Ardhi Prabowo
Catatan Kegiatan dan Aktifitas Saya di dunia pendidikan, kemahasiswaan, jurnal ilmiah, pelatihan, dan kegiatan profesional lainnya
Mengapa perlu bermahzab
Categories: Ngaji

Perbincangan singkat fiksi inilah, barangkali, jalan Alloh membuka pikiran saya mengapa perlu belajar pada guru. Saya salinkan berikut ini:

Pemuda
Assalamu ‘alaikum, Kyai…

Pak Kyai
Waalaikum Salam… Silakan duduk anak muda, siapa namamu dan dari mana asalmu?

Pemuda
Terima kasih Pak Kyai. Nama saya Zakki dan saya berasal dari Kampung Seberang

Pak Kyai
Jauh kamu bertandang ke sini, sudah tentu kamu punya hajat yang sangat besar…
Apa hajatnya, barangkali, atas izin Alloh, saya bisa membantumu?

Pemuda tersebut diam sebentar, sambil menarik nafasnya dalam-dalam.

Pemuda
Begini Pak Kyai, saya datang ke sini bertujuan ingin berbicara beberapa permasalahan dengan Pak Kyai… Pendeknya, permasalahan umat Islam sekarang.

Pak Kyai
Permasalahan seperti apa itu anakku?

Pemuda
Saya ingin bertanya, mengapa Kyai-Kyai di kebanyakan pesantren & Majelis-majelis di Indonesia, dan Tuan-Tuan Guru di Malaysia serta Pattani dan Asia umumnya sering kali mengajar murid-murid mereka dengan lebih suka mengambil kalam-kalam atau pandangan para ulama?
Seringkali saya mendengar mereka akan menyebut; “Kata al-Imam al-Syafii, kata al-Imam Ibn Atho’illah al-Sakandari, Kata al-Imam Syaikhul Islam Zakaria al-Ansori dan lain-lain”

Mengapa tidak terus mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah? Bukankah lebih enak kalau kita mendengar seseorang tersebut menyebutkan Firman Allah taala di dalam al-Quran, Sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam di dalam hadis itu dan ini?”

Bukankah Ulama-ulama itu juga punya kesalahan dan kekurangan. Maka mereka juga tidak lari daripada melakukan kesilapan. Maka sebaiknya kita mengambil daripada kalam al-Ma’sum yaitu al-Quran dan al-Sunnah

(Pak Kyai mendengar segala hujjah yang disampaikan oleh pemuda tersebut dengan penuh perhatian. Sedikit pun beliau tidak memotong malah memberikan peluang bagi pemuda tersebut berbicara sepuas-puasnya. Sambil senyuman terukir di bibir Pak Kyai, beliau bertanya kepada pemuda tersebut)

Pak Kyai
Masih ada lagi apa yang ingin kamu persoalkan wahai nak Zakki?

Pemuda
Sementara ini, itu saja yang ingin saya sampaikan Pak Kyai!!

Pak Kyai
Sebelum berbicara lebih lanjut, eloknya kita minum dahulu ya. Tiga perkara yang sepatutnya disegerakan adalah hidangan kepada tetamu, wanita yang dilamar oleh orang yang baik maka disegerakan perkawinan mereka dan yang ketiga, si mati yang harus disegerakan urusan pengkebumiannya, betul kan nak Zakki?

Pemuda
Benar sekali Pak Kyai

(Pak Kiyai lalu memanggil isterinya bagi menyediakan minuman pada mereka berdua… Maka beberapa detik selepas itu, minuman pun sampai di hadapan mereka)

Pak Kyai
Silakan minum Nak…

(Setelah dipersilahkan oleh Pak Kyai, maka Zakki pun terus mengambil teko air lalu menuangkan perlahan-lahan ke dalam gelas yang tersedia)

Pak Kyai terus bertanya
Zakki, kenapa kamu tidak minum dari tekonya saja? Kenapa perlu dituang di dalam gelas?

Pemuda
Pak Kyai, mana bisa saya minum langsung dari tekonya, tekonya besar sekali…
Makanya saya tuang ke dalam gelas agar memudahkan saya meminumnya

Pak Kyai
Zakki, itulah jawaban terhadap apa yang kamu persoalkan tadi. Mengapa kita tidak mengambil langsung dari Al-Quran dan as-Sunnah. Terlalu besar untuk kami langsung minum daripada kedua-nya. Maka kami mengambil apa yang telah dijelaskan di dalam gelas para ulama. Maka ini memudahkan bagi kami untuk mengambil dan memanfaatkannya.

