REVIEW BUKU KUASA KATA KARYA BENEDICT ANDERSON

Selanjutnya sobat, saya akan membagikan tugas dari Sosiologi Politik yaitu merivew buku kuasa kata karya Benedict Anderson

REVIEW BUKU KUASA KATA

BAB I: GAGASAN TENTANG KUASA DALAM BUDAYA

Konsep Kuasa dalam budaya Jawa berbeda dengan konsep yang berkembang di Barat. Konsep Barat tentang kekuasaan merupakan suatu abstraksi yang memaparkan hubungan-hubungan sosial, kekuasaan dipercaya sebagai sesuatu yang diturunkan dari berbagai sumber, kekuasaan juga tidak memiliki batasan, dan secara moral kekuasaan bersifat ambigu. Dari pandangan Jawa, konsep kekuasaan kebalikan dari konsep Barat dimana kekuasaan adalah sesuatu yang nyata, homogen, jumlah keseluruhan tetap, dan kekuasaan tidaklah mempertanyakan keabsahan. Menurut tradisi Jawa, untuk mendapatkan Kuasa/ kesaktian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui tradisi ortodoks yaitu dengan tapa laku untuk menyeimbangkan dengan alam semesta misalnya seperti bertapa. Yang kedua adalah dengan cara tradisi heterodoks. Dalam tradisi ini, untuk mendapatkan Kuasa/ kesaktian yaitu dengan cara pengacau-balauan indera secara sistematis seperti mabuk, mengumbar seks, dan pembunuhan ritual. Tradisi heterodoks lebih ke tujuan untuk berkonsetrasi tanpa gangguan karena telah menuntaskan gairah-gairah yang tersimpan. Selain itu seseorang yang memiliki Kuasa harus memiliki benda-benda atau orang-orang yang juga memiliki Kuasa/ kesaktian, hal tersebut berguna untuk menambah Kuasa/ kesaktian dirinya sendiri dan akan menguntungkan secara politis.

Tanda-tanda yang dimiliki seorang yang memiliki Kuasa dapat dilihat dari kemampuannya untuk memumpunkan Kuasa dalam dirinya, menyerap Kuasa dari luar dan mengkonsentrasikan ke dalam dirinya. Seorang dapat memiliki Kuasa jika ia memiliki cahaya ilahiah atau wahyu. Wahyu yang dimaksudkan diibaratkan sebuah benda bersinar berasal dari langit yang jatuh kepadanya sebagai tanda pemindahan kekuasaan. Selain wahyu, seorang penguasa juga dapat dilihat dari teja (pancaran cahaya) yang ada di dalam dirinya. Indicator seseorang masih atau tidak memiliki Kuasa dapat dilihat pada kekacauan alam (bencana alam), banyak penyakit menyerang, kerusakan system nilai sosial, dan meningkatnya angka kriminalitas. Jika hal tersebut terjadi maka Kuasa dari sang pemimpin telah berkurang.

Dalam pergiliran kekuasaan, seseorang yang ingin menduduki penguasa tertinggi akan menggunakan legitimasi untuk menghancurkan penguasa sebelumnya. Cara lain untuk mendapatkan giliran kekuasaan adalah pengakuan palsu yang dihubungkan dengan raja-raja terdahulu. Dalam pikiran orang Jawa, keturunan dari seorang yang sakti (raja) akan mendapat kesaktian dari leluhurnya sehingga ia pantas dijadikan penguasa yang selanjutnya. Gagasan Jawa mengenai Kuasa dapat berdampak pada konsep kedaulatan, integritas teritorial dan hubungan luar negeri. Dalam hal ini jangkauan Kuasa dari seorang penguasa dapat diukur dari seberapa jauh jarak warga dari pusat. Warga yang berada di daerah perbatasan harus memiliki hak yang sama dengan warga yang dekat dengan pusat kekuasaan. Terdapat tiga cara untuk menghadapi ancaman dari pemusatan Kuasa: penghancuran lawan dan penceraiberaian, penyerapan yang di dalamnya terdapat tekanan diplomatic serta cara-cara yang halus, ataupun kombinasi dari keduanya.

BAB II: PETUALANGAN LANJUT KARISMA

“Gagasan kuasa tentang Kuasa dalam Budaya Jawa” disini saya melihat bahwa konsep Max Weber tentang “Karisma” dapat memecahkan suatu masalah tertentu. “Karisma” adalah atribut nyata dari seorang politis atau pun keagamaan, sebagai suatu yang ditempelkan terhadap para pemimpin tersebut oleh pengikutnya, untuk mengaitkan karisma dengan hal yang tidak rasional, tak terduga, dan kreatif.

Dalam kepemimpinan dunia ketiga yang “karismatis” yaitu Sukarno,U Nu, Nasser, Nehru, Ho Chi Minh, Castro dan sebagainya. Karisma yang dimiliki mereka memiliki batas kewilayahan dan kultural. Castro di Indiana, Sukarno di RI, Nehru di Mexico City, tampaknya tak akan mengomando orang diluar kepentingan “show biz”

Ditangan ilmuwan sosial yang tidak terlalu bersimpati dan tak terlalu progresif, millenarianisme terbukti cukup fleksibel untuk direntangkan sehingga meliputi sebagian besar nasionalisme politik antikolonial Dunia Ketiga, khususnya, ketika nasionalisme ini disuarakan oleh pemimpin pemimpin yang dipercaya sebagai karismatik.

BAB III: NEGARA LAMA, MASYARAKAT BARU

Wilayah-wilayah kedinastian masihlah menjadi norma wilayah yang di definisikan bukan dari kesamaan bangsa, adat ingatan ataupun Batasan yang digariskan secara permanen tetapi lebih berupa tingkatan-tingkatan monarki tinggi terkait dengan sosok-sosok seperti kaisarbagi seluruh rusia, putra langit, dam ratu inggris sekaligus kaisar india.

      

       Suharto, Negara, dan Orde Baru.

Orde baru paling baik dipahami sebagai kebangkitan kembali negara dan kemenanganya atas masyarakat dan bagsa. seluruh Pernik-pernik dalam karir Suharto telah disusun untuk menggarisbawahi satu hal inti: bahwa kariernya sepenuhnya ditempuh di dalam negara lebih tepatnya sebagai aparat kemanan internal. Motif khas yang secara konsisten mendasari pemerintahan Orde Baru adalah penguatan sang negara qua negara. Bukti terbaik bagai pernyataan ini adalah desakan pada sifat-sifattertentu kebijakan Orde Baru dalam bidang ekonomi, sospol, dan militer.

       Kebijakan ekonomi

Mengapa Suharto dan kolega militer terdekatnya dapat dengan mudah mengadopsi “strategi pembangunan” yang disusun oleh penghulu teknokrat Professor Widjojo Nitisastro dan pengikutnya. Inflasi merupakan alat yang sangat jitu untuk pembentukan disiplin, kesatuan, keefektifan, dan kekuatan bagi kepegawaian. Hasilnya dengan cepat datang, lebih dari setengah milyar dolar pada tahun 1968, dan sogokan tahunan IGGI. Lalu mendapat dari OPEC pada tahun 1973 dan menjadi berjumlah 3 milyar dolar.

       Kebijakan sosial-politik

Dengan sangat mencolok orde baru tak pernah menyatakan secara publik bahwa pemerintah ini adalah suatu rezim dalam keadaan darurat yang bersifat sementara dan perlindungan. Orde baru menjadi rezim tersendiri. Pemilihan umum di manipulasi dengan kekuatan dan kecanggihan suatu thermostat: Golkar partai negara memenangkan pemilihan 1971, 1977, dan 1982. Partai oposisi dimandikan oleh jenderal Ali murtopo melalui organisasi operasi khusus. Tak ada seorang pun yang menantang Suharto dalam pemilihan presiden. ABRI memiliki tanggung jawab baik dalam keamanan nasional maupun pembangunan ekonomi sosial politik. Dari sinilah ABRI menyusup kedalam aparat negara

BAB IV: BAHASA-BAHASA POLITIK INDONESIA

Dapat disimpulkan bahwa tampaknya bahasa politik Indonesia tengah mendekati titik penggabungan yang akan lebih cepat tercapai manakala elite tua berbahasa belanda semakin habis. Jurang radikal antara bahasa jawa dan tradisinya, antara bahasa Indonesia revolusioner dan aspirasi-aspirasinya, tampaknya bernasib untuk menghilang, dengan percampuran dan perubahan karakter. Peristiwa yang dialami Indonesia, jawani struktural atas bahasa Indonesia dan penerapan modalitas bahasa jawa tidak mengubah kenyataan bahwa bahasa nasional tetaplah bahasa Indonesia, dan bahwa aspirasi yang terkandung di dalam proyek bahasa Indonesia tak akan terkikis dalam masyarakat Indonesia. Keseluruhan proses ini memang remang, rumit, dan sangatlah penting, lantaran proses ini menyimbolkan sekaligus menyingkapkan penakhlukan modernitas melalui suatu bahasa baru yang saat bersamaan menjadi pancang dalam konsepsi tradisional tentang dunia.

BAB V: KARTUN DAN MONUMEN EVOLUSI KOMUNIKASI POLITIK

Dalam buku Indonesian political Thingking karya Herbert Feith dijelaskan bahwa karateristik pemikiran politik di Indonesia adalah Kekaburan Moral dan Optimistik namun dibantah bahwasannya karakteristik itu merupakan karakteristik milik kebanyakan orang asia atau negara-negara dunia ketiga, bukan hanya milik Indonesia menurut Anderson.  Anderson menerangkan bahwasanya komunikasi politik di Indonesia berbeda, terdapat dua macam modus komunikasi politik yaitu ucapan langsung dan ucapan simbolik.

Ucapan langsung merupakan komunikasi yang secara langsung terjadi di masyarakat. nyata dan tidak ditutup-tutupi, bertemu secara langsung dan berkomunikasi. Bersifat cair dan sementara.

Pengucapan simbolik merupakan komunikasi-komunikasi yang terjadi melalui perantara bukan menggunakan tatap muka langsung. Perantara ini bisa berupa gambar atau tulisan yang memiliki makna tersendiri dari sang pembuat tetapi juga kadang diartikan berbeda oleh si pembaca karena tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam gambar atu tulisan yang hanya sepenggal. Dalam masa orde baru banyak muncul tokoh-tokoh yang menuliskan aspirasinya melalui pengucaan simbolik ini melalui kartun, poster dll.

Kartun adalah bentuk pengucapan simbolik yang paling mudang di baca namun kadang sulit diartikan. Banyal tokoh kartunis di Indonesia yang menirukan gaya kartunis-kartunis dunia. Dalam masa orde baru, kartun digunakan sebagai sarana untuk menciptakan kesadaran bersama oleh rakyat yang tidak memiliki akses kepada birokrasi atau yang tidak dapat masuk ke lembaga-lembaga pemerintah. Kartun pada masa orde baru diboncengi dengan undur politik dan penolakan/ penyindiran terhadap pemerintah yang kenatl, karena pada masa itu aspirasi suara sangat sulit untuk didapatkan.

Monumen dalam buku kali ini menceritakan tentang bagaimana monumen monumen yang ada diIndonesia. Membahas tentang bagamana monumen itu ada dan kenapa bentuknya seperti itu. kebanyakan monumen diIndonesia memiliki tampilan visual yang abstrak atau tidak  beraturan tetapi memiliki sebuah makna yang dalam. Monumen menjadi salah satu bentuk peninggalan dari sebuah rezim yang pernah berkuasa di Indonesia. Ketika pemerintahan Soekarno mendirikan beberapa monumen di Indonesia. Dan pada masa orde baru, Ibu Negara sangat ingin membuat monumen basar tetang replika mini Indonesia, sebuah monumen yang lebih jelas bentuknya. Dan ibu negara pada saat itu memksa berbgaio pihak untuk membantu mendanai pembuatan monumen itu dengan keterangan bahwa akan menghibur rakyat.monumen di anggap sebagai sebuah hasil atau bekas dari sebuah kejayaan, sehingga penguasa berbondong-bondong untuk membuatnya. Seperti juga ketika masa ordebaru yang mana Ibu Negara ingin sekali membuat sebuah monumen mini tentang Indonesia kemungkinan dimaksudkan untuk memperlihatkan seberapa lama mereka pernha berkuasa. Agar dapat memiliki bekas- bekas dari kejayaan mereka selama berkuasa.

BAB VI: SEMBAH-SUMPAH POLITIK BAHASA DAN KEBUDAYAAN JAWA

Kemunduran sastra jawa sudah dimulai sejak dahulu. Terebih sejak tahun 1910, ketiika imperium Belanda di Jawa Timur  yang bertindak sebagai pemotor terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Karena Beanda membutuhkan komunikasi tunggal di wiayah Indonesia yang heterogen. Apalagi setelah tamatnya Cuturstelsel yang semakin mengangkat bahasa Melayu . hingga tercipta kapitalise-cetak yang memberikan pasar potensial bagi bahasa melayu ketimbang bahasa Jawa.

Mengapa dalam sumpah pemuda tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu? Karena para tokoh nasionalis mengakui kesulitan bahasa Jawa. Dan peristiwa sumpah pemuda ini bukan awal dari era baru. Akan tetapi lebih pada kulminasi transforasi kebahasaan dari jawa ke indonesia.

Secara umum terdapat dua krisi yang melatarbelakangi kemunduran sastra jawa.

  1. Krisis politiko-kultural

Krisis yang dimulai ketika para penguasa kerajaan jawa mengalami kemunduran dan hanya menjadi levende wayang poppennya Belanda.(boneka-boneka wayang yang hidup)

  1. Krisis sastra dan bahasa

       Terdapat tiga sebab yang melatarbelakangi krisis ini yaitu:

  1. Keterputusan yang mendalam yang disebabkan oleh runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha Majapahit, penghancuran peradaban Jawa islam yang menggantikan Majapahit, dan keberadaan VOC, Sultan Ageng T, Jenghis Khan Jawa. Pada masa itu  disebut sebagai abad kegelapan Jawa. Saah satu contohnya yaitu kematian wayang beber. Wayang dari kain bergabar ini tidak agi dimainkan.
  2. Konsekuensi dari sebab pertama. Ketika sastra jawa mulai bangkit pada abad ke delapan belas. Bahasa keraton kuno lepas dari genggamannya. Krama hanya sekadar ungkapan yang dangkal. Krisis sasrta Jawa ini cukup kentara pada masa pra-1900, buku-buku serat darmogandhul, suluk Gatholoco, dan Wulangreh menjadikan islam Jawa yang tidak Jawa. Kosakata islam terlepas dari pengkramaan jawa. Meskipun sebenarnya kramamemiliki kerangka hierarkis yang memiliki unsur sosio-politik krama. Namun implikasi dari tata ngoko-krama dipertanyaakan ketika kapitalise cetak. Ketika sastra-sastra diterbitkan dalam bahasa indonesia.

       Berikut adalah tokoh-tokoh pujangga yang mendongkrak kebudayaan jawa.

  1. Ronggawarsita. Mengungkapkan mengenai kemustahilan.yang merupakan ungkapan kegetiran terhadap budaya jawa.
  2. Poerbatjaraka. Mahir berbahasa Belanda dan menggunakan bahasa Belanda tersebut untuk melawan bahasa Jawa.
  3. Raden Tjokrosoedarmo, seorang tokoh terkemuka dari gerakan Djawa Dipo yang mendesak penghapusan krama. Dalam gerakan ini para anggotanya selalu menggunakan bahasa ngoko. Gerakan ini juga didukung oleh pimpinan Sarekat Islam. Akan tetapi keberadaannya ditentang oleh kalangan pejabat Jawa.mereka menganggap penghapusan krama akan berakibat pada perusakan kesusastraan.
  4. Pramudya Ananta Toer. Merupakan pemberontak terhadap budaya Jawa. Beliau menyindir dengan cukup menohok terhadap karya-karya Jawa dalam karyanya yang kesemuanya menggunakan bahas Indonesia. Contoh karya yang terkenal adalah dendam, yang menceritakan kekebalan seorang haji yang kemudian hilang karena dibacakan mantra “kembali djadi tanah”.
  5. Yudhistira Adhi Nugraha. Menyerang tatanan budaya Jawa melalui karangaannya yaitu novel Arjuna mencari cinta, dan Arjuna droup out. Dalam novel terebut menggunakan nama tokoh wayang yang digambarkan dengan karakter yang bertolakbelakang dengan karakter tokoh asli dalam cerita pewayangan yang sebenarnya.

Dari awal masuknya kolonialisme budaya jawa khususnya dalam tatanan bahasa sudah mengalami kemunduran. Selain itu, karena tatanan bahasa dan budaya Jawa penuh dengan tatanan hierarkis, maka mendapat serangan juga dari para pujangga-pujangga jawa itu sendiri.

BAB VII: SAAT KELAM SAAT GEMILANG TRANSPOSISI PADA PEMIKIRAN NASIONALIS INDONESIA AWAL

Tulisaan pada bab ini diawali dengan karya puisi yang ditulis oleh R. Ng. Ronggawarsita seorang pujangga (penyair istana) pada tahun 1873 di ibukota kerajaan yang tua Surakarta yang disebut Serat Kala Tidha (puisi saat kelam). Dari tembang tersebut, penyair yang diambang kematian mengucapkan kecemasannya bahwa sekarang adalah “saat kelam” yang mungkin tanpa akhir. Penulis memaknai tembang tersebut bahwa sepanjang sejarah mereka orang Jawa telah melintasi banyak “saat-saat kegelapan”, tetapi selalu dengan harapan yang yakin bahwa pada akhirnya seorang penguasa akan muncul mengkonsentrasikan kembali Kuasa dan mempermaklumkan “saat gemilang” yang baru.

Pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah sebuah organisasi yakni Budi Utomo. Budi Utomo merupakan suatu upaya paling awal yang dilakukan untuk menanggulangi kondisi kolonial dengan cara-cara barat (modern). Tujuan resminya tidak berkait dengan kemerdekaan politis, akan tetapi sebagai  upaya bersatu, bebas dan sadar oleh pribadi-pribadi. Budi Utomo dipimpin oleh Soetomo. Selanjutnya tulisan ini membahas autobiografi Soetomo yang manyajikan petunujuk tentang apa artinya menjadi bagian dari generasi “kebangkitan” dan tentang cara mengkonsepsikan masa lalu, kini dan yang akan datang. Autobigrafi ini diberi judul Kenang-Kenangan. Autobiorafi ini menulis mengenai kehidupannya di sekolah, mengenai hubungannya dengan orang tua dan kekek-neneknya, serta bagaimana ia mulai menjadi orang Jawa yang disebut sudah Jawani.

Dari autobiografii tersebut, kalau kita lihat gagasan-gagasan yang digeluti oleh Soetomo sepanjang hidupnya, kita akan mendapati kosakata dan ungkapan dari suatu jenis yang sangat konsisten. Hampir tidak ada penggunaan prinsip-prinsip politik yang didasarkan pada sosiologi barat. Dimana Sukarno dan rekan-rekannya berbicara tentang Indonesia Merdeka, sedangkan Soetomo biasa menyebut cita-citanya sebagai Indonesia Mulia. Dalam penggalan Kenang-Kenangan tersebut mulia secara alami berkesesuaian dengan kewajiban. setiap elemen masyarakat baik petani dan pekerja menurut Soetomo harus sadar akan kewajiban mereka dan mampu untuk memenuhinya. Soetomo menghabiskan hidupnya untuk mencari keadilan yang bermanfaat bagi Indonesia yang akan lahir. Perubahan yang dilakukan oleh Soetomo yang membuat sejarah adalah mendirikan Budi Utomo.

BAB VIII: IMPIAN PROFESIONAL: CERMINAN PADA DUA KARYA KLASIK JAWA

Bagian terakhir dari buku ini bercerita tentang impian profesioanl karya jawa klasik, yaitu Serat Centhini dan Suluk Gatholoco. Jika di Perancis  terdapat sebuah mahakarya ensiklopidia yang sukses dikenal dunia hingga kini, di jawa terdapa karya fenomenal serat centhini. Serat Centhini memaparkan perjalanan keluarga raja dan upaya jatuh bangun untuk menyatukan diri. Di dalamnya bercerita tentang aktivitas masyarakat desa yang identic dengan seni kerakyatan, memasak, bercocok tanam, dan sebagainya. berdasarkan hal tersebut centhini memliki reputasi sebagai ensiklopedia jawa di masa lalu.

Penyebab serat centhini tidak sepopuler karya ensiklopedia karena di indonesia pada saat itu, seorang penulis  tidak lebih dihargai dari seorang tari senior dan pemimipin karawitan. Sedangkan di Eropa seorang penulis menduduki posisi yang sangat penting di dalam kelompok masyarakat dan birokrat. Itulah sebabnya seorang pemikir di Eropa lebih mempunyai wadah untuk selalu berkarya dan mendapat penghargaan.

Chentini juga membahas masalah viral dimasyarakat pada saat itu. Kecanduan orang-orang pribumi terhadap hubungan seks dengan anak laki-laki dan sodomi homoseksual. Buku itu menghadirkan kosa kata teknis jawa secara bebas terbukti dengan penjelasan terperinci tentang sodomi, oral sex, martubulasi, dan lainya. Di dalamnya menceritakaan professional pekerja yang tanpa menggunakan kekerasan atau peperangan dalam mencapai tujuannya. Seperti yang diceritakan, Cebolang melakulan professional kerjanya dalam melayani sang adapati dengan baik. Memberikan kepuasan seolah-olah sang adipati yang menguasai Cebolang tersebut, padahal sebaliknya Cebolang yang menguasai Sang Adipati.

Karya sastra jawa klasik berikutnya adalah Suluk Gathocolo yang berbicara tentang mistik Jawa serta sindiran serius terhadap kerumitan ajaran mistik yang berkepanjangan. Terdapat 397 pupuh adegan pada suluk. Didalamnya tidak menampilakan keberagaman ajaran, hanya ada satu pengetahuan yang dianggap penting yaitu pengetahuan mistis lelaki sejati dengan memaparkan kerumitanya dan cara mempertahankanya.

KESIMPULAN

Di dalam buku ini mengandung tiga bagian besar yaitu kuasa, kata, dan kesadaran. Pada bagian pertama, kedua terdapat tiga bab, dan pada bagian ketiga terdapat dua bab, jadi semua bab yang ada didalam buku Kuasa Kata adalah delapan. Setiap bab dalam buku ini berdiri sendiri, dengan kata lain pembahasan yang ada setiap babnya tidak berkesinambungan, meskipun begitu dalam skala setiap bagiannya masih terhubung.

Bagian pertama, dibahas mengenai kuasa dalam budaya Jawa. Pada pembahasan awal disajikan penjelasan mengenai definisi kuasa, perbedaan mengenai konsep barat mengenai power dengan Kuasa dalam pandangan tradisional Jawa. Berdasarkan konsep barat, kekuasaan merupakan suatu abstraksi yang didedukasikan dari pola-pola interaksi sosial yang diamati, kekuasaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari berbagai sumber, kekuasaan merupakan sesuatu yang membatasi diri seseorang, dan sebagainya. Sedangkan dalam konsep Jawa, kekuasaan merupakan sesuatu yang nyata, homogen, jumlah keseluruhan tetap, dan kata Kuasa dengan huruf awal besar lebih digunakan makna Jawanya daripada Eropa.

Pada bagian kedua, dijelaskan mengenai bagaimana bahasa menjadi kata penting dalam perpolitikan di Indonesia, khususnya pada massa orde lama dan orde baru. Menjelaskan bagaimana bahasa Indonesia evolusioner menjalankan misi menertibkan dan menyatukan kosakata birokrasi kolonial, kosakata sosial-demokrat barat, kosakata nasionalis-revolusioner dan kosakata tradisi Jawa. Hingga pada akhirnya mencapai keputusan bahwa Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa nasional.

Pada bagian terakhir, dijelaskan mengenai kesadaran yang dapat mengkonstruksikan mengenai konsep adanya bangsa Indonesia, mulai dari periode tradisional Jawa, masa kolonial, hingga masa orde baru. Dijelaskan bagaimana kemudian kesadaran dibentuk oleh budaya tradisional Jawa hingga dapat mempengaruhi perilaku dan sikap tokoh-tokoh politik di Indonesia sampai zaman sekarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: