya jurnal penelitian. Namun, tak terkesan ilmiah. Mengapa? Sekali lagi, penyajiannya. Pada buku ini, RK berbeda dalam menyajikan grafik dan bagan dibanding dengan buku Self Driving, di mana tabel, bagan, dan grafiknya berwarna. Lebih menarik, tetapi di buku disrupsi semua penyajiannya hitam putih.

 

Kemudian, dalam buku tersebut disajikan mantra/kalimat penggugah dalam bahasa Inggris di awal bab. Maksud RK adalah pokok bahasan dari inti permasalahan bab tersebut. bagi saya, ini sangat bermanfaat, karena saya pun belajar bahasa Inggris.

 

RK memberikan pelajaran kepada saya dalam menulis buku. Cara penyajiannya penuh informasi/ilmu. Tidak ada kata yang buruk. Semua baik.

 

Teori-teorinya ditata dengan rapi. Sehingga, tidak terkesan “angker” untuk membacanya. Padahal, menurut saya teori tersebut sebenarnya susah. Namun, karena RK pandai “meraciknya”, maka jadilah orang menangkap teorinya.

 

Terima kasih RK, semoga sehat selalu. Ditunggu, karya-karya berikutnya.

 

 

Semarang, 21 Juni 2018

 

 

• Saturday, June 16th, 2018

Arti Huruf Fitri

Oleh Agung Kuswantoro

 

Dalam khutbah Jumat yang tepat dilaksanakan pada 1 Syawal 1439 Hijriah, saya melakukan ibadah sholat Jumat di Masjid Agung Pemalang. Khotib menyampaikan materi tentang makna Fitri. Salah satunya ditinjau dari huruf yang tertulis dalam lafal Fitri. Fitri terdiri dari 3 huruf yaitu fa, tho, dan ro. Masing-masing memiliki arti.

 

FA artinya Fastabiqul khoirot. Maksudnya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Saat Idul Fitri, kita tetap harus melaksanakan kebaikan-kebaikan, bahkan berlomba. Sebagaimana dalam ibadah bulan Ramadhan seperti puasa, zakat, tadarus, itikaf, sedekah, dan amalam sholih lainnya.

 

THO artinya Thumakninatul qolbi. Maksudnya adalah tenangnya hati. Ibadah yang telah dilakukan selama berpuasa berdampak pada tenangnya, hati. Hati menjadi kunci dalam setiap perbuatan. Termasuk pemikiran. Ibadah melahirkan ketenangan, bukan kegrusahgrusuhan. Oleh karenanya, tenangnya hati menjadi penting untuk seseorang dalam beribadah. Karena, itu salah satu efeknya.

 

RO artinya Roddul Madhor. Maksudnya adalah menolak bahaya/kedholiman. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan seorang beriman dan bertakwa dapat menolak suatu bahaya atau kedholiman. Mengapa? Ia selalu berpihak di Allah. Allah menjadi sandaran hidupnya. Bukan, hawa nafsu yang menjadi rujukan hidupnya. Dengan demikian, bala/cobaan atau kedholiman dapat ia minimalisir dengan cara beridah-beribadah layaknya di bulan Ramadhan. Sehingga, saat bulan Syawal menolak bahaya/kedholiman dapat dilakukan.

 

Itulah makna huruf yang melekat pada kata Fitri. Hingga sekarang, saya belum mendapatkan sumber/referensi yang valid dari masing-masing makna tersebut. Namun, saya mencatatnya dari Khotib Jumat pada tanggal 15 Juni 2018 di Masjid kebanggaan warga Pemalang, Jawa Tengah. Terima kasih ilmu Pak Khotib. Semoga Anda sehat selalu. Amin.

 

Rembang, 16 Juni 2018

• Friday, June 15th, 2018

Sama-Sama Menang

Oleh Agung Kuswantoro

 

Khutbah sholat Idul Fitri di Masjid Agung Pemalang oleh Ustad Miftah, S.Ag. Ia adalah guru saya waktu di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang. Ada beberapa point yang menarik saat, ia menyampaikan khutbah yaitu

 

  1. Idul Fitri harus diharapkan menghasilkan pribadi yang soleh sosial. Tidak cukup soleh individu. Fenomena ini sangat cocok dengan keadaan sekarang.

 

Misal, silaturahmi. Orang berbondong-bondong menyampaikan ucapan dengan handphone/WA. Minim budaya silaturahmi denga tatap muka. Padahal ajaran agama menganjurkan untuk silaturahmi dengan tatap muka. Saat tatap muka disitulah, kita mengetahui yang bersangkutan apakah merelakan atas kesalahan yang telah diperbuat.

 

  1. Takbir mengajarkan kepada kita untuk sama-sama menang. Takbir diucapkan secara bersama-sama. Dalam kehidupan juga seperti itu. Tidak ada istilah kamu menang, saya kalah. Tetapi sama-sama menang.

 

Misal, saat pilkada. Saat ada yang pemenang diumumkan oleh KPU. Sesungguhnya peserta Pilkada itu menang semua. Hanya caranya berbeda. Yang mendapatkan suara terbanyak ia akan memimpin jalannya pemerintahan. Sedangkan yang tidak mendapatkan suara terbanyak tetap menjalankan pelayanan untuk mengayomi masyarakat melalui pendidikan, ekonomi, budaya, atau menjadi oposisi yang baik. Ini semua hakikatnya adalah melayani masyarakat. Itulah pemimpin. Itu pula sama-sama menang.

 

  1. Kebenaran manusia bersifat perspektif. Kebenaran Allah bersifat mutlak. Sehingga, saat ada perbedaan pendapat itu berdasarkan cara pandang yang berbeda saja. Jangan terlalu dibuat sepaneng. Karena ya itu, perbedaan manusia bersifat perspektif. Bukan mutlak. Jadi, beda pendapat itu hal yang biasa.

 

Itulah point-point yang saya dapatkan saat khutbah Idul Fitri. Sangat mengena sekali. Khotib sangat fasih dalam melafalkan doa-doanya, sehingga para Jamaah, khusuk dalam berdoa. Semoga kita menjadi pribadi yang fitri. Amin

 

Kudus, 16 Juni 2018

 

• Wednesday, June 13th, 2018

Harapan di Akhir Bulan Ramadhan 1439 Hijriah

Oleh Agung Kuswantoro

 

Alhamdulillah Ramadhan sebentar lagi selesai. Ia (Ramadhan) akan kembali ke Allah. Kalimat pertama yang saya ucapkan adalah puji syukur atas nikmat Allah berupa panjang umur hingga menyelesaikan ibadah di bulan suci tersebut.

 

Waktu menjadi kata kunci dalam kalimat di atas. Tahun depan, belum tentu kita akan berjumpa dengannya. Ia tetap ada, tetapi kita belum tentu berjumpa dengannya.

 

Jika Allah memberi izin panjang umur dan sehat, Insya Allah kita akan berjumpa tahun depan. Amin.

 

Setiap ia datang begitu terasa. 30/29 hari “kenceng” dengan ibadah, mulai sahur, tarawih, witir, tadarus, zakat, sedekah, itikaf, dan ibadah lainnya. Terlebih, ibadah tersebut dilakukan bersama dengan masyarakat.

 

Misal, sholat isya, tarawih dan witir tidak dilakukan secara munfarid. Tetapi dilakukan secara berjamaah dengan menjadi Imam di masjid. Sholat Subuh dan kultum dilakukan secara berjamaah dengan menjadi imam dan pemberi materi.

 

Tadarus bersama mahasiswa dan anak-anak dilakukan tiap sore di masjid. Tadarus juga dilakukan bersama warga kampung pada malam hari. Itulah kenangan Ramadhan tahun ini (2018/1439 H). Sekarang, tinggal kenangan.

 

Fokus kebanyakan orang saat ini lebaran. Lalu lalang kendaraan mudik sangat padat di daerah saya. Pusat perbelanjaan sangat ramai. Muda-mudi mulai sibuk mengurusi reuni dan halal bihal. Tak ketinggalan pula, dapur mulai mengepul menyiapkan opor ayam dan ketupat.

 

Namun, dalam hati mengatakan kenangan Ramadhan itu masih melekat dibalik hingar bingar persiapan Idul Fitri. Menurut saya, Idul Fitri itu satu hari saja dan pada jam itu saja. Yaitu, pada saat sholat Id dan setelah Khotib turun dari mimbar khutbah.

 

Setelah turun dari mimbar khutbah, berakhirlah Idul Fitri. Adanya perayaan Idul Fitri, mulai dari salam-salaman ke sanak saudara, halal bihalal, reuni, dan perayaan lainnya. Itulah perayaan Idul Fitri.

 

Oleh karenanya, saat Idul Fitri, terutama saat sholat itu perbanyak zikir, takbir, dan istigfar. Sembari jalan ke masjid/lapangan tetap berdoa. Doanya diperkuat, bukan memperhatikan tampilan baju, mekena yang mahal, sandal yang mahal, dan asesoris yang mahal pula yang dipakai oleh orang saat ke Masjid.

 

Sekali lagi doanya yang diperkuat. Mengapa? Itu, hanya bagian perayaan. Fitrinya adalah kemenangan bagi orang yang telah menjalani ibadah di bulan Ramadhan.

 

Eman-eman jika hanya peranyaan kita terbawa oleh situasi yang kita tidak bisa mengendalikan. Puasa dan ibadah saat di bulan Ramadhan dipertahankan di bulan-bulan berikutnya.

 

Kembali lagi ke sholat Id. Saat sholat Id, mulai dari niat dan takbir harus benar-benar memasrahkan hidup kita. Termasuk umur.

 

Allahu Akbar sambil dalam hati mengatakan “Wahai Allah, bisakah saya bertemu Ramadhan tahun depan?”

 

“Wahai Allah, Pemilik Waktu, berilah saya kesempatan untuk menikmati di bulan Ramadhan tahun depan.”

 

Mengapa kita mengatakan seperti itu? Karena, kita akan memasrahkan hidup kita kepada Pencipta bulan Ramadhan. Daripada umurnya panjang, tetapi tidak beribadah atau kurang kepada-Nya. Lebih baik, kita instrospeksi diri kepada-Nya.

 

Selamat jalan Ramadhan telah menghampiri kami selama satu bulan ini. Terima kasih telah mendidik kami menjadi manusia yang bertakwa, meskipun saya belum pantas untuk menjadi manusia bertakwa. Hanya Allah yang menentukan ketakwaan seseorang. Namun, saya akan mencobanya.

 

Ramadhan sapalah, kami semua di tahun depan. Engkan (Ramadhan) pasti ada 11 bulan kemudian, tetapi kami belum tentu ada.

 

Maafkan kami, apabila selama ini, belum bisa “bercumbu” denganmu melalui ibadah-ibadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

 

Sekarang, usiamu (Insya Allah) kurang satu hari lagi. Engkau akan pulang ke Allah. Sampaikan ke Allah, bahwa kami mohon maaf belum bisa menjadi hamba yang beriman dan bertakwa.

 

Dosa kami masih banyak. Masiat kami juga masih banyak. Namun, melalui Ramadhan ini, hati kami sedikit terketuk untuk mengingat-Mu, Ya Allah.

 

Kami sudah mengajak masyarakat untuk berpuasa, sholat tarawih, witir, tadarus, sholat subuh berjamaah, dan belajar agama Islam melalui kultum. Melalui amalan-amalan itu, semoga Engkau mau memaafkan kami.

 

Catat nama kami di Lauhil Mahfud tertulis nama kami termasuk dalam kategori yang termasuk Lailatul Qodar. Dan, mohon selalu bombing hati kami agar selalu mengingat Engkau. Amin.

 

Pemalang, 13 Juni 2018

• Monday, June 11th, 2018

“Fitrinya”, Bukan Lebarannya

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tak terasa Ramadhan akan selesai. Bulan yang penuh hikmah, akan kembali ke Allah pada tahun depan. Namun, “Sadarkah kita, jika Ramadhan akan kembali ke Allah?

 

Pertanyaan di atas hanya, pribadi manusia saja yang mengetahui. Profesi apa pun tidak bisa menduga atau menjawab pertanyaan tersebut. Hanya diri manusia dan Allah.

 

Mengapa? Karena, puasa itu ibadah rahasia. Puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh manusia yang bersangkutan dan Allah.

