• Pahlawan Revitalis Budaya “Sanggar Kesenian Mudha Laras Bulungan Jepara”

    Indonesia adalah negeri yang sudah 68 tahun terbebas dari belenggu penjajahan, itu artinya apakah kita sudah merdeka?. Ini hanya sebuah pertanyaan kecil yang tak pernah bisa terjawab oleh seorang, dua orang, tapi jawaban itu hanyalah diketahui oleh satu bangsa. Kapan kita merdeka dan pertama kali bangsa ini hidup dengan nafas Indonesia sendiri,  dibawah terik matahari cerah berkibar sang saka merah putih serasa awan gelap yang menyelimuti bangsa ini akan menjadi sebuah pemandangan yang terakhir kali. Di sisih lain bekas hujan badai semalam masih terasa, air darah yang mengalir deras kala itu belum kering, mereka teringat akan jasanya, mereka  gugur dalam badai semalam, mereka bukan korban tapi mereka berkorban untuk kami. Bagaimana cara kami untuk membalas jasa mereka, serasa tak cukup hanya teringat dibenak kami mereka itu pahlawanku.

    November menjadi bulan dimana mereka “pahlawan” baru akan dikenang, semua jasanya dan pengorbananya itu hanya dingat dan diperingati pada bulan ini. Lantas apa itu sudah cukup hanya sekedar turut memeringati dan ucap terimakasih dan seuntai ungkapan do’a untuk mereka, sedangkan mereka memberi sebuah hadiah yang jauh lebih besar bukan untuk diambil dengan begitu saja, tapi dirawat dijaga dan diteruskan perjuangannya karena mereka titipkan negeri ini untuk diperjuangkan  setiap waktu, menjaga keutuhan dan memperbaiki segala hal yang kiranya butuh perbaikan. Mereka butuh kita, kita tidak boleh kecewakan mereka, buat mereka bangga denga cara kita dihari ini.

    Dengan adanya kita di masa yang berbeda, berbeda rintangan maka berbeda pula perjuangan kita. Perjuangan yang dimaksudkan pada era ini akan jauh beragam dan bereda bentk pula salah satunya adalah menjaga dan melestarikan budaya yang diwariskan oleh para pejuang bangsa dulukala. Mereka yang mengajarkan kita budaya sebagai bentuk sifat karakter bangsa, diantaranya adalah kesenian yang mereka buat dengan berbagai makna didalamnya sebagai media penyampaian pesan yang luhur lagi agung. Kini budaya yang mereka wariskan mulai luntur dan tergantikan bahkan tejajah oleh bangsa lain yang begitu mudah mereka menyerang lalu kita bangsa Indonesia seakan menyerah begitu saja. Maka hari ini sebenarnya kita butuh pejuang bangsa kembali, dan kita bisa menjadi pejuang itu, dedikasikan diri kita untuk meraih sebuah kesempatan sebagai pahlawan bangsa di era baru ini. Mulai dari hal kecil sebagai generasi “Pahlawan Revitalis Budaya”.

    Organisasi  atau sebuah kelompok kesenian di daerah Jepara yaitu kelompok sanggar kesenian ” Muda Laras ” dari Desa Bulungan, Kecamatan Pakis Aji.yang berjuang untuk melestariakan budaya kesenian musik tradisonal, khususnya musik gamelan. Salah satu tokoh yang layak disebut sebagai pahlawan adalah  Pak Darsono sang pimpinan sanggar yang merupakan generasi ketiga yang dengan tekun menjaga warisan leluhur dengan tetap menjaga peralatan kesenian tradisional wayang kulit komplit dengan gamelannya serta mengorganisir pemain atau panjaknya. Pak Darsono mewarisi seperangkat alat gamelan dan juga wayang komplit ini dari ayahnya yang dahulu memang senang akan kesenian wayang, ayahnya dulu juga mewarisi hal yang sama dari kakeknya. Sehingga jika diurutkan sampai saat ini wayang dan gemelan ini sudah generasi ketiga dan walaupun hanya melanglang buana ke daerah sekitar Jepara. setiap sebulan sekali, sanggar ini rutin mengadakan pertemuan untuk hanya sekadar berlatih, dan disela-sela latihan akan ada perbincangan-pebincangan ringan, terkadang juga berdiskusi mengenai hal-hal tertentu, misal saja mengenai kesenian lokal yang terancam punah. Selain Pak Darsono, seniman lain yang juga layak mendapat gelar pahlawan adalah Pak Suhatta, sebagai pemain bonang penerus yang setia kemana saja mengikuti rombongannnya. Pak Suhatta yang merupakan perangkat Desa Jambu Timur ini mengatakan, meskipun pekerjaan utamanya adalah perangkat desa namun karena sudah cinta akan kesenian wayang kulit maka kemana saja grup ini manggung dia ikut memeriahkannya. Selain itu jam manggugnya pada malam hari sehingga tidak mengganggu kegiatan sehari-harinya, dengan bermain gamelan ini merupakan wujud dari nguri-nguri kesenian jawa yang mulai tergerus oleh kesenian asing.

