RITUAL PADA MASYARAKAT BUKIT

antropologi agama tugas

Orang Bukit adalah salah satu etnik yang memiliki tradisi adat-istiadat tersendiri yang mana pada umumnya  orang bukit memilih lingkungan tempat tinggal di daerah pegunungan berhutan, terikat dengan ladang dan pertanian. Dengan tempat tinggal yang jauh dari pusat perkotaan Orang Bukit hidup secara turun-temurun mewarisi tradisi lama dan mempertahankan upacara-upacara ritual – serimonial – magis sejak masa kehamilan, melahirkan, dewasa, kawin-mawin, hingga masa kematian. Semua siklus lingkaran upacara kehidupan tersebut dinamakan dengan “Daur Hidup”. Upacara Daur Hidup Orang Bukit berakar pada religi Balian dan dipimpin oleh tokoh religius dan tokoh adat.

Kelompok orang Bukit umumnya bertempat tinggal di daerah bergunung-gunung, berhutan dan tidak bias dipisahkan dari kegiatan Huma (menanam padi), air sebagai sumber kehidupan (pancur, anak sungai dan sungai pegunungan). Dalam adat-istiadat secara tradisional hampir seluruh aspek kehidupan mereka terikat pada upacara-upacara ritual, mulai dari masa kelahiran, dewasa hingga kematian sebagai bagian dari (manusia) dengan aspek religi yang dinamakan upacara Daur Hidup dalam lingkup Religi Balian.

Daur Hidup, mengandung pengertian yang ditujukan kepada siklus dalam lingkaran perjalanan hidup-kehidupan manusia secara berputar (berproses) baik sebagai individu atau masyarakat pendukung Budaya kelompok etnik tertentu.

Pengertian Daur Hidup adalah dikaitkan dengan upacara-upacara ritual kehidupan manusia secara individual maupun kelompok masyarakat telah diikat oleh religi dan menjadi tradisi-budaya, sehingga tidak bias dipisahkan dari aspek kehidupan manusia dan menjadi kepribadian suku etnik tertentu.

Daur Hidup sesuatu Etnik dapat dilihat dari upacara-upacara sejak lahir, dewasa, kawin-mawin, bermasyarakat hingga kembali kepada kematian individual, kebiasaan orang bukit sendiri tidak bisa terlepas dari rutual-ritual yang ada di dalamnya, oleh sebab itu disini kami akan sedikit memaparkan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh orang bukit serta bagaimana mereka melakukan semua itu.

Konsep religi dan ritual orang bukit

  • Religi orangbukit

Sebagian orang mengelompokkan Orang Bukit menganut religi Kaharingan, disamakan dengan religi orang Dayak Maanyan, Ngaju, Lawangan, dan lain-lain. Istilah Kaharingan diberikan semula pada zaman pendudukan Jepang saat itu yang menyampaikan kepada penguasa Jepang, bahwa pemberian nama Kaharingan bagi religi orang Dayak.  Orang Bukit lebih mudah dikenal sebagai “Religi Balian”. Religi Balian orang Bukit bersifat lisan (oral), hampir tidak ditemui berupa buku (kitab) tertentu yang mengatur umat menjalankan ajaran-Nya. Religi Orang Bukit dapat dikatakan sebagai religi masyarakat “Huma” terkait dengan penghormatan terhadap “Padi” secara sacral yang terwujud dalam upacara-upacara ritual. Tuhan bagi orang Bukit pantang disebut-sebut karena hal itu merupakan hal yang tabu. Mereka mempercayai adanya Tuhan sebagai “Ilah” (sang pencipta) berikut kekuatan supranatural-Nya. Di samping berkeyakinan adanya Tuhan mereka tidak meninggalkan adanya sejumlah nama Ilah yaitu yang harus dipuja-puji dan dihormati misalnya :

  1. Arwah nenek moyang (Datu-Nini)
  2. Arwah yang masih gentayangan di sekitar tempat tinggal (Pidara)
  3. Roh para penguasa yang berjasa (Kariau), serta roh-roh alam (Penguasa dan pemelihara hutan, lading, pohon-pohon, sungai, hewan dan sebagainya).

Orang Bukit secara umum mempercayai adanya 3 (tiga) Ilah Utama,

  1. Suwara, adalah Ilah pencipta alam raya, Manusia pertama, serta tujuh tumbuhan pelindung;
  2. Nining Bahatara, adalah Ilah Pengatur (Pencatu) rezeki, nasib manusia.
  3. Sangkawanang, adalah Ilah yang memberi dan menentukan kewenangan terhadap Padi.

Ilah-Ilah lainnya adalah Hiyang (roh Datu-nini) dan Nabi-nabi hanyalah pembantu Ilah utama. Kedudukan Ilah dalam religi Balian sama sejajare secara horizontal. Religi Balian para nabi yang hampir mirip dengan nama-nama Nabi yang wajib dipercayai oleh orang Muslim, mereka mempercayai adanya 40 (empat puluh) orang Nabi. (misalnya Nabi Yakub, Nuh, Haidir, dan Nabi Muhammad).

Religi orang Bukit dinamakan “religi Balian”, namun harus dipisahkan dengan pimpinan keagamaan mereka juga diberi nama “Balian”, ialah orang yang memimpin seluruh aspek upacara ritual kehidupan orang Bukit. Balian bertingkat-tingkat. Pertama, Guru Jaya; yakni orang yang berwenang penuh memimpin semua upacara, membuka upacara, seorang guru keagamaan tradisional dan merangkap sebagai dukun (ahli pengobatan penyakit) dan dipandang sebagai symbol pemersatu bubuhan.

  • Ritual orang bukit

Ritual yang biasa dilakukan orang bukit sendiri sudah biasa dilakukan sejak mereka lahir hingga mereka mati yang mana ritual tersebut sudah menjadi  daur hidup, Daur Hidup, mengandung pengertian yang ditujukan kepada siklus dalam lingkaran perjalanan hidup-kehidupan manusia secara berputar (berproses) baik sebagai individu atau masyarakat pendukung Budaya kelompok etnik tertentu. Jika dikaitkan dengan upacara-upacara ritual kehidupan manusia secara individual maupun kelompok masyarakat telah diikat oleh religi dan menjadi tradisi-budaya,sehingga tidak bias dipisahkan dari aspek kehidupan manusia dan menjadi kepribadian suku etnik tertentu. Daur Hidup sesuatu Etnik dapat dilihat dari upacara-upacara sejak lahir, dewasa, kawin-mawin, bermasyarakat hingga kembali kepada kematian individual dapat diukur pada kegiatan-upacara etnik tersebut. Dengan demikian untuk melihat Daur Hidup Orang Bukit tidak bias dipisahkan dari upacara-upacara ritual. Berikut upacara-upacara (ritual ) yang biasa dilakukan orang bukit atau yang biasa mereka lakukan dari lahir hingga mati atau yang bisa kita kenal sebagai upacara daur hidup.

  1. Upacara Kehamilan dan Bapalas Bidan

Kehamilan muda bagi orang Bukit adalah sebuah kegembiraan anugrah Ilah, mereka melakukan upacara kehamilan di Umbun (rumah keluarga) dengan mengumpulkan sanak-famili dari umbun lainnya dalam satu bubuhan. Umumnya dilakukan di bilik umbun dan bias dipimpin oleh Balian Tuha, maupun Balian Tangah. Upacara ini cukup mereka sebut dengan “Bamandi-mandi”, biasanya pada kehamilan (tian) 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) bulan.

Setelah anak (bayi) lahir, juga dikenal upacara Bapalas Bidan, yakni memberi hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang kepada Bidan atau Balian yang menolong. Biasanya sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah mulai berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara Mainjak tanah, tetap dipimpin oleh Balian.

  1. Upacara Perkawinan

Saat memasuki usia dewasa, anak jejaka dan dara perawan dianggap siap berumah tangga, maka dilakukanlah proses tata cara perkawinan orang Bukit dengan urutan adat-istiadat antara lain

  1. Bagurisik, orang tua si jejaka melalui perantaraan Pangulu menyerahkan Logam perak 25 Sen (F.O.25 Hindia Belanda) sebagai Patalian diserahkan oleh penghulu ke orang tua si Gadis, selama 3 (tiga) hari memasuki tahap,
  2. Paminangan, di mana orang tua si Gadis ternyata tidak mengembalikan logam tersebut, berarti pinangan diterima. Babiasa, di mana Jejaka diizinkan tinggal di Umbun si dara dalam pengawasan keluarga si gadis selama 7 – 10 hari. Masa Babiasa tersebut menentukan cocok atau tidaknya kedua pasangan, berikut hubungan dengan sanak-keluarga si gadis, apabila cocok dilanjutkan ke upacara perkawinan di Balai Adat.
  3. Bagurau (Acara perkawinan puncak dimulai), yakni penentuan jumlah mas kawin, jujuran, uang, dan perangkat adat melalui asbah atau juru runding kedua mempelai.
  4. Baruji, adalah menentukan uang tertentu secara simbolis dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
  5. Basangga, yakni kedua mempelai resmi suami-isteri dan diperkenalkan ke seluruh bubuhan, berikut Balian/Panghulu memberi restu dengan mamang (pemberian restu dengan mantra) kepada Bapang (Langit) dan Indung (bumi). Kedua mempelai ditutupi dengan mas kawin Kain Bubut Huwan tetap dinasihati dengan mantra, tabuhan gendang dan tandik Balian.
  6. Bajanji di hadapan Penghulu, Tetuha bubuhan, Kepala Adat, Balian dan pihak keluarga.
  1. Upacara-upacara Umum dalam Kehidupan

Keluarga orang Bukit yang tinggal dalam umbun (rumah atau bilik keluarga dalam satu kepala keluarga) baik yang berada di putaran Balai, maupun terpisah dari Balai induk tidak bias lepas dari upacara-upacara umum dalam kehidupan yang terkait dengan kegiatan pertanian (Huma). Upacara-upacara dimaksud antara lain:

  1. Upacara Mamuja Tampa, yakni setiap umbun sebelum memulai pekerjaan membuka lading atau mencari lading melakukan upacara pemujaan terhadap peralatan yang terbuat dari besi (Puja-puji Ilah Jajanang wasi dan Jajanang Nar).
  2. Upacara Manyangga Banua, sebagian umbun bubuhan yang mampu secara patungan keuangan dan bahan makanan, mereka melakukan upacara manyangga banua, agar wilayah ladang, sungai, pancur selamat dari gangguan apa saja. Umumnya dilakukan di tempat umbun.
  3. Upacara mencari Ladang Hanyar; yakni upacara yang dilakukan setiap umbun bersama kepala padang, tetuha bubuhan (Balian) menjelajah lahan tertentu dan mengadakan upacara puja-puji terhadap ilah-ilah tertentu seperti Pujud, Tanjung, Lampung, dan roh pepohonan (Diyang Sanyawa).
  4. Upcara Batilah; yakni upacara saat penebangan pohon bambu di lokasi lahan yang baru digarap dan lahan bekas yang akan digarap kembali, karena pohon bambu dianggap pohon yang patut dihormati oleh segenap manusia. Upacara ini bertujuan agar penebangan pohon bamboo tidak membawa musibah bagi umbun yang melakukannya.
  5. Upacara Katuan atau Marandahakan Balai Diyang Sanyawa; yakni upacara yang dilakukan pada saat membuka lahan terdapat pohon besar dan tinggi di lahan tersebut, Katuan (sebut = Ketuhaan) dari pohon tersebut dan diyakini pohon didiami oleh roh penguasa kawasan tersebut (Diyang Sanyawa) dan tempatnya (pohon) disebut Balai. Upacara tersebut dilakukan oleh beberapa umbun yang yang ladangnya saling berdekatan dengan phon besar tersebut. Mereka sama-sama menebang pohon tadi berikut sesajin dan menanam tanaman tertentu dipimpin oleh Balian Tuha.
  6. Upacara Bamula; yakni memulai penanaman padi di lahan yang baru dibuka tersebut. Menjelang naiknya matahari siang hari para umbun dan kerabat-bubuhan dengan pakaian agak bagus menuju lading, mereka menyebutnya pula “Mengantar Diyang Balayar” tidak sembarang hari untuk menanam padi, hari baik adalah pilihan jitu memulai menanam padi. Kepala Umbun mulai melakukan pendirian peralatan Pamataan (bangunan terbuka berbentuk kubus terbuat dari tebu hutan (Tabu salah) dan kain bubut huwan sebagai penutup, diberikanlah sesajen (ketan, beras, bubur, kue-kue dan telaga darah) berikut tihang layar warna-warni dibuat paumangan (lubang) menanam padi. Mulailah upacara Bamula dipimpin oleh Balian Tuha dengan dimulai dari Bapidara. Pahundangan arwah nenek moyang hingga puja-puji Ilahiyat. Semua padi (banih) harus habis tertanam pada saat itu.
  7. Upacara Basambu Umang; yakni upacara merawat atau memelihara padi. Kata Umang berarti uma atau ibu, padi dianggap sebagai bagian dari umang kepunyaan Datu Bini Badangsanak Walu, sehingga Induk padi itulah yang melahirkan padi-padian sekarang ini. Karena itulah padi induk perlu dirawat, dipelihara (diharagui), terutama dari bahaya penyakit dan hama. Basambu Umang ditujukan untuk menolak bala penyakit dan hama. Upacara dilangsungkan pagi hari di setiap umbun dan berlanjut pada malam hari di pondok atau balai secara bersama-sama.
    Basambu Umang disebut juga dengan “Bawanang Kecil”, ada juga yang hanya melaksanakannya di lading Pamataan masing-masing umbun, ada juga yang hanya aruh di lawang di kincing (Kenduri di pintu di kuali sendiri), kalau yang dilaksanakan bersama-sama di balai adat disebut aruh balambang di balai. Umumnya dilakukan apabila padi mulai berbuah (tian bini = bunting).
  8. Upacara Manyindat Banih atau Manatapakan Tihang Babuah; upacara ini dilakukan dilihat jangka waktu lamanya panen padi, kalau pendek masa katam (Panen) empat hingga lima bulan disebut padi ringan (Panambai atau Diyang Panjulak) kalau lama masa tuai (panen) disebut :Padi Berat” atau dinamakan dengan Diyang Kabungasan dan Diyang Halin. Kalau upacara untuk padi yang pendek masa panennya disebut upacara Manyindat Diyang Panabai, sedangkan padi yang agak lama masa panennya disebut upacara Manatapakan Tihang Babuah atau Manjumput Diyang Kabungasan.
  9. Upacara Bawanang;

yakni upacara yang bebas dari berpantang (Lapas Pamali), Bawanang merupakan impian dan kebahagiaan bagi orang Bukit. Mereka bebas mendayagunakan lading dan padi apabila dilalui oleh upacara Bawanang. Upacara semakin diperbesar, balai dihias Baputir (Langgatan, patundakan, tihang pabahataraan dan tihang panguasa), Bariwah harus lengkap peralatan lalaya, pucuk badiri, balai atau maligai rumbuan amass dan tihang panggalung. Badewa; adanya tihang sajuduh (laki-bini), tihang bahatara, langgatan raden dan sebagainya, termasuk sesajen untuk tiga jalan komunikasi harus disediakan lengkap. Ciri khas Bawanang secara sacral dilangsungkan selama 15 (lima belas) hari/malam. Bawanang adalah upacara puncak bagi orang Bukit setiap tahunnya. Tandik Balian, Tabuhan gendang, mantra-mantra bahasa Banjar Lama keluar, kerasukan (in-trance) selalu mewarnai upacara sacral. Peran Balian Tuha dan tokoh Guru Jaya muncul kepermukaan, Balian Tangah dan Balian Anum penggiring setia, berikut Juru Patati dan Patati Biasa. Upacara aruh Ganal ini dihadiri Kepala Adat, Panganan, Pangiwa, kepala Padang, tetuha umbun dan bubuhan berkumpul.

Secara idealis Bawanang tersebut tergantung hasil panen padi, kalau melimpah ada kemungkinan 4 (empat) tingkatan Wanang dilakukan (1) Bawanang Baampah – duduk basila; (2) Bawanang Batuju Kambang; (3) Bawanang Batangkalak atau Bawanang Batihang Galung dan (4) Bawanang Baiyut atau Bawanang Bamaligai Rimbunan Amas.

  1. Upacara Mamisit Padi.

Upacara ini adalah untuk memasukkan padi ringan dan padi berat (gabah) atau padi yang hasil panennya pendek dan panjang ke dalam lumbung atau dalam umum orang Bukit dinamakan dengan “Manaikakan Diyang ka Balai paristirahatan”. Dipimpin Balian upacara dilakukan pada lumbung setiap umbun, atau sama-sama di depan lumbung.

  1. Upacara Mamisit Banih (padi) diurutkan dengan rangkaian acara (1) upacara di umbun masing-masing pada malam harinya; (2) acara di dalam balai pada siang harinya dan (3) acara di halaman balai pada sore harinya hingga malam hari. Upacara Mamisit Banih (padi) merupakan rangkaian terakhir semua upacara pertanian di setiap tahun kerja orang Bukit dalam perladangan.

Upacara Kematian

Ketika seorang individu dari masyarakat Bukit meninggal dunia dilakukanlah upacara-upacara sebagai berikut:

  1. Upacara Pemakaman;

yakni sebelum mayat dimakamkan ia harus dimandikan oleh sanak keluarga dalam umbun, dihadiri kerabat dan pakaian kesukaan selagi hidup, sarung, berikut peralatan pertanian yang dipakai si mati saat hidup (Parang, pisau, pacul, dan lain-lain) disiapkan untuk ikut dimakamkan. Penguburan dilakukan oleh kelarga umbun dihadiri semua bubuhan. Pemakaman dipimpin oleh Balian.

  1. Salamatan Babarasih

sesudah pemakaman Balian memimpin upacara Babarasih, tujuannya agar yang ditinggalkan si mati jangan kena Pidara, kena mangsa roh pengganggu. Dalam acara babarasih tersebut semua pelayat mandi bersih, berikut peralatan yang dipakai saat pemakaman. Balian dengan Mamang dan mantra melakukan penolakan Bala.

  1. Upacara Aruah Mamitung Hari

selamatan arwah hari ke tujuh dilakukan di rumah atau umbun keluarga kematian dipimpin oleh Balian pada siang hari, dihadiri bubuhan terdekat dilakukanlah puja-puji Ilah dan do’a-do’a keselamatan si mati.

  1. Upacara Manyalawi Hari; aruh yang dilakukan di rumah atau umbun keluarga yang meninggal dilakukan setelah dua puluh lima hari penguburan si mati. Tetap dipimpin oleh Balian berikut sesajen yang disediakan melakukan puja-puji dan do’a-do’a untuk meninggal, maupun yang masih hidup, agar semuanya selamat.
  2. Upacara manyaratus Hari; yakni aruh ke seratus hari masa penguburan si mati, dipimpin oleh Balian berikut kerabat dan bubuhan yang diundang, dilakukanlah upacara manyaratus tetap di rumah atau bilik umbun. Biasanya Manyaratus sama saja sederhananya dengan aruh Mamitung Hari, maupun Manyalawi.
  3. Upacara Manimbuk atau Mambatur; biasanya dilakukan genap satu tahun meninggalnya keluarga tersebut. Upacara ini agak besar, bias dihimpun beberapa umbun yang ingin Membatur, di samping sesajen yang bersyarat, juga bias dilakukan penyembelihan babi atau kerbau. Manimbuk atau membatur adalah memperbaiki kuburan, pemasangan tiang ulin di atas kuburan. Upacara Mambatur ini dihadiri oleh undangan (Pahundangan) hampir semua Balai tetangga, bahkan setiap bubuhan diundang, apalagi kalau upacara dipimpin seorang guru gaya berikut Balian Tuha upacara semakin sakral.
  4. Upacara Lainnya
  5. Upacara Mahanyari Balai

kalau orang Bukit akan membangun Balai, berikut menempatinya dilakukanlah upacara (1) Mandirikan Balai Hanyar dan (2) Mahanyari Balai, maka Balian ataupun Guru Jaya memimpin secara sacral kedua acara tersebut, karena membangun Balai berikut bilik umbun adalah menentukan kehidupan manusia dan kelestariannya. Mulai pemilihan lokasi, keadaan tumbuhan, sumber air, pepohonan sebagai kayu bahan bangunan dipilih dengan cermat, berikut bentuk bangunannya.
Upacara Mahanyari Balai dilakukan penuh suka-cita oleh segenap warga, mengingat disanalah mereka tinggal dan secara turun temurun mempertahankan adat-istiadat.

  1. Upacara Aruh Balakang Tahun,

biasanya digabung setelah upacara Bawanang atau disebut Aruh Ganal (Selamatan Akbar), biasanya memakan waktu 10-15 hari/malam, bias digabung dengan Upacara mahanyari Balai atau saat upacara perkawinan yang waktunya bertepatan atau bersamaan. Dengan pimpinan Guru Jaya atau Balian Tuha dilakukanlah Sumbahyang Tandik kepada Ilah tertentu. Berikut sesajen yang disediakan menentukan tantangan dan harapan hasil pertanian mereka di tahun mendatang.

  1. Upacara Bahayaga,

upacara kecil yang ditujukan untuk pengobatan terhadap orang yang sakit dan diusahakan kesembuhan melalui permohonan Balian atau Guru Jaya kepada Maha Kuwasa dan Ilah tertentu, berikut pengganggu atau pemberi penyakit segera mengembalikan atau mengusir penyakit dari si sakit. Dengan posisi dibaringkan si sakit (laki-laki-wanita) di hadapan kerabat dan handai tulan Balian melakukan tandik, membacakan.

  • Aplikasi konsep ritual dengan religi yang dianut masyarakat bukit

Keyakinan religi orang bukit merupakan sebuah keyakinan yang berasal dari konsepsi mereka tentang Tuhan, manusia dan alam. Konsepsi tentang kekuatan gaib itu berada di dalam konsepsinya mengenai Tuhan, hyang kuasa, roh alam dan roh datu nini, serta malaikat dan nabi. Konsepsi mengenai manusia berasal dari asal usul manusia dan konsepsi tentang alam tersirat dari konsepsi tentang asal-usul padi. Begitu pentingnya padi sebagai bahan makanan maka ”kesakralan” padi itu begitu diyakini. Padi, katanya, lazim untuk seluruh upacara religi diantara mereka, misalnya tiada upacara tanpa mempersembahkan lemang ketan.

Struktur upacara religi mengandung fungsi educatif yaitu sebagai proses transformasi nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi muda. Upacara religi merupakan wadah orang-orang untuk belajar menjadi balian (pemimpin upacara, dukun) dan menguasai mantra dan meningkatkan ketrampilan membuat peralatan serta sesajen. Upacara ini mengandung makna simbolis, yaitu kebenaran tentang alam semesta, tentang diri, dan nasib manusia serta tentang sumber daya kehidupan pokok yaitu padi. Manifestasi dari ketiga hal itu adalah upacara religi bercorak adat komunitas, upacara lingkungan hidup, dan upacara bercocok tanam. Upacara-upacara ini terkait dengan hubungan antara manusia, alam dan ilahi. Di dalam sistem keyakinan mereka, balian juga memiliki gradasi dengan persyaratan dan fungsi yang berbeda-beda, balian muda, balian tengah, balian tuha, dan guru jaya. Mereka memiliki otoritas atau kewenangan untuk melakukan upacara yang terkait dengan kehidupan orang bukit.

Religi di dalam kehudupan orang bukit tidaklah berdiri sendiri, tidak hanya terkait dengan persoalan-persoalan sakral, adikodrati, dan ilahiah yaitu suatu yang terjadi sesudah kehidupan (kematian) dan sebagainya, namun terkait dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Misalnya, daur hidup, ekonomi dan kemasyarakatan. Dalam kehidupan sosial, religi memberikan batas identitas bagi warganya sehingga orang yang berpindah ke agama Islam maka tidak lagi dianggap sebagai orang Bukit, tetapi dianggap sebagai orang dagang. Religi memberikan makna eksistensi sosial bagi manusia. Dalam bidang ekonomi, religi juga mendasari keyakinan mereka bahwa berladang adalah lebih utama. Dasar keyakinan ini dibentuk melalui berbagai upacara ilahi, roh dan hyang kuasa yang berawal dari suwara dan datu ti hawa.

Dengan demikian religi tidak hanya berurusan dengan hal-hala sakral saja tetapi juga terkait secara sistematik dengan masalah keduniawian seperti persoalan kemasyarakatan dan ekonomi.

  • Tanggapan

Menurut kelompok kami, masyarakat bukit adalah salah satu masyarakat yang bertumpu dan mengargai benar alam semesta terlihat dari kegiatan upacara/ritual adat yang sangat mengandalkan padi yang merupakan hasil dari alam. Selain itu manifestasi dari ketiga hal itu adalah upacara religi bercorak adat komunitas, upacara lingkungan hidup, dan upacara bercocok tanam. Dengan adanya kepercayaan terhadap lingkungan itu, terlihat dari adanya upacara bercocok tanam, tentang lingkungan hidup, sebagian besar kehidupan mereka bertumpu pada alam. Selain itu dari apa yang telah dipaaparkan mengenai masyarakat bukit serta bagaimana religi dan ritual yang biasa dilakukan menunjukan bahwa terdapat keterkaitan antara keyakinan masyarakat akan ilah dengan ritual yang biasa dilakukan yang mana ritual-ritual yang dilakasanakan sendiri bersifat sakral.

PENUTUP

Kesimpulan
      Orang Bukit merupakan sebuah kelompok masyarakat yang bersahaja tinggal dan menempati wilayah kaki dan lereng pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan ternyata memiliki budaya tersendiri, religi Balian dan daerah kebudayaan. Orang Bukit diguga berasal dari penduduk dataran rendah alur sungai-sungai bagian hilir dari Sungai Tabalong, Balangan hingga sungai Martapura yang bermuara ke sungai Barito telah dilakukan perpindahan ke daerah pedalaman guna mempertahankan mata pencaharian berikut keyakinan dan kepercayaan Balian.

Dalam kehidupan keseharian orang Bukit tidak bias dipisahkan dari pola mata pencaharian masyarakat berladang-pertanian di lereng-lereng bukit (Pegunungan), mereka akrab dengan alam, sehingga religi Balian cocok dengan penghormatan secara radikal terhadap alam (hewan dan tumbuhan) berikut “Padi”, sehingga religius orang Bukit identik dengan religi “Huma”.

Sepanjang kehidupan orang Bukit mulai dari masa kehamilan, melahirkan, dewasa, perkawinan, hingga masa kematian selalu dilingkupi dengan upacara-upacara ritual-serimonial religius. Upacara-upacara tertinggi bagi orang Bukit adalah terkait dengan Pertanian “Padi”. Peran Guru Jaya, Balian (Tuha, Tangan dan Anum), kepala adat, Panganan dan Pangiwa, serta konsep Bubuhan dalam kekerabatan membantu kelestarian budaya tradisional.

Dari semua rangkain upacara kehidupan orang Bukit yang merupakan Daur Hidup berakar dari kepercayaan dan keyakinan terhadap religi Balian yang tidak bias dipisahkan dari Tokoh Balian, pendukungnya dan keinginan hidup abadi yang menyatu dengan Ilah tertinggi di alam atas. Untuk itu orang Bukit perlu menjaga pantangan (Pamali) dan aturan di bumi bagi manusia dalam rangka Kelestarian Budaya dan Kehormatan Adat-Istiadat, baik budaya pedalaman upacara ritual “Daur Hidup” diyakini menentukan kesejahteraan di dunia dan kehidupan kelak sesudah kematian.

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

2 Comments »

 
 

Leave a Reply

XHTML: You can use these tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

 
Skip to toolbar