BUDAYA KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF NILAI-NILAI DAN ETIKA MASYARAKAT JAWA

artikel budaya kekerasan

BUDAYA KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF NILAI-NILAI DAN ETIKA MASYARAKAT JAWA

Masyarakat Jawa kini memiliki citra sebagai masyarakat yang berbudi pekerti luhur, halus dan lembut dalam perilakunya. Tetapi dalam sejarahnya, masyarakat Jawa adalah etnis yang keras. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kerajaan Jawa yang menaklukkan daerah-daerah dan kerajaan lainnya dengan mengambil jalan perang. Terbukti dengan sejarah kerajaan Mataram dan Singasari yang dapat menaklukkan daerah-daerah lain hingga luar Jawa. Kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa bersumber dari nilai-nilai dan etika Jawa bahwa para ksatria atau prajurit perang akan disanjung dan dipuja ketika mereka memenangkan peperangan. Paham itulah yang mendasari pola pikir masyarakat Jawa untuk melakukan kekerasan. Nilai dan etika Jawa mengandung tiga prinsip, yaitu rukun, hormat, dan isin. Ketiga prinsip ini tidak sesuai atau dianggap bertentangan dengan adanya kekerasan.

Masuknya kolonial juga mempengaruhi pola pikir para pejabat kerajaan Jawa pada waktu itu khususnya kerajaan Mataram yang berakhir dengan pemberontakan dan Belandalah yang menjadi aktor untuk membantu segala permasalahan di Mataram, yang selanjutnya juga mendapat imbalan atau rasa terimakasih Mataram kepada Belanda berupa daerah kekuasaan dan pengatur pejabat patih. Selain itu, pengaruh Belanda juga menimbulkan terjadi adanya perjanjian giyanti yang isinya membelah Mataram menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Kekerasan yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa tidak hanya terjadi pada masa feodalisme, tetapi juga terjadi pada masa reformasi. Dalam memunculkan gerakan reformasi, rakyat Indonesia melakukan pemberontakan yang juga disebut dengan amok massa diberbagai daerah, tidak terkecuali dengan masyarakat Jawa. Daerah Semarang, Surakarta, Surabaya, dan lain sebagainya melakukan pemberontakan. Untuk mewujudkan reformasi dengan damai dan mengantisipasi terjadinya amok massa di Yogyakarta, maka para aktivis reformasi di Yogyakarta memiliki siasat untuk melakukan pisowanan ageng. Pisowanan ageng sendiri adalah himbauan dari HB X kepada rakyat Indonesia untuk melakukan doa bersama sesuai kepercayaan masing-masing demi keselamatan Negara dan demi terwujudnya reformasi yang damai.

Adanya pisowanan ageng tersebut, dapat dikaitkan dengan konsep alus dan kasar pada masyarakat Jawa. Pada masyarakat Jawa, alus dan kasar dapat tergambarkan melalui cerita pewayangan yang mengandung unsur kekerasan seperti Mahabharata dan Bharatayuda. Kasar dimaknai dengan penampilan sangar, banyak bicara, agresif dan lain sebagainya yang identik dengan wong cilik dan wong sabrang. Alus dimaknai dengan kesederhanaan tetapi memiliki kekuatan besar yang identik dengan bangsawan dan priyayi. Kondisi sejarah masyarakat Jawa yang banyak melakukan kekerasan kini mengalami pergeseran kebudayaan yang akhirnya menjadikan masyarakat Jawa berbudaya halus dan penuh sopan santun. Oleh karena itu, orang jawa yang berwatak kasar akan dicemooh dengan sebutan belum menjadi orang Jawa,

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Leave a Reply

XHTML: You can use these tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

 
Skip to toolbar