    Negara dalam hal ini adalah pemerintah harus berpartisipasi mendukung dan ikut menjaga budaya bangsa sepertihalnya Pak Suhatta walaupun sebagai perangkat desa tapi tetap peduli akan budaya bangsanya. Menurut Pak Suhatta, meskipun saat ini sudah banyak kesenian modern, namun kesenian wayang tetap bertahan, hal ini disebabkan masyarakat tetap menjaganya dengan cara mendatangkan kelompok ini  untuk memeriahkan kegiatan sedekah bumi. Meskipun setahun sekali hal tersebut cukup membantu kelangsungan kesenian wayang kulit juga para seniman yang memainkan. Sebagai contoh untuk bulan Apit, bulan-bulan orang Jawa menggelar pesta perkawinan atau sunatan yaitu bulan Besar, Mulud, Ruwah dan bulan Syawal. Para seniman di sanggar ini merupakan seniman yang cinta akan budaya yang adiluhung, mereka setiap waktu akan terus mengasah kemampuan untuk melestarikan kesenian dan menjaga budaya bangsa ditengah maraknya invansi budaya asing.

    Enggan, malu, dan bahkan tak peduli yang menjadi sifat bangsa kita kini. Sungguh beruntung masih ada sisa-sisa semangat perjuangan yang diwariskan oleh leluhur bangsa kini semangat itu masih bisa diserap meskipun hanya beberapa saja. Mereka mulai dari sekarang harus perlu disadarkan melihat mereka yang  masih teridur dan dibutahkan hatinya bahwa dimasa ini sebenarya masih banyak penjajah yang diam-diam mulai menggerus karakter bangsa. Banyak orang diantara kita yang tak sadar akan hal itu, lalu siapa yang harus meneruskan perjuangan dari para pahlawan bangsa sebelumnya. Apakah kita harus menunggu bangkitnya pahlawan bangsa penerus disisi lain sebenrnya kitapun bisa menjadi pahlawan.

    Sekarang ini memang sulit mencari pahlawan, tapi pada kenyataannya negeri ini beruntung dengan kehadiran mereka ”pahlawan” yang disela-sela masa atau zaman serba idividualis, mungkin mereka tidak ada yang mengenal bahkan mereka diangap sebagai orang yang kurang kerjaan atau hal yang paling disepelehkan tapi mereka tahu ini bukan hanya untuk dirinya tapi ini untuk bangsa ini amanat dari leluhur yang telah mencanangkan proklamasi sejak dulu, dengan harapan generasi penerus mampu menjaga dan masih ada sisa-sisa yang perlu diteruskan perjuangannya, karena kita tahu pahlawan tak akan bisa tergantikan melainkan diteruskan perjuangannya darah dan gores luka mereka yang membekas tak akan disia-siakan.

    Ironis adalah kata yang layak disemayamkan untuk bangsa ini sebagai bagian kekecewaan atas perlakuan bangsanya sendiri, mereka yang tak mengenal pahlawannya hanya karena bukan idola, ataupun juga hal yang sepeleh sepertihalnya saat kapan bangsa kita berjuang mereka lupa mereka hanya ingat 17 Agustus 1945 sebagai tangga bulan, dan tahun kemerdekaan bangsa ini. Lantas mengapa mereka tak ingat tujuan dari kemerdekaan yang dengan susah payah bahkan perlu ratusan tahun untuk merebu dari genggaman penjajah. Masih banyak tugas kita di negeri ini untuk itu kita bukan diam ataupun bisa mengatakan bahwa negeri ini sudah merdeka sepenuhnya lalu kita isi kemerdekaan itu dengan hal yang tak ada gunanya.

    Akankah hari ini, sekarang, kita bangsa dan negeri ini masih tetap tak memahami kemerdekaan yang dimaksudkan leluhur bangsa. Mulai dari sekarang kita harus bangun jangan dibutahkan, jangan selalu berhalusinasi, karena bangsa kita masih punya mimpi yang perlu diwujudkan melalui hal yang kecil mempertahankan budaya negeri ini, kami punya karakter, bangsa ini punya gaya tersendiri. Mari kita menjadi pahlawan sebagi generasi penerus dan penjaga keutuhan budaya bangsa. Mulai dari sekarang untuk Indonesia sebagai bukti yang membanggakan nantinya, bagi para founding fathers menjaga dan masih tetap berkibar engkau sang saka Merah Putih.

    ( Mohamad Taufiq Hidayat)

    Categories: Antropologi

    Tinggalkan Balasan