• Tuesday, December 21st, 2021

Menata Diri (7): Membiasakan Sikap Tawadhu
Oleh Agung Kuswantoro

Saat kita berjalan kaki, lalu melihat sekumpulan orang yang sedang naik mobil mewah, lantas apa yang kita lakukan? Jika kita diam saja, maka bisa jadi kita sudah menempatkan diri sesuai dengan keadaan secara wajar. Artinya: kita tidak merendahkan dan melebihkan diri. Meminjam istilah Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA (2021), bahwa menempatkan diri pada tempat sewajarnya bernama tawadhu.

Kata tawadhu dalam bahasa Indonesia itu tidak ada padanannya. Tawadhu berasal dari kata wadho’a yang artinya: meletakkan/menempatkan. Lawan kata dari tawadhu adalah sombong, angkuh, dan congkak.

Contoh sederhana tawadhu seorang anak yaitu: ketika bercerita dengan teman sebayanya adalah bercerita tentang mainan atau bermain fisik. Anak tidak bercerita kepada teman sebayanya tentang pergi ke mall atau bercerita film TV/game HP yang ia lihat sendiri, tanpa sepengetahuan/perhatian orang tua.

Anak yang menceritakan pengalaman pergi ke mall itu ranah orang tua/dewasa. Cerita TV/game HP itu “identik” dengan cerita orang dewasa. Artinya: cerita anak tersebut, bukan pada kedua ranah/tentang itu (mall dan TV/game HP). Cerita anak adalah bermain. Artinya: anak yang bercerita ke mall dan TV/game HP itu, tidak menempatkan diri anak pada tempat sewajarnya. Dunia anak adalah bermain.

Jika anak menceritakan pergi ke mall dan TV/game HP itu, berarti anak tersebut sombong, angkuh, dan congkak. Mengapa? Karena, anak tersebut sudah melebihi diri anak dalam wajarnya, anak. Seharusnya, yang bercerita pergi ke mall dan TV/game HP adalah orang tua/orang dewasa.

Tawadhu dalam pandangan ilmu tasawuf ditujukan kepada orang yang tunduk, patuh, dan khusyuk semata-mata hanya karena Allah. Allah diatas segala-galanya. Orang yang dalam posisi ini, “keakuan” dirinya sudah hilang, diganti dengan keridhaan Allah (Nasaruddin, 2021:32).

Orang yang menempatkan diri paling bawah, tidak pernah jatuh. Sebaliknya, orang yang selalu menempatkan diri di tempat lebih di atas orang lain, pasti sering jatuh. Semakin tinggi tempatnya, maka jatuhnya semakin menyakitkan.

Jika seseorang mendambakan ketenangan hati/batin, sebaiknya memilih untuk menempatkan diri lebih dibawah/tawadhu. Nabi Muhammad SAW mencontohkan sifat tawadhunya, meskipun ia seorang Rasul, Nabi, Kepala Negara, panglima angkatan perang, dan jabatan lain yang diperolehnya, tetapi tetap menunjukkan ketawadhuannya.

Contoh ketawadhuan Nabi Muhammad SAW yaitu menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, mendatangi/menghadiri undangan tanpa membeda-bedakan kelasnya, mengendarai keledai yang hidungnya sudah diikat dengan tali yang dibuat dari sabut, memberi makan unta dan kambing, menyapu lantai, memperbaiki sandal, makan bersama pembantu, berjabat tangan dengan orang kaya-miskin, mendahulukan memberi salam kepada orang kaya-miskin, tidak pernah mencela makanan yang dihidangkan kepadanya walaupun hanya kurma kering yang disajikan, tersenyum tanpa tertawa, sedih tanpa cemberut, berhati lembut terhadap sesama manusia, tidak pernah menunjukkan telah makan kenyang, dan tidak pernah mengulurkan tangan dengan rakus, dan berbagai perilaku ketawadhuan Nabi Muhammad SAW lainnya.

Dari sifat di atas, menunjukkan bahwa gaya hidup Nabi Muhammad SAW lebih menekankan pada sifat tawadhu. Gaya hidup Nabi Muhammad SAW lebih menekankan kepada ketenangan batin. Bisa dimaknai: menempatkan “dunia” sesuai kondisi sewajarnya. Nabi Muhammad SAW menempatkan dunia dengan sewajarnya yaitu: tidak merendahkan dan meninggikan “keduniaannya”.

Tawadhu tidak boleh berlebihan, sehingga mengumbar kekurangan diri yang melampaui batas kewajaran. Al-Khawash mengatakan: “Jangan sekali-kali menyebut terlalu banyak kekurangan dirimu (pada orang lain), karena dengan begitu bisa berkurang rasa syukurmu”. Jadi, sewajarnya saja kita dalam bersikap atas kekurangan kita.

Semoga pesan di atas, kita bisa melakukan sifat tawadhu. Tawadhu harus ditempatkan sesuai keadaan yang wajar. Jangan terlalu berlebihan dan mengumbar kekurangan. Tirulah sifat tawadhu Nabi Muhammad SAW dalam segala aspek kehidupan. Semoga kita bisa melakukannya. Amin. [].

Semarang, 21 Desember 2021
Ditulis Di Rumah jam 04.15 – 05.00 WIB.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply