• Wednesday, November 29th, 2017

Oleh Agung Kuswantoro

 

Emha Ainun Najib atau Cak Nun sangat piawai dan cerdas. Tidak harus sekolah yang tinggi, strata satu saja, tidak lulus. Namun, ilmu mengenai “hikmah” – menurut saya – sangat luar biasa sekali. Segala sesuatu yang ada di sekitar kita, menjadi sangat berharga, jika kita mengetahuinya.

 

Hidup itu indah. Hidup itu menjalan. Hidup itu harus disyukuri. Hidup itu, tidak ada yang susah. Hidup itu, tidak ada yang bersedih. Dan, hidup itu tak ada yang beban. Hidup itu, mengalir saja. Itu yang saya rasakan, setelah membaca buku ini. Buku yang berjudul Hidup Itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem, karya Cak Nun.

 

Buku ini sebenarnya belajar ilmu Sufi – mungkin istilah yang tepat – karena mempelajari hakikat kehidupan. Kajiannya dalam buku ini, sangat tinggi. Namun, kepiawaian Cak Nun dalam membuat perumpamaan atau analogi itu sangat mudah. Ia membuat perumpamaan yang ada disekitar kita. Saya yakin, orang awam mengetahui perupamaan-perumpamaan tersebut. Sederhana sekali, perumpamaannya. Didalam buku tersebut sangat banyak. Oleh karenanya, menurut Ahmad Najib selaku pengantar dan penerbit memberikan judul “Kabar Langit dengan Bahasa Bumi”. Jelaslah, maknanya langit sebagai simbol pesan dari Allah yang dimaknai oleh manusia. Dalam memaknai itulah dibutuhkan alat yaitu bahasa. Disinilah letak  bahasa Cak Nun yang sangat membumi. “Membumi” yang sangat menyentuh manusia dari golongan mana pun.

 

Awal membaca buku ini, saya kesulitan untuk memaknai. Kemudian, saya membaca ulang, Alhamdulillah, ternyata Cak Nun itu luar biasa. Mampu memberikan makna yang orang jarang mengetahuinya. Bahkan, ia menggunakan pendekatan ilmu Fiqih, Tajwid, Nahwu, Shorof, dan Tasawuf. Ilmu-ilmu itu yang saya belum pahami, menjadikan saya belajar dengan mudah. Mengapa mudah? Karena Cak Nun menuntun saya (sebagai pembaca) dengan bahasa bumi- uang relatif – bisa dicerna oleh orang awam seperti saya.

 

Awalnya, saya pernah belajar bahwa hidup itu seperti “ngegas” dan “ngerem”, setelah membaca buku ini, menjadikan saya “ngegasnya” tambah banter dan “ngerem-nya” tambah pakem. Mengapa demikian? Karena, kita tambah pandai. Sehingga, saya sepakat dengan judul dalam buku tersebut dengan kata “harus pintar”. Kalau tidak pintar, maka akan “nyasar”. Kalau tidak direm, maka akan nabrak. Dan, kalau tidak digas akan berhenti atau glundung. Lalu, bagaimana? Harus tetap jalan, tetapi pelan. Tetapi, dengan membaca buku ini, menjadikan kita cepat dan tepat.

 

Artinya, cepat itu tidak kebawa kepada perbuatan negatif. Dan, tepat itu sesuai dengan koridor agama Islam. Imbanglah, istilahnya. Awalnya, hidup saya banyak “ngeremnya”. Tetapi setelah membaca buku ini, ternyata ngerem, juga harus pandai. Sebaliknya, saat “ngegas” juga harus pandai pula, agar tidak nabrak.

 

Mari, kita lihat nasihat Cak Nun berikut:

Jangan memasuki suatu sistem yang membuat Anda melampiaskan diri. Tapi, dekat-dekatlah dengan sahabat yang membuat Anda mengendalikan diri. Karena, Islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup itu harus bisa ngegas dan ngerem”.

 

Sangat jelas nasihatnya. Itulah pesan yang ada dalam buku itu. Mari, kita jeli dan pandai dalam memerankan hidup. Saya yang merasa “kurang” ilmu, menjadikan buku ini sebagai acuan hidup. Terima kasih, Cak Nun, atas ilmu-ilmunya. Semoga, Bapak sehat selalu. Amin.

 

Semarang, 26 November 2017

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply