• Sunday, November 21st, 2021

Menata Diri (6): Mengidentifikasi Persoalan Pribadi
Oleh Agung Kuswantoro

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah: 286).

Salah satu ciri orang yang sudah memahami dan mampu mengidentifikasi persoalan pribadi/personal problem yaitu “separuh” permasalahan/problem dan beban hidup sudah terselesaikan. Bisa jadi, beban hidup terasa berat bukan karena besarnya permasalahan/problem yang menumpuk di atas pundak, tetapi karena kita tidak mampu memetakan permasalahan/problem.

Bisa jadi, persoalan kehidupan merupakan masalah psikologis dalam diri orang tersebut. Bisa jadi, persoalan itu sesungguhnya tantangan, bukan sebagai persoalan. Oleh karenanya, kita harus membedakan: mana persoalan hidup dan tantangan hidup.

Personal problem/persoalan pribadi yang sering dirasakan oleh banyak orang adalah (1) adanya “jarak” antara tuntutan kerja dan kecenderungan hati nurani, serta (2) kecenderungan nurani seringkali terkalahkan dengan mancari untung.

Adanya “jarak” antara tuntutan kerja dan kecenderungan hati nurani seperti: hati sesungguhnya tidak setuju dengan pekerjaannya, tetapi apa boleh buat hanya pekerjaan ini yang tersedia. Sehingga, saat bekerja ia tidak merasa optimal dalam berkarya. Kecenderungan nurani yang “terkalahkan” oleh mencari untung disebabkan oleh sikap rakus dan ambisi. Yang dikejar hanya “uang” dan urusan dunia saja.

Setiap manusia, pasti memiliki permasalahan/”beban hidup”, sebagaimana firman Allah pada ayat paragraf di atas/QS. al-Baqarah: 286. Al-Mawardi memaknai ayat tersebut, yaitu: penetapan beban “hidup” atau taklif yang “dibebankan” Allah kepada manusia ada tiga bentuk yaitu (1) perintah untuk menyakininya; (2) perintah untuk mengerjakannya; dan (3) perintah untuk meninggalkannya. Dengan adanya “beban” hidup ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada manusia dalam memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia untuk berusaha menyelesaikan permasalahan hidupnya.

Agama
Prof. KH Dr. Nasaruddin Umar, MA (2021) mengatakan cara terbaik mengatasi permasalahan pribadi adalah menguatkan agama kita. Agama adalah “sahabat” paling “intens” dengan manusia. Dikatakan “sahabat” karena setiap manusia memiliki kodrat dan naluri untuk beragama. Dikatakan “intens” karena sepanjang waktu, kapan, dan dimanapun, agama harus selalu hadir didalam jiwa dan raga manusia.

Tapi terkadang manusia, terbebani dengan agama. Bukan, seharusnya mencari solusi atas permasalahan melalui agama. Manusia seharusnya tidak bisa hidup tanpa agama, tetapi ada manusia yang terbebani oleh agama. Misal ada kalimat: “Aduh, Aku belum solat”. Padahal, sejatinya salat itu adalah “obat” bagi orang yang sedang “sakit” jiwa, penyelesaian masalah, dan bentuk “komunikasi” kepada Allah.

Agama pada level awal berisi “benturan”, agama pada “level” menengah berisi “pengertian mendalam”, agama pada “level” atas berisi “cinta”, agama pada “level” puncak berisi “kepasrahan dan tawakal”. Mari terus pahami, dalami, dan praktikkan agar selalu bisa “naik level”. Jika kita berada pada “level awal”, maka yang ada adalah “benturan-benturan” terus. Sedangkan, saat pada “level puncak”, maka yang ada adalah “meringankan dan diringankan”, karena “ikhlas”: apa pun yang terjadi dalam hidupnya diizinkan oleh Allah. “Mendakilah” setiap “level” agama tersebut “tingkat/level” demi “tingkat/level”, hingga mencapai “tingkat/level puncak” yaitu: kepasrahan (baca: Islam).

Saat kita “mencari” agama pada “level-level” tertentu, maka “energi” kita “tersedot”. Jika kelak pada saatnya akan sampai dan menemukan makna hidup. Dari situlah akan “kelebihan/surplus energi”, sehingga kita akan merasakan: “mencari itu melelahkan” dan “menemukan itu melegakan”.

Dunia tanpa agama itu “melelahkan”; agama tanpa dunia itu “menyulitkan”; dan sinergi dunia dan agama itu “melegakan”. Marilah kita kembali kepada agama sebagai solusi atas permasalahan hidup kita. Lalu, identifikasi sendiri, kita beragama ada pada level mana? Jawablah pertanyaan tersebut ; agar Anda dapat hidup “lega” tanpa ada rasa menyulitkan dan “perbenturan” antara hati dan batin Anda,. Semangat!

Semarang, 20 November 2021
Ditulis di Rumah jam 05.00 – 05.30 WIB.

Sumber rujukan: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply