Ardhi Prabowo
Catatan Kegiatan dan Aktifitas Saya di dunia pendidikan, kemahasiswaan, jurnal ilmiah, pelatihan, dan kegiatan profesional lainnya
Berhaji di Usia Muda
Categories: Ngaji

29-12-06_1110Tidak semua anak dilahirkan dari orang tua yang mampu. Tidak semua anak dilahirkan dari orang tua yang mampu mendidik anaknya. Bahkan tidak semua anak dididik dengan kasih sayang yang terbaik. Kasih sayang yang tidak memanjakan.

Tidak semua orang dilahirkan untuk bisa merasakan segala tingkat perekonomian. Miskin, menengah, dan berkecukupan. Tidak semua orang bisa mempertahankan diri untuk berada di level tinggi dikehidupannya.

Orangtua saya, Bapak saya, mungkin salah satu yang mengalami tiga masa tersebut dalam hidupnya. Dilahirkan dari petani miskin di comal, Bapak sudah harus bekerja memanggul beras di usia 8 tahun. 3 km setiap hari pulang pergi untuk membantu mbah yayi berjualan gabah di pasar. Makan harus berbagi dengan 6 saudaranya, bahkan sering Bapak itu mengalah dan tak makan demi adik-adiknya. Diusia SMA, bapak sudah dipaksa untuk mengemudikan truk untuk mengirim gabah. Dan kehidupan berlanjut hingga saya dilahirkan.

Apakah ketika saya lahir Bapak sudah kaya? Sama sekali belum. Bapak dan Mamah memang pegawai negeri. Namun apalah arti pegawai negeri di tahun 82an. Tidak ada artinya. Jarang ada mertua yang ingin mantu PNS saat itu. Saya kecil hidup dengan menumpang di rumah pakdhe di daerah pekalongan, hingga Bapak mampu kredit rumah. Namun, sejahtera masih belum menghampiri keluarga Bapak saat itu. Untuk sepatu sekolah, saya diminta Bapak agar selalu juara kelas dan rangking 1 agar dapat sepatu gratis dari pakdhe.

Namun, kami sangat bahagia, sungguh teramat sangat bahagia. Kami rajin sarapan dengan gudhegnya Mbah Kusen dan tempe goreng tepungnya yang hangat setiap pagi di meja makan. Seusai jamaah solat magrib, Kami juga senantiasa makan malam bersama dimeja makan. Saya tidak ingat apa makanan favorit kami saat itu. Bapak juga memperhatikan pendidikan agama untuk anaknya. Sekedar info, bahwa kami bukanlah keluarga dengan kultur agama yang kuat. Rumah kami jauh dari masjid, namun bukan berarti pendidikan agama menjadi tidak penting. Walaupun nyantri bukan budaya di keluarga Bapak, namun bapak tetap mengundang guru ngaji agar saya bisa membaca Alquran. Bapak sendiri, setahu saya, kemampuan membacanya tidak bagus. hanya sekedarnya saja.

Kehidupan kami mulai membaik ketika Bapak ditarik ke kantor Propinsi. Rumah kami pun hanya terpisah satu rumah dari mushola kampung. Di masa ini, kehidupan tingkat menengah kami dimulai. Namun, ketegasan Bapak di pendidikan agama tetaplah sama. Sebelum magrib datang, saya diharuskan sudah ada di mushola. Adzan, pujian, sholat dan ngaji dengan ustad kampung sampai selesai isya. Sekali waktu saya males ke mushola, tak terbayangkan betapa marahnya beliau. Televisi tidak pernah nyala di jam saat ngaji, antara magrib dan isya, walau saya tahu, saat itu Bapak belum fasih membaca Quran.

Alloh maha pemurah. Perlahan kehidupan kami membaik. Ekonomi membaik tidak membuat Bapak serta merta memberi kami banyak uang untuk dibelanjakan. Walaupun suatu kali, di rumah tiba-tiba ada suzuki katana 96, dan kata beliau karena Saya selalu berIP tinggi saat kuliah. Uang saku saya hanya 100ribu sebulan, itu sudah untuk bensin dan makan siang. Apa boleh buat, saya harus cari uang, dengan memberi les privat ke siswa. Saya ingat, pamit kepada Bapak untuk mencari uang, maksud saya, agar Bapak tidak malu, melihat anaknya mencari receh.

Melihat keseriusan saya, Bapak tak ragu untuk menitipkan sejumlah besar uang ke dalam rekening saya. Untuk sekolah, kata beliau. 2006, selepas sarjana, dan setahun menjadi CPNS, uang titipan sudah berkurang banyak. Ditambah dengan tabungan yang saya miliki, saat itu, angka 21jt sudah ada. Antara menikah atau haji, adalah pilihan yang tidak mudah. Saya putuskan haji dulu. Dengan pikiran bahwa kelak, jika sudah menikah, Alloh pasti akan mencukupkan saya dan istri untuk berhaji juga. Habislah isi rekening untuk kesetorkan sebagai ONH. Itu terjadi sekitar bulan Maret 2006. Alhamdulillah, nomor porsi saya saat itu masih cukup untuk berangkat tahun itu juga.

Tiba saat pelunasan. Saya membutuhkan 7,5jt untuk melunasi ONH saat itu. Jumlah yang tidak sedikit. Saya bingung darimana uang sebanyak itu. Dengan sedikit tabungan dan pinjaman dari Adik perempuan, akhirnya saya bisa melunasi ONH. Sampai tiba H-7 akan berangkat. Senin, seminggu sebelumnya, saya ‘sama sekali’ tidak memiliki uang untuk saku (kalau 500rb sih ada). Kembali Alloh maha pemurah, kamis, atau H-4 keberangkatan, hasil pekerjaan saya berbulan-bulan cair. Subhanalloh, harus semepet itu kesabaran kita kawan. Jangan pernah berputus asa. Akhirnya berangkatlah saya haji, ‘sendiri’ sebagai bujangan yang memiliki satu calon istri di semarang, sampai pulang.

Ada manfaat dari berhaji saat muda, antara lain:

  1. Akan meringankan tugas haji. Perlu diketahui bahwa haji adalah ibadah yang sangat membutuhkan fisik yang kuat. Thowaf, sai, perlu dilatih sebelum berangkat. Saya memperkirakan thowaf itu setara dengan berkeliling tujuh kali lapangan bola. Walau bisa juga agak mendekat ke Ka’bah, namun sungguh sesak. Sai, perkiraan saya sekitar 2,8 s.d. 3,5 km sekali sai. Luar biasa bukan.
  2. Dapat membantu jamaah lain yang sudah uzur. Kebetulan di regu saya ada pula eyang yang sudah uzur, beliau dihajikan oleh putra-putranya. Namun tidak ada putra yang ikut mendampingi beliau, mungkn biayanya baru cukup untuk beliau seorang. Nah, kehadiran orang muda dalam regu jelas sangat membantu. Orang muda akan bisa melindungi orang tua saat melakukan thowaf, begitu juga saat melempar jumrah.
  3. Membantu ketua regu. Jelaslah ini, tanpa perlu penjelasan.
  4. Bebas bergerak. Haji saat muda sangatlah menyenangkan. Kalian akan bisa berangkat tahajud dimalam hari sendiri, tanpa ada beban. Kalian bisa bertemu dengan para haji muda-haji muda lain di al-Haram, yang juga pemuda-pemuda sendirian. Berangkat dari penginapan pkul 1 dinihari, tahajud, sampai dengan subuh berkumandang. Indah sekali bukan….

Saya menyampaikan tulisan ini, semata adalah untuk menceritakan bagaimana Bapak telah mendoktrin saya menjadi saya yang sekarang. Alih-alih untuk menceritakan prosesi saya berhaji, namun lebih pada bagaimana saya dibentuk, dididik, hingga saya memiliki pemikiran yang demikian.

Selamat mendidik calon haji muda yang akan datang…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments are closed.