KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT JAWA SAAT INI DI DESA GEBUGAN KECAMATAN BERGAS

Hayy Bloger kali ini atmin mau ngepost tugas pengganti UAS Mata kuliah Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa pada Semester 1, berikut tugasnya…..

Masyarakat desa Gebugan merupakan masyarakat Jawa yang tinggal di lerang gunung Ungaran, mayoritas agama yang dianut masyarakat desa Gebugan adalah agama islam dan minoritasnya adalah agama kristen. Didesa Gebugan sendiri sudah terdapat masjid maupun mushola sebagai sarana ibadah bagi masyarakat desa Gebugan yang memeluk agama islam, sedangkan sarana ibadah bagi masyarakat yang beragama kristen belum terdapat sebuah gereja sehingga masyarakat desa Gebugan yang menganut agama kristen harus pergi ke desa sebelah untuk beribadah. Bahasa yang digunakan masyarakat desa Gebugan sehari-hari adalah bahasa Jawa, akan tetapi ketika ada acara-acara tertentu seperti pertemuan lurah dengan warganya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa halus. Didesa Gebugan sendiri terdapat tingkatan bahasa yang digunakan sebagai pembeda, misalnya seorang anak ketika berbicara dengan yang lebih tua harus menggunakan bahasa Jawa halus atau yang sering disebut bahasa krama. Masyarakat desa Gebugan kebanyakan bekerja sebagai petani dan buruh pabrik. Biasanya yang bekerja sebagai petani ialah ibu-ibu atau bapak-bapak yang usianya sudah berkepala tiga keatas seperti narasumber yang saya wawancarai ini, ada pula yang bekerja di pabrik akan tetapi ketika hari libur mereka pergi ke sawah atau ladang untuk bertani. Ada beberapa warga desa Gebugan yang bekerja sebagai Guru, Dokter maupun Polisi dan mereka dianggap oleh warga lainnya bahwa derajat mereka lebih tinggi. Pemuda desa Gebugan setelah lulus Sekolah Menengah Atas kebanyakan mereka bekerja di pabrik dan hanya beberapa saja yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Unggah-ungguh masyarakat desa Gebugan “Zaman sakniki kaleh zaman biyen niku benten mbak” kata narasumber ibu Kastami. Menurut beliau anak muda saat ini dan anak muda zaman dahulu berbeda, anak muda zaman dahulu ketika sudah menjelang malam atau menjelang magrib para pemuda desa Gebugan terutama bagi perempuan harus sudah berada didalam rumah dan tidak boleh keluar malam, karena orang tua mereka beranggapan bahwa perempuan yang keluar malam bukanlah perempuan yang baik-baik. Akan tetapi saat ini banyak anak muda desa Gebugan ketika menjelang malam mereka masih berada diluar rumah bahkan masih ada yang sedang bermain di rumah tetangganya. Saat ini perempuan keluar dimalam hari sudah dianggap biasa, karena pemikiran orangtua mereka yang lebih maju, asalkan ada izin mereka bisa saja keluar malam.
Seperti yang dikatakan narasumber bahwa “cah enom sakniki mboten ngertos boso” berarti bahwa anak muda zaman sekarang tidak bisa berbahasa jawa halus atau bahasa krama. Menurut narasumber anak muda zaman sekarang ketika berbicara dengan yang lebih tua bahkan dengan orang tuanya tidak menggunakan bahasa krama melainkan bahasa jawa ngoko. Seharusnya mereka harus bisa menghormaati orang yang lebih tua ketika berbicara yaitu berbicara dengan bahasa krama, akan tetapi saat ini kenyataannya adalah yang sebaliknya. Akan tetapi masih ada beberapa anak yang ketika berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa krama namun hanya beberapa saja, itupun anak yang sudah dewasa.
Zaman sekarang dengan zaman dahulu berbeda. Dulu ketika anak muda lewat di depan orang tua mereka harus menundukan badan akan tetapi sekarang anak muda yang lewat depan orang yang lebih tua mereka jarang menundukan badan di depan mereka seolah-olah mereka lewat didepan orang yang sebaya dengannya.
Didaerah desa Gebugan dahulu juga memiliki jajanan pasar yang digemari oleh warganya baik yang sudah tua maupun yang masih muda seperti gethuk yang terbuat dari singkong, tiwul yang terbuat dari ketela pohon, sawut yang terbuat dari singkong yang diparut kemudian dicampur dengan gula jawa dan setelah itu dikukus, lemper yang terbuat dari beras ketan dan didalamnya berisi abon dan dibungkus dengan daun pisang, klenyem merupakan makanan yang terbuat dari parutan singkong yang kemudian dibentuk bulat dan didalamnya berisi gula jawa atau gula merah yang kemudian digoreng, nasi jagung yang berisi jagung yang telah ditumbuk kemudian di “dang” atau dikukus yang setelah itu dibungkus dengan daun pisang atau daun jati dan didalam bungkusan nasi jagung tersebut terdapat pula “kluban” atau dikenal dengan kudapan dan “gereh petek” atau dikenal engan ikan asin. Zaman dahulu juga terdat makanan berupa ketela rambat yang direbus, jagung godhok, kacang godhok, endro godok atau sering disebut dengan tales, ampyang yang terbuat dari beras yang kemudian dibuat semacam keripik, keripik mlinjo, widaran, jadah, wajik yang terbuat dari beras ketan, opak samier yang merupakan kerupuk yang terbuat dari parutan singkong, opak gadung yang terbuat dari tales yang kemudian harus dijemur terlebih dahulu dengan abu untuk menghilangkan rancunnya, kue lapis, serabi, bubur candil yang terbuat dari tepung beras kemudian di bentuk bulat-bulat kecil dan kemudian dibubur dan makannya menggunakan santan, cethil yang terbuat dari tepung beras dan kemudian dikukus dan diberi pewarna makanan dan setelah matang dimakan dengan parutan kelapa, klepon yang terbuat dari tepung beras dan diberi pewarna makanan bewarna hijau atau merah kemudian digodhok atau direbus dan setelah matang atasnya diberi parutan kelapa, puthu ayu yang terbuat dari parutan jagung yang kemudian dikukus dan dicampur dengan gula jawa, kembang goyang atau orang jawa sering menyebutnya dengan nama rodo dokar karena bentuknya seperti roda dokar atau delman yang terbuat dari hongkoe dan tepung beras yang kemudian digoreng dengan menggunakan cetakan kembang goyang, tumpi merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras dan dicampur dengan kacang ijo yang kemudian digoreng.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, saat ini makanan-makanan tersebut tersaji ketika pada saat-saat tertentu saja. Jajanan pasar yang dahulu mudah ditemukan diwarung-warung akan tetapi saat ini hanya ditemukan dipasar tradisional. Makanan-makanan zaman dahulu seperti jadah, wajik, kembang goyang,tumpi, kue lapis, lemper, klepon hanya disajikan ketika sedang mengadakan hajatan seperti pernikahan, khitanan.Serabi saat ini warga desa Gebugan jarang membuatnya yang kerap membuatnya hanyalah warga yang berdagang serabi.Karena orang-orang zaman sekarang lebih memilih hal-hal yang praktis dan siap saji tanpa harus bersusah payah membuatnya terlebih dahulu. Bubur yang saat ini dibuat hanya pada saat syukuran saja atau orang Jawa sering menyebut dengan “bancaan netu” yaitu syukuran pada saat hari jawa seseorang tersebut dilahirkan, misalnya pada saat minggu pahing, senin pon, jumat kliwon dan lain sebagainya.
Zaman sekarang orang-orang atau khusunya warga desa Gebugan lebih memilih makanan siap saji atau yang lebih praktis. Saat ini makanan-makanan zaman dahulu sudah tergantikan dengan makanan-makanan yang masuk dari budaya luar akan tetapi disesuaikan dengan lidah orang Jawa seperti bakso, tahu bakso, lumpia, resols, mie instan, capcay, kwetiaw, mie ayam, siomay, sosis. Bagi anak muda zaman sekarang mereka lebih menyukai makanan-makanan seperti makanan di KFC, PIZZA, BURGER dan lain sebagainya daripada makanan-makanan seperti gethuk, cethil,klepon, nasi jagung, wajik, jadah, dan lainnya.
Tradisi Masyarakat Desa Gebugan Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak zaman dahulu dan diturun-temurunkan kepada generasi selanjutnya dan tradisi tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan yang telah dimiliki pada daerah tersebut.Didesa Gebugan sediri juga masih mempunyai tradisi yang dari zaman dahulu dilakukan atau diadakan hingga sampai sekarang yang masih diuri-uri atau masih dilestarikan oleh warga desa Gebugan. Tradisi yang masih dilestarikan warga desa Gebugan antara lain sebagai berikut :

1. Upacara Pernikahan
Tradisi pernikahan di desa Gebugan dari zaman dahulu sampai sekarang masih ada. Tata cara pernikahannya pun masih sama seperti dahulu yaitu sebelum dilaksanakan pernikahan harus dilakukan lamaran yaitu pihak laki-laki harus melamar pihak perempuan terlebih dahulu. Setelah lamaran diterima oleh pihak perempuan dan kedua belah pihak telah menentukan tanggal atau hari pernikahan, kemudian diadakan acara susok tukon yaitu pihak laki-laki memberi mas kawin terhadap perempuan berupa mas uang, maupun barang seperti perhiasan, seperangkat alat sholat, seperangkat kebaya, seperangkat pakaian, seperangkat perlengkapan merias wajah dan lain sebagainya. Setelah hari atau tanggal pernikahan telah tiba upacara pernikahan dilaksanakan dimulai dari siraman, resepsi yang alam acara tersebut masih dilakukan baling suruh antara pengantin perempuan dan pengantin laki-laki, kacar kucur, dulang-dulangan atau pengantin saling menyuapi makanan dan potongan ayam yang telah di ingkung, sungkeman dan lain sebagainya. Pada upacara pernikahan di desa Gebugan masih terdapat acara mbesan yaitu keluarga dari pihak laki-laki datang ke tempat tinggal perempuan atau sebaliknya, biasanya acara mbesan dilasanakan pada saat resepsi.