Benar kamu katakan bahwa mengapa tidak langsung saja mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah. Cuma persoalan ini, kembali ingin saya lontarkan kepada kamu. Adakah kamu ingin mengatakan bahwa al-Imam al-Syafii dan para ulama yang kamu sebutkan tadi mengambil hukum selain dari Al-Quran dan Sunnah? Apakah mereka mengambil daripada kitab Talmud atau Bible?

Pemuda
Sudah tentu mereka juga mengambil dari Al-Quran dan Sunnah

Pak Kyai
Kalau begitu, maka sumber pengambilan kita juga adalah Al-Quran dan Sunnah cuma dengan paham para ulama.

Satu lagi gambaran yang ingin saya terangkan kepada kamu. Saya dan kamu membaca Al-Quran, al-Imam al-Syafii juga membaca Al-Quran bukan?

Pemuda
Sudah tentu Pak Kyai

Pak Kyai
Baik, kalau kita membaca sudah tentu kita sedikit memahami ayat-ayat di dalam Al-Quran tersebut bukan? Al-Imam al-Syafii juga memahami ayat yang kita bacakan. Maka persoalannya, pemahaman siapa yang ingin didahulukan? Pemahaman saya dan kamu atau pemahaman al-Imam al-Syafii terhadap ayat tersebut?

Pemuda
Sudah tentu pemahaman al-Imam al-Syafii karena beliau lebih memahami dibanding orang zaman sekarang

Pak Kyai
Nah, sekarang saya rasa kamu sudah jelas bukan? Hakikatnya kita semua mengambil daripada sumber yang satu yaitu al-Quran dan Sunnah Tiada seorang pun yang mengambil selain dari keduanya. Cuma bedanya, kita mengambil dari pemahaman al-Quran dan Sunnah tersebut dari siapa?

Sudah tentu kita akan mengambil dari orang yang lebih faham (jago) ilmunya. Ini kerana mereka lebih wara’ dan berjaga-jaga ketika mengeluarkan ilmu

Kamu tahu Zakki, al-Imam al-Syafii pernah ditanya oleh seseorang ketika beliau sedang menaiki keledai, berapakah kaki keledai yang Imam tunggangi?

Maka al-Imam al-Syafii turun dari keledai tersebut dan menghitung kaki keledai tersebut. Selesai menghitung, barulah al-Imam menjawab: “Kaki keledai yang aku tunggangi ada empat”

Orang yang bertanya tersebut merasa heran lalu berkata
“Wahai Imam, bukankah kaki keledai itu memang empat, mengapa engkau tidak langsung menjawabnya?”

Al-Imam al-Syafii menjawab
“Aku bimbang, jika aku menjawabnya tanpa melihat terlebih dahulu, tiba-tiba Allah Ta’ala hilangkan salah satu kakinya maka aku sudah dikira tidak amanah di dalam memberikan jawaban”

Coba kamu perhatikan Zakki, betapa wara’nya al-Imam al-Syafii ketika menjawab persoalan berkaitan dunia. Apalagi kalau berkaitan dengan agamanya?

*Al-Imam Malik pernah didatangi oleh seorang pemuda di dalam majlis taklimnya di Madinah al-Munawwarah* Pemuda tersebut mengatakan bahwa dia datang dari negeri yang jauhnya 6 bulan perjalanan ke Madinah. Pemuda itu datang untuk bertanya satu masalah yang ada di lokasinya

Al-Imam Malik, mengatakan bahwa
“Maaf, aku tidak pandai untuk menyelesaikannya”

Pemuda tersebut heran dengan jawaban Imam Malik, dan dia bertanya:
“Bagaimana aku akan menjawab nanti bilamana ditanya oleh penduduk tempatku?”

Maka kata al-Imam Malik:
“Katakan kepada mereka bahwa Malik juga tidak mengetahui bagaimana untuk menyelesaikannya”

Allohu Akbar. Coba kamu lihat Zakki, betapa amanahnya mereka dengan ilmu. Berbeda dengan manusia zaman sekarang, yang baru seumuran jagung dalam ilmu, sudah menepuk dada mengaku bahwa seolah-olah mereka mengetahui segalanya

Pemuda
Masya Alloh, terima kasih Pak Kyai atas penjelasan yang sangat memuaskan. Saya memohon maaf atas kekasaran dan keterlanjuran bicara saya

Pak Kyai
Sama-sama Nak…Semoga kamu akan menjadi seorang yang akan membawa panji agama kelak dengan ajaran yang benar dari Guru² mu yg bersanad Insyaallah

Comments are closed.