Hello semuanya…

Pada kali ini saya akan memaparkan sebuah materi tentang Otoetnografi yang diajarkan pada mata kuliah Etnografi di semetrer tiga..

Postingan ini diharapkan memudahkan pembaca dalam memahami pengertian tentang otoetnogafi..

Selamat membaca, semoga ilmunya bermanfaat…

 

            Otoetnografi adalah cara menggunakan pengalaman pribadi peneliti sebagai kasus yang dipelajari. Salah satu persoalan penting yang melandasi keinginan untuk mengangkat otoetnografi adalah isu representasi etnografi dan otoritas etnografi. Secara metodologis Beattie mengatakan bahwa antropologi harus memiliki “a fairly coprehensive idea of the things he wants to find out and how he should go about doing so” (1964: 81)

Kajian masyarakat lebih kompleks dianggap bukan bidang antropologi dan antropologi tidak memiliki kualifikasi untuk menelitinya (Beattie 1964: 80). Jelas pada suatu masa antropologi merupakan peradaban dari masyarakat Eropa. Ketika ilmu ini berkembang, semakin banyak orang tertarik dan belajar antropologi, termasuk the primitive dan the pre-literate society yang sesudah perang dunia II terwadai dalam negara mereka. Peneliti menganggap otoetnografi dapat menjadi pilihan bagi peneliti etnografi dalam ham mengatasi persoalan representasi dan otoritas menyampaikan kabar budaya.

Sebagai ilmu yang memberikan apresiasi sangat tinggi pada pendekatan kualitatif, antropologi menempatkan studi kasus pada posisi sentral. Namun karena demikian eratnya kaitan ini, banyak peneliti antropologi yang tidak lagi menghiraukan sebenarnya studi kasus itu, seolah kajian antropologi semara mata sebuah studi kasus. Berbagai metode dan teknik untuk menyajikan etnografi terus berkembang. Walau nyaris semua karya antropologi, baik etnografi maupun esai, menyajikan kasus sebagai unsur utama, namun cara memperlakukan kasus tersebut berbeda.

Terkait dengan representasi sebuah kasus, setiap ilmuwan selalu mempunyai argumen tentang keberadaan onbjek yang ditelitinya, baik ahli ilmuan alam maupun sosial. Namun, kini kita semakin sadar bahwa keberadaan dalam ilmu-ilmu sosial hanya kebenaran sebagian saja. James Clifford mengawali bukunya cakrawala ini dengan artikel mengenai kebenaran dalam etnografi yang sifatnya parsial, tidak mengklaim bahwa etnografi yang ditulis merupakan karya yang valid, objektif dan universal. Sebaliknya, tnografer harus mempelajari subjektifitasnya karena kebenaran yang ditangkapnya di lapangan merupakan kebenaran reflektif, didalamnya tercampuraduk pendapat peneliti dan informasi yang diperoleh.

Ketika berargumen bahwa etnografi harus mampu mempresentasikan budaya yang diteliti. Tedlock menyatakan bahwa peneliti harus mengalami sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya, pengalaman sendiri itulah yang menjadi dasar peneliti untuk bercerita dalam etnografinya. Dengan demikian etnografi yang berisi kasus menjadi sebuah personal narrative yang memasukan unsur-unsur subyektivitas peneliti ketika mempelajari suatu kebudayaan.

Otoetnografi merupakan usaha mengkaji kasus yang sangan personal. Kecenderungan “personal” disini sebagai kajian inimate atau kajian mengenai hal yang terjadi pada peneliti sendiri. Hal ini berarti otoetnografi akan mengkaji pengalaman dari seseorang yang dianalisis secara luas dengan kaitanya dengan pergaulan orang lain, lingkungan dan kebudayaan. Bisa juga berarti mengkaji pengalaman peneliti dalam kehidupan sosialnya yang mengalami berbagai hal, bagaimana mengatasinya, dan bagaimana pengaruh luar memengaruhinya.

Otoetnografi memungkinkan penulis melihat suatu peristiwa dalam lintasan tempat dan ide yang dialami dalam perjalanan hidup yang cukup panjang. Ide mengenai etnografi yang multisited meskipun berupa recalling kenangan yang dialami di berbagai tempat sedikit banyak menjadi mungkin. Dengan interpretasi seorang ahli, otobiografi dapat ditransfer menjadi otoetnografi melalui transformasi pengalaman individual ke kultural.

Aku adalah Perempun Pesantren: Sebuah Etnografi Biografi

            Tulisan ini merupakan tulisan yang didasarkan atas refleksi pengalam hidup seorang perempuan yang tumbuh dalam budaya pesantren. Perempuan ini menjadi Ning, ning merupakan seseorang perempuan penjaga moral agama, perilaku ning harus sejalan dengan nilai dan norma agama. Ia menjadi ning dan berusaha berpelilaku seperti ning pada kebanyakan. Barangkali telah melakukan imitative leaning  (Tomasello 1999), meskipun kadangkala tidak sejalan dengan pikiran perempuan tersebut dan ia melakukan hal yan berbeda. Namun seketika juga ketika perbuatanya dianggap tidak sesuai, maka sistem kontrol (the control mecanism) kebudayaan akan segera berfungsi. Ia lulus dari SMU lalu melanjutkan di bangku perkuliahan tepatnya di Jakarta. Ia berpindah dari suasana pesantren ke suasana yang disebut asrama, ia merasa bebas dari duia pesantren yang memiliki berbagai aturan yang cukup ketat. Di keluarganya, ada pandangan yang cukup negatif pada dunia kampus. Perempuan tidak dibenarkan masuk kedalam dunia kampus. Tampaknya pembedaan akses pendidikan untuk laki-laki dan perempuan di keluarga ini ada hubunganya dengan konsep pembagian peran laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik yang mungkin telah berlaku dari dulu. Harapan budaya pesantren dengan peran perempuan ini terwujud karena kehidupan keseharian dimana perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah karena aktivitas pekerjaan atau kegiatan lain akan dinilai tidak baik dibanding perempuan  yang menghabiskan waktunya dirumah. Sementara bagi laki-laki diharapkan menjadi seorang pemimpin harus tegas, berani dan bisa membaca kitab kuning. Laki-laki ideal harus menjadi imam yang menjadi rujukan atas pemahaman agama yang diandalkan. Konsep manusia sempurna adalah yang bermanfaat bagi sesama ini dukutib dari sebuah hadis Rasulullah. Dari konsep ini, ia menjadi sering berefleksi pada kehidupan perepuan yang sehari-hari dirumah, membunuh waktu dirumah, menemani dan melayani makan suami, menemui tamu dan wali santri yang bertamu, menemani anak belajar, menontontv, dan membincangkan pakaian, perhiasan, atau acara sinetron. Akan tetapi keluarganya sudah mulai sadar bahwa anak perempuan yang kuliah tidak sepenuhnya salah, keberadaanya memberi warna dan nilai yang ada di komplek pesantren. Sharing prngetahuan dapat terus terjadi dan tidak dapat dihindarkan, dengan begitu berubahlah cara pandang yang ada. Keluarga yang dulunya menolak jik perempuan berkuliah, sekarang mendorong anaknya yang telah menikah untuk menempuh pendidikan S1 di bangku kuliah. Ia menikah sebelum wisuda, ia memperlakukan suami berdasarkan ajaran dari keluarganya yaitu patuh, tidak membantah, bergantung pada suami dan semua keputusan ada di tangan suami. Kemudian ia mengetahui soal gender, feminisme, dan cara membaca kebudayaan melalui kajian antropologi. Ia menyadari bahwa diskriminasi berpotensi muncul jika budaya melakukan perbedaan-perbedaan dan ia berfikir harus merubahnya jika tetap tidak ingin berada dalam budaya yang tidak berpihak kepada kaumnya, yaitu perempuan.