Hallo semuanya…

Kali ini saya akan memposting sebuah materi tentang Budaya Kekasan daman Perspektif Nikai-nilai dan Etika Masyarakat Jawa dimana materi ini dijelaskan pada mata kuliah Sosiologi Politik.

Materi ini menjelaskan tentang budaya kekrasan masyarakat jawa pada masa lampau atau pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa masih berdiri.

Untuk lebih jelasnya silahkan untuk membaca materi dibawah!

Selamat membaca, semoga ilmunya bermanfaat…

           

Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang identik dengan kebudayaan yang santun, klasik, dan adiluhung. Hal ini sering digambarkan pada tarian-tarian Jawa yang identik dengan lemah gemulaian tarian jawa bak putri Solo seperti tari gambyong, tari srimpi dan tari-tarian yang berasal dari Kraton jawa menggambarkan kebudayaan Jawa yang halus dan penuh tata krama. Namun pada masa lalu etnik jawa merupakan etnik yang keras dan penakluk tetapi karena pergeseran budaya menjadikan kebudayaan Jawa menjadi kebudayaan yang halus dan penuh sopan santun.

            Pada masa kerajaan Jawa, kekerasan dan peperangan sudah mulai terlihat saat hadirnya kapitalisme asing VOC ke dalam kerajaan Mataram pada saat peralihan sunan amangkurat I kepada Sunan Amangkurat II dengan membantu Mataram mengusir pemberontakan pasukan Trunojoyo. Konflik lainya yang tidak lepas dari pengaruh kolonial Belanda yaitu saat Perjanjian Giyanti yang membelah kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Masuknya kekuasaan kolonial Hindia mengakibatkan rusaknya sistem kekuasaan Mataram. Setelah Perjanjian Giyanti. Kekerasan juga terjadi pada perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1825 M.

            Kekerasan pada masa reformasi 1998 sangat membuat resah warga Yogyakarta. Amok massa dengan melakukan pembakaran dan pembunuhan terjadi di Jakarta, Surakarta dan kota-kota lain membuat khawatir warga Yogyakarta. Hal tersebut membuat para aktivis reformasi di Yogyakarta menyiasati agar gerakan massa 20 Mei 1998 berjalan secara damai. Pihak keraton menamai gerakan masa ini adalah pisowanan ageng. Pada pisowan ageng masyarakat berbondong-bondong menghadap sultan untuk mendukung reformasi dan hal ini merupakan simbol perlawanan untuk menjatuhkan Soeharto. Gerakan ini tidak sampai pada penggulingan, hanya saja masyarakat menuntut untuk menurutkan Soeharto.

            Budaya alus dan budaya kasar disimbolkan pada tari bambangan cakil yang diambil dari adegan Arjuna melawan Buto Cakil dimana Buto Cakil diidentikan dengan watak dan perilaku kasar dan Arjuna diidentikan dengan watak dan perilaku alus. Pertunjukan tari tersebut merupakan simbol kekerasan yang berujung pada pertarungan dua kutub kehidupan manusia yang tidak pernah akrab yaitu antara kutub alus dengan kutub kasar. Di Jawa, watak alus derajatnya lebih tinggi dari pada watak kasar. Watak alus identik dengan para bangsawan, ksatria dan priyayi, sementara watak kasar identik dengan wong cilik, anak muda dan wong sabrang (orang asing). Watak alus merupakan ciri khas dari orang jawa, jika seseorang masih menampilkan perilaku kasar maka akan mendapat cemoohan dengan kalimat “durung nJawani” atau “dudu wong jawa”. Untuk berkomunikasi atau memerintah orang lain maka seorang pemuda atau wong cilik menggunakan kekerasan dengan ungkapan dupak bujang, yang berarti harus memakai “tendangan kaki” maka komunikasi baru bisa berjalan. Kemudian yang lebih tinggi adalah perintah atau komunikasi yang dilakukan oleh seorang mantri atau priyayi menengah yaitu semu mantri, dimana ia harus nyemoni atau menyindir kepada orang lain maka komunikasi baru dapat berjalan. Kemudian yang paling tinggi merupakan komunikasi oleh seorang bupati yaitu esem bupati, priyayi tinggi yang posisinya dibawah raja, untuk berkomunikasi ia hanya perlu esem atau senyum, maka orang lain sudah mengetahui maksudnya.

            Jargon Jawa yang berbunyi “Suro dino jayaningrat, lembur dening pangastuti” dapat dipakai untuk melihat masa Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto yang penuh kekerasan dan anti demokrasi. Sebuah kekuasaan yang dianggap angkara murka tetapi akhirnya dapat dikalahkan dengan gerakan reformasi damai. Potensi bangkitnya nafsu amarah pada tanggal 20 Mei ini dapat diredam dengan model gunungan gerebeg di mana massa yang datang kepada sultan diberi kesempatan untuk menggerebeg makanan sebagai hadiah Sultan untuk dimakan bersama. Makan bersama ini dapat menghilangkan sekat-sekat perbedaan sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan sehingga pisowanan ageng tersebut berjalan damai.