 

Mulut boleh berkata “saya puasa pada pagi ini.” Tetepi, pada kenyataannya bahwa siang hari, ia makan siang di warung makan.

 

Orang lain tidak ada yang tahu, kecuali penjual makanan di warung tersebut. Lalu, setelah dari warung, ia mengatakan kepada orang yang berada di sekitarnya, dengan kalimat, “saya masih berpuasa di hari ini.”

 

Sah-sah saya mulut orang tersebut berkata sebagaimana di atas. Karena, ibadah puasa berkaitan dengan kerahasiaan. Kejujuran menjadi “kunci” dalam menjalankan ibadah puasa.

 

Sehingga, tujuan mulia dalam ibadah puasa yaitu takwa, tak cuma-cuma diraihnya dengan mudah. Dibutuhkan perjuangan dan karakter yang mulia.

 

Tak heran, jika tujuan akhir pada bulan Ramadhan adalah menjadi pribadi yang fitri atau suci. Bukan, perayaan yang mewah atau ramai pada malam takbiran.

 

Orang yang dicari dalam berpuasa adalah “fitrinya”. Sucinya. Sehingga, semakin mendekati Idul Fitri, maka semakin “kencang” ibadahnya.

 

Ia tidak sibuk ke pusat perbelanjaan untuk menghadiri “mid night discount”, di mana ada “zakat mall” (bukan zakat mal).

 

Ia tidak sibuk mencari model baju baru untuk dipakai di hari lebaran. Ia tidak sibuk mencari penjahit untuk menjahitkan bahan bajunya.

 

Ia sibuk berzikir. Ia tetap fokus berpuasa. Ibadah sunah tetap ia jalankan, seperti solat tarawih, witir, tahajud, tadarus, itikaf, dan amalan solih lainnya.

 

Konsentrasinya dia ada pada menggapai “fitrinya”, bukan lebarannya. Jika lebarannya, maka ia berpikiran pada liburan Idul Fitri, seperti berwisata, makan di restoran, berkumpul dengan teman, dan “kesenangan” yang lainnya.

 

Oleh karenanya, “fitri” itu untuk orang tertentu. Tetapi, lebaran untuk semua orang. Tidak semua orang mendapatkan “fitri”, hanya orang-orang tertentu yang mendapatkannya.

 

Lalu, pertanyaannya adalah “Siapakan yang mendapatkan fitri? Jawabnya adalah orang yang tetap berpuasa dan menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan hingga tuntas.

 

Mengapa demikian? Karena menjaga ibadah-ibadah di bulan Ramadhan hingga tuntas (menurut saya) tidaklah mudah. Buktinya, saat kita mudik, banyak (lebih dari tiga orang) tidak berpuasa. Padahal ia sehat dan tidak ada halangan untuk menjalankan ibadah puasa.

 

Saat malam hari, justru pusat perbelanjaan ramai dengan pembeli. Seharusnya zikir, itikat, dan tadarus harus dikuatkan di akhir bulan Ramadhan.

 

Mereka yang masih berjuang melawan godaan dunia, jika selesai melakukan perjuangan hingga tuntas Ramadhan, Insya Allah akan mendapatkan “fitri”.

 

Berbeda dengan orang yang mendapatkan lebaran. Batin atau ketenanganlah yang dirasakan bagi orang yang mendapatkan “fitri”. Orientasi tujuan sudah berbeda, sehingga orang yang berlebaran, belum tentu mendapatkan “fitri”.

 

Sebagai orang beriman, seharusnya “fitri” yang harus digapai. Mari, “ketuk” diri sendiri agar “fitri” harus dicapai, bukan lebaran dengan liburannya.

 

jika kita saja, masih berpikiran liburan lebarannya, lalu siapa yang akan mendapatkan “fitri”? Mari, luruskan mind set pikiran kita, agar hati kita juga menjadi lurus.

 

Sebagai penguat di akhir tulisan ini, ada sebuah kalimat yaitu lebaran dengan segala bentuk liburan yang menyenangkan itu boleh, tetapi jangan sampai “melupakan” atau menjadikan Ramadhan yang “suci” tidak bermakna “suci” lagi, karena perbuatan kita yang terlalu membesarkan perayaannya, dibanding ibadahnya.

 

Pemalang, 11 Juni 2018