• Wednesday, March 30th, 2022

Menghapus Kecemasan Hati

Oleh Nasaruddin Umar

 

Setelah Kajian Menata Diri selesai, kita lanjut pada kajian hati lainnya. Untuk kali ini mengkaji “Menghapus Kecemasan Hati”. Nabi Saw. dalam sabdanya menyebutkan: “Sesungguhnya Allah  telah menetapkan ketentuan-ketentuan atas makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan.” (HR. Muslim)

 

Demikian Nabi Muhammad Saw. jika yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki itu adalah Allah Swt., lalu mengapa ada rasa takut kepada sesama? Qadha itu sudah selesai diciptakan Tuhan, termasuk alam semesta ini telah selesai diatur, tidak ada sesuatu yang bergerak di dunia ini, kecuali atas izin Allah Swt.

 

Qadha merupakan ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan segala sesuatu sejak azali. Sedangkan qadhar, terjadinya penciptaan sesuatu sesuai ukuran dan timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. Qadha ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadhar adalah bagian-bagian, mikro, dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut. Jika beberapa gelas jatuh dari ketinggian tertentu maka qadhanya gelas-gelas itu pasti pecah, akan tetapi serpihan masing-masinggelas berbeda-beda satu sama lain. Pecahnya gelas-gelas yang jatuh merupakan qadha, tetapi serpihan pecahan masing-masing gelas berbeda-beda satu sama lain, itu disebut qadhar Allah Swt. berfirman: “dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. al-Anam [6]: 59)

 

Tidak gugur sehelai daun dari tangkainya melainkan sudah tercatat di Lauh Mahfuzh. Lalu mengapa harus risau, sedih, dan putus asa? Bukankah depresi, insomania dan abses merupakan akibat dari putus asa dan ketakutan yang berlebihan untuk jatuh dan gagal? Kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan terhadap kemiskinan adalah bagian dari perdayaan setan kepada  manusia, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Baqarah [2] 268)

 

Setan akan menakut-nakuti manusia jika banyak sedekah akan jatuh miskin. Sehingga setan memerintahkan sifat keji seperti bakhil, pelit, dan kikir. Karena itu, kita tidak perlu memperhatikan orang-orang yang menyebarkan berita bohong. Kecemasan hidup dan ketakutan menghadapi masa depan, seperti prakiraan-prakiraan akan terjadinya bencana dan ramalan-ramalan yang banyak mencemaskan kebanyakan orang, tidak lebih dari keyakinan-keyakinan yang tak berdasar. Nabi Saw. pernah mengingatkan kita:“ Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. al-Bukhari)

 

Yang penting bagi kita, serahkan segalanya perjuangan ini kepada Allah Swt, bukannya menyerahkan kemalasan dan keputusasaan kepada-Nya. Kita harus berusaha menghilangkan sikap ketergantungan kepada makhluk dan mengalihkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Yang membuat kesuntukan dan kegusaran itu adalah sikap bergantung kepada orang lain, keinginan mencari simpati mereka, keinginan untuk dipuji, dan keinginan untuk  tidak dicela. Kalau kita sudah mulai memperbaiki jalan pikiran maka segalanya akan berubah. Kita perlu berusaha melapangkan hati. Jika hati sudah lapang maka semua problem menjadi kecil, seperti dikatakan oleh al-Mutanabbi dalam sebuah bait syairnya, “Masalah kecil menjadi besar di mata orang yang kecil, dan masalah besar menjadi kecil di mata orang besar.”

 

Selanjutnya, lawan diri sendiri. Hanya orang-orang yang berani melawan dirinya sendiri yang mampu merasakan ketenangan. Ketenangan bukan hanya miliknya orang kaya atau pejabat tetapi ketenangan juga bisa dirasakan oleh orang-orang miskin. Ketenangan lebih merupakan akibat daripada sebab. Ketenangan adalah pemberian (given/kasab) dari Tuhan. Ketenangan menyangkut urusan jiwa (state of mind). Uang, kekayaan, dan jabatan belum tentu menghadirkan ketenangan. Kenyamanan bisa dibeli di hotel berbintang, kelezatan bisa dibeli di restoran mewah, keindahan bisa disaksikan di obyek-obyek wisata, akan tetapi ketenangan tidak bisa dibeli dengan uang.

 

Orang-orang arif sering mengatakan bahwa puncak kebahagiaan adalah ketenangan batin. Tanpa kekayaan dan kebahagiaan batin maka sesungguhnya hanya kekayaan dan kebahagiaan semu.

 

Dengan demikian, kita tidak bisa memandang enteng orang miskin harta atau materi, sebab tidak sedikit diantara mereka yang menemukan kebahagiaan batin. Sebaliknya, kita juga tidak bisa takjub sepenuhnya kepada para pemilik kekayaan materi sebab itu belum tentu mereka merasa bahagia dan tenang. Manusiawi memang jika orang-orang menghendaki kedua-duanya, karena kita juga diajari doa oleh Allah Swt. Sendiri, Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar (Ya Allah anugerahkanlah kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari api neraka). Manusia ideal menghendaki  kebahagiaan dunia akhirat.

 

Adapun resep untuk melapangkan kalbu menurut para arifin ialah :1) Tauhid atau pengetahuan makrifah perlu terus dikembangkan, terutama pengetahuan tentang qadha dan qadr, yang menjadi bagian dari rukun iman kita, 2) Memperbanyak amal saleh, karena amal saleh mengokohkan keimanan dan kepercayaan diri, 3) Menumbuhkan keberanian dan ketegaran di dalam menjalankan prinsip, karena hanya dengan demikian kita bisa survive, 4) Melapangkan dada, karena hanya dengan berlapang dada kita akan tenang di dalam menghadapi tantangan dan permasalahan hidup, 5) Menjauhi tindakan berlebihan, walaupun itu boleh (mubah), baik dalam bicara, makan minum dan bergaul, 6) Senantiasa merenungi keindahan alam semesta ciptaan Allah Yang Maha Agung, untuk memperindah budi pekerti, melembutkan hati, dan mencerahkan  pikiran, dan yang paling penting ialah 7) Senantiasa mengingat Allah Swt (dzikrullah), karena dengan mengingat Allah maka hati akan tenang, seperti dijanjikan Allah di dalam ayatnya:“(yaitu ) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram,”(QS. ar-Ra’d [13]: 28).

 

Mari bersimpuh di hadapan Tuhan. Berdzikir, tafakkur, shalat, dan tadarus. Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan akan melahirkan generasi lemah (dha’if) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak. Kita perlu mengingat bahwa jika kehidupan di akhirat setara dengan 1000 tahunnya dunia, maka kalau ada orang dikaruniai usia 70 tahun maka itu artinya sekitar 3 menitnya akhirat. Maukah kita menukar hanya 3 menit dengan keabadian akhirat, masya Allah.

 

Semarang, 30 Maret 2022

Ditulis di Rumah jam 20.00-20.30 WIB.

 

Tulisan tersebut berasal dari: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply