Budaya Jawa dikenal sebagai budaya yang halus, masyarakat jawa memegang prinsip nilai hormat, rukun, dan isin dalam kehidupan sehari-hari, dalam terminologinya Clifford Geertz kondisi ini disebut sebagai Model of Reality yaitu merupakan pola yang benar-benar hadir dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya yang halus ini tak lepas dari pengaruh keraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai tonggak atau acuan kebudayaan Jawa, citra masyarakat jawa yang perilaku dan budi bahasanya halus sering digambarkan dengan lemah gemulainya “Putri Solo”, serta tari-tarian Jawa seperti tari Gambyong, tari Srimpi, dan Bedhoyo yang bersumber dari keraton merupakan konstruksi bahwa budaya jawa itu halus dan penuh tata karma. Perilaku kekerasan dianggap bertentangan dengan nilai dan etika Jawa. Kekerasan bias saja dilakukan dengan maksud membela atau memiliki jiwa ksatria yang tangguh.

Manusia dapat memiliki watak halus harus melalui usaha yang sungguh-sungguh, sedangkan untuk memiliki watak kasar tidak perlu usaha serius untuk memilikinya karena kasar adalah watak dasar manusia. Watak halus memiliki derajat yang lebih tinggi dari watak kasar, watak halus identik dengan satria, bangsawan, dan priyayi sedangkan watak kasar identik dengan wong cilik, anak muda, dan orang asing. Ketika masyarakat atau orang Jawa berperilaku kasar maka orang tersebut dianggap “Durung Njawani” alias belum menjadi Jawa.

Budaya kasar dan kekerasan ketika diterapkan di sembarang tempat memang menjadi sesuatu yang tidak etis, tidak pantas dilihat. Namun ketika perilaku kasar dan kekerasan diterapkan pada saat yang dibutuhkan seperti untuk perlindungan diri dari bahaya maka bisa jadi dianggap wajar.

Perilaku masyarakat memang sepatutnya sesuai dengan etika dan nilai yang berkembang di tempat mereka tinggal. Namun pada konteks tertentu etika dan nilai tersebut dapat berubah. Penerapan etika dan nilai dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadikan kehidupan lebih harmonis.