2. Mitoni
Mitoni atau tingkeban dilakukan pada saat usia kehamilan telah menginjak usia tujuh bulan. Dari dulu hingga sekarang upacar mitoni masih dilakukan oleh masyarakat desa Gebugan, acara mitoni dilakukan dengan tujuan mendoakan sang ibu dan jabang bayi agar selamat. Saat acara mitoni ini biasanya sang ibu yang sedang hamil menggunakan pakaian kebaya dan jarik. Setelah mandi biasanya sang ibu di dadah terlebih dahulu atau dipijat oleh dukun pijat. Pada acara mitoni dilakukan syukuran atau slametan yang mengundang para warga dan biasanya berkat atau makanannya berisi kudapan yang terdirri dari 7 macam sayuran, rujak yang terdiri dari 7 macam buah.

3. Brokohan dan Berseh
Brokohan dan berseh dari zaman dahulu sampai sekarang masih tetap dilakukan oeh warga desa Gebugan. Brokohan yaitu sametan atau syukuran sebagai tanda syukur dan terimakasih kepada Yang Maha Kuasa atas kelahiran sang anak atau sang bayi. Setelah sang bayi puputan atau tali pusar sang bayi telah putus diadaan acara berseh yaitu slametan atau syukuran dan pencukuran rambut bayi.

4. Upacara Kematian
Yaitu upacara yang dilakukan setelah orang meninggal, dari dulu sampai sekarang upacara tersebut masih dilaksanakan.Seperti “mitung dino” yaitu 7 harinya orang yang telah meninggal, biasanya pada acara mitung dino diadakan slametan dan acara mitung dino merupakan sebagai penanda hari terakhir tahlilan yang diadakan dirumah orang yang telah meninggal tersebut. Kemudian “matangpuloh” atau 40 harinya orang yang telah meninggal yaitu diadakannya slametan dan sebelum acara slametan biasanya warga yang diundang pergi kemakam orang yang meninggal tersebut untuk mengirim doa. Setelah 40 hari yaitu “nyatos” atau 100 harinya orang yang telah meninggal, acara yang dilakukan sama dengan acara pada saat 40 harinya orang yang meninggal. Kemudian mendhak 1 dan setelah itu mendhak 2 hingga sampai pada saat “nyewu” atau 1000 harinya orang yang telah meninggal, acara yang dilakukan seperti biasa yaitu lametan dan sebelum slametan warga yang diundang pergi kemakam orang yang telah meninggal tersebut untuk mengirim doa. Dan pada saat nyewu (1000) harinya orang meninggal biasanya berkat atau makanan yang diberikan kepada warga didalamnya diberi uang seribu yang dimasukkan dalam amplop dan dimasukkan ke beratnya.

5. Bersih Desa
Merupakan kegiatan yang telah dilakukan masyarakat desa Gebugan dari dulu sampai sekarang yaitu kegiatan bersih desa yang dilakukan secara bersama-sama oleh warga desa untuk membersihkan jalan ataupun membangun sebuah masjid, memperbaiki jalan, ataupun membangun selokan secara ramai-ramai.

6. Kadeso
Merupakan acara yang sejak dahulu sudah dilakukan sampai sekarang,yaitu merupakan acara untuk memperingati hari ulangtahun desa Gebugan. Acara kadeso yaitu acara dimana didepan rumah lurah desa gebugan diadakan pertunjuan wayang kulit yang dilakukan satu hari satu malam untuk menghibur para warga desa Gebugan.Biasanya pada saat kadeso banyak orang-orang yang berjualan mainan, makanan secara berjejer-jejer atau warga desa Gebugan sering menyebutnya dengan istilah “eter”.

7. Nyadran
Merupakan acara sedekah desa yang dilakukan oleh masyarakat desa Gebugan dari dulu hingga sekarang. Acara ini diadakan pada pagi hari dan para warga membawa makanan berupa nasi atau ketupat dengan lauk sambal tahu, tempe, bergedel, rempah dan ayam yang teah di ingung untuk dibawa ke makam leluhur desa Gebugan yaitu makam “Kyai Syeh Penanggalan”. Dimana yang membawa makanan tersebut haruslah laki-laki karena yang perempuan sudah mendapat bagian memasak makanan yang akan dibawa kemakam tersebut, disitulah seluruh laki-laki desa gebugan dari yang usia muda sampai usia yang sudah tua berkumpul di makam tersebut untuk tahlilan dan kemudian makan bersam.

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah SosAnt. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: