Ngadas, Si Tengger di Kaki Bromo

images (1)
Tengger merupakan salah satu komunitas di Indonesia yang mendiami wilayah empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu : Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten  Malang dan Kabupaten Lumajang. Menurut mitos yang beredar, Nama Tengger sendiri konon berasal dari legenda yang terjadi di sana. Pada jaman dahulu ada pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger yang dianggap sebagai nenek moyang dan kemudian nama mereka disatukan menjadi TENGGER. Gunung Bromo pun tak luput dari mitos yang beredar di masyarakat. Setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumah tangga, mereka  belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian mereka memutuskan untuk naik ke puncak gunung Bromo guna bersemedi. Mereka mendapat petunjuk bahwa doanya untuk memiliki anak akan terkabul namun dengan syarat. Syarat tersebut yaitu bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Tanpa berfikir panjang, pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya.

Setelah bertahun-tahun menunggu akhirnya mereka mendapat putra putri yang semuanya berjumlah 25. Tiba waktunya untuk Roro Anteng dan Joko Seger menapati janjinya. Namun, naluri orang tua pasti tidak tega bila harus kehilangan anaknya. Sang Dewa marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah keadaan dimana suasana menjadi gelap gulita bersamaan kawah Gunung Bromo yang menyemburkan api. Akhirnya anak bungsunya yang bernama Raden Kusuma  lenyap terjilat api dan masuk ke kawah Bromo. Pada saat itu pula ada bisikan setiap bulan Kasada pada hari ke-14, masyarakat Tengger harus mengadakan sesaji kepada Dewa di kawah Gunung Bromo.Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo. Suku Tengger bukan masyarakat pelarian Kerajaan Majapahit. Mereka sudah ada sebelum warga dari kerajaan majapahit berpindah ke kaki gunung Bromo.

Indentifikasi

Ngadas adalah sebuah Desa di Kaki Gunung Bromo yang berada tepat di Jalan Raya Bromo. Desa yang terletak di Kecamatan Sukapura,  Kabupaten Probolinggo ini memiliki warga yang sangat terbuda dan well-comeI terhadap wisatawan yang tengah berkunjung ke daerah wisata Gunung Bromo dan singgah di Desa Ngadas. Jumlah penduduk yang ada di desa ini berkisar 682 jiwa dengan rincian 335 orang berjenis kelamin laki-laki dan 347 nerjenis kelamin perempuan. Warga Bapak Sumartono (Kepala Desa Ngadas) ini berpenghasilan rata-rata Dua Juta per bulan yang sebagian besar dari sektor pertanian, selebihnya dari sektor pariwisata dan berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil maupun Swasta. Dari data yang terdapat di kelurahan, ada tiga warga Bapak Sumartono yang berpendidikan Strata 1 (S1), 62 orang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), 120 orang menamatkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sisanya ada yang tidak bersekolah atau lulus di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Warga Desa Ngadas dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Tidak terbatas laki-laki, namun wanitapun juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua menggunakan kain sarung di salah satu bagian tubuhnya. Sarung tersebut ada yang diletakkan di atas kepala, dililitkan sebagian kainnya di leher maupun hanya sembari di sampirkan di atas bahu. Kain sarung tersebut digunakan untuk menghangatkan tubuh mengingat di Desa Ngadas berhawa dingin.

Harmoni Agama Suku Tengger di Desa Ngadas

Masyarakat Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan tradisional. Warga Deasa Ngadas sebanyak 99% adalah beragama Hindu dan sebanyak 1 % beragama islam. Agama di Suku Tengger khususnya Desa Ngadas bukan Hindu Tengger seperti yang telah di kenal banyak kalangan dan sering diidentikkan dengan Hindu Bali. Hindu yang mereka anut adalah Hindu Darma. Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara lain, Hindu di Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali. Kemudian Hindu yang juga di anut oleh masyarakat Desa Ngadas tidak mengenal Kasta seperti Hindu yang di anut oleh masyarakat Bali.

Masyarakat Ngadas sangat taat dengan aturan agama Hindu. Gunung Bromo dipercayai sebagai gunung suci yang digunakan untuk  mengadakan berbagai macam upacara-upacara yang dipimpin oleh seorang dukun yang sangat dihormati dan disegani. Masyarakat Tengger lebih memilih tidak mempunyai kepala pemerintahan desa dari pada tidak memiliki pemimpin ritual. Namun, Suku Tengger di Desa Ngadas tetap dipimpin oleh seorang Kepala Desa atau petinggi yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun Pandita diposisikan sebagai pemimpin Ritual / Upacara Adat. Proses pemilihan seorang kepala desa ,dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat. Sedang untuk pemilihan Dukun Pandita dilakukan melalui beberapa tahapan tahapan yang diakhiri melalui ujian Mulunen ( ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa ) yang waktunya bertepatan dengan  waktu Upacara Kasada di Poten Gunung Bromo. Para dukun pandita tidak bisa dijabat sembarang orang, banyak persyaratan yang dipenuhi perantara doa-doa mereka. Keputusan untuk melantik seorang Dukun Pandita juga bukan berasal dari keturunan melainkan melalui syarat-syarat yang telah ditentukan tersebut.

Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan masyarakat Tengger diantaranya:

  1. Yahya kasada, Upacara ini dilakukan pada 14 bulan kasada di Pura Poten
  2. Upacara Karo, Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah upacara karo atau hari raya karo.
  3. Upacara Kapat, jatuh pada bulan ke empat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan
  4. Upacara kawalu, jatuh pada bulan kedelapan, masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk kesehatan lingkungan
  5. Upacara kasanga, jatuh pada bulan kesembilan. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor tujuannya adalah memohon keselamatan.
  6. Upacara kasada, jatuh pada saat bulan Purnama (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut sebagai upacara kurban.
  7. Upacara Unan-Unan, diadakan lima tahun sekali dengan tujuan mengadakan pengormatan terhadap roh leluhur.

Desa Ngadas sebagai desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu memiliki rasa persaudaraan yang kuat antar umat beragama. Ada sebagian warga  Bapak Sumartono yang memeluk agama islam meskipun hanya berkisar 1 %. Ketika menginjakan kaki di desa ini, pikiran mengenai masyrakat ngadas yang masih tradisonal hilang seketika dengan pemandangan rumah-rumah permanen yang berdiri tegak di perkampungan. Meskipun terdapat dua agama dalam desa ini, mereka tidak pernah menemukan konflik yang cukup mengganggu diantara warga Desa Ngadas. Mereka hidup rukun dan sering bantu membantu dalam berbagai kesempatan. Bahkan saat Umat Hindu Desa Ngadas sedang merayakan Hari Rayanya, umat Islam berkunjung ke kediaman warga yang memeluk agama Hindu. Dan  begitu sebaliknya ketika umat islam merayakan Hari Raya Idul Fitri, umat Hindu di Desa Ngadas berkunjung ke kediaman umat Islam. Menurut salah satu warga di Desa Ngadas, Suku Tengger yang beragama Hindu dan Islam sudah ada sejak zaman Jepang dan tidak pernah berkonflik.

Keharmonisan masyarakat Desa Ngadas terlihat pula dari para petinggi desa maupun dari Dukun Pandita. Kepala Desa di desa ini adalah Bapak Sumartono dan Bapak Sasmita bertindak sebagai Dukun Pandita. Meskipun mereka beragama Hindu, tetapi mereka selalu mengucapkan Hon Hulung Basuki Langgeng atau Om Swastyastu (dari nenek moyang) yang kemudian diikuti ucapan Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh ketika sedang membuka acara. Makna dari kedua kalimat tersebut adalah semoga keselamatan,rahmat dan barokah selalu di limpahkan Tuhan untukmu. Hal tersebut  jelas mengindikasikan bahwa mereka menghormati agama lain.

Sikap toleransi juga ditunjukan dalam hal perkawinan. Sistem perkawinan pada masyarakat Ngadas bersifat eksogami dan heterogami, yang berarti tidak adanya larangan untuk menikah dengan anggota masyarakat pada lapisan sosial yang berbeda atau anggota masyarakat luar suku Tengger dan berbeda agama. Akan tetapi perempuan Ngadas yang memilih menikah dengan laki-laki dari daerah lain atau dari luar masyarakat Tengger, dalam pelaksanaan prosesi pernikahanya diharuskan untuk menggunakan adat Tengger dan tetap berada di daerah Tengger lebih khususnya di daerah Ngadas. Apabila perempuan tersebut lebih memilih untuk bertempat tinggal di daerah pasanganya, maka perempuan tersebut dianggap telah keluar dari keanggotaan masyarakat Tengger di Desa Ngadas. Selain upaya masyarakat untuk mempertahankan wanita agar tetap berada di dalam lingkungan masyarakat desa Ngadas, cara ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap perempuan. Tidak ada larangan untuk berpindah agama ketika mereka menikah beda agama. Keluarganya pun tidak pernah mempermasalahkan jika putra ataupun putrinya berpindah agama. Agama adalah keyakinan sedangkan posisinya di Desa Ngadas dijalani menurut adat istiadat Desa Ngadas.

Sikap gotong royong biasa ditunjukan ketika mereka mendirikan bangunan umum dan rumah pribadi salah seorang warga. Mereka tetap menjunjung sifat persatuan dalam melakukan berbagai hal. Tidak pernah memandang antar pemeluk agama Hindu ataupun Islam. Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).

Hubungan yang harmonis tidak hanya terjadi antar orang dewasa. Hubungan antar anak-anak di desa Ngadas pun tak luput dari keharmonisan. mereka tetap berinteraksi dengan wajar tanpa menaruh rasa sentimen terhadap kawannya yang berbeda agama. Namun, biasanya interaksi mereka hanya terjadi di sekolah. Karena di desa Ngadas tidak ada institusi pendidikan tingkat dasar, maka anak-anak di desa Ngadas bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Wonokerto. Di SDN tersebut, para pengajar mayoritas beragama Islam. Orang tua murid dari mereka yang beragama Hindu dan mayoritas berasal dari Ngadas pun tak  mempermasalahkan jika anak-anak mereka di ampu oleh Muslim. Bagi mereka, agama adalah keyakinan dan yang mereka jalani di desa Ngadas tetap berdasarkan adat suku Tenggger.

Bisnis maupun usaha yang mereka lakukan tidak memandang agama.Salah satu keluarga Islam yaitu keluarga Bapak Heri yang mendiami Desa Ngadas ternyata memberikan banyak pengaruh dalam hal perekonomian. Pemilik usaha SUMBER MAKMUR yang bergerak dalam penyewaan hartop memiliki tiga puluh hartop. Keluarga tersebut memberikan lapangan pekerjaan untuk  pemuda Desa Ngadas yang menganggur dengan menitipkan hartopnya untuk dikendarai. Walaupun pekerjanya banyak yang beragama Hindu, mereka tetap menghormati hak masing-masing.

Lain-Lain dari Desa Ngadas

          Suku Tengger Desa Ngadas berbahasa Jawa Tengger, agak berbeda dengan bahasa Jawa umumnya di Jawa Timur. Mereka mengenal semedi, puasa ngebleng (tidak makan tidak minum sama sekali), puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih saja), yang biasa dilakukan oleh orang Jawa pada masa lalu. Berikut adalah beberapa contoh bahasa yang digunakan oleh masyarakat Ngadas: ‘aku’ untuk laki-laki disebut reang, ‘aku’ untuk perempuan disebut isun, ‘kamu’ yang ditujukan untuk orang yang seumuran disebut sira, ‘kamu’ yang ditujukan kepada orang yang lebih tua serta dihormati adalah rika, dan “kakek” disebut wek .

Selain itu, nama nama hari suku tengger yaitu:

  1. Dhite : Minggu
  2. Shoma : Senin
  3. Anggara : Selasa
  4. Budha : Rabu
  5. Respati : Kamis
  6. Sukra : Jumat
  7. Tumpek : Sabtu

Nama-nama bulan suku tengger:

a.       Kartika : Kasa

b.      Pusa : Karo

c.       Manggastri : Katiga

d.      Sitra : Kapat

e.       Manggakala : Kalima

f.        Naya : Kanem

g.       Palguno : Kapitu

h.       Wisaka : Kawolu

i.         Jito : Kasanga

j.        Serawana : Kasepoloh

k.      Pandrawana : Destha

l.         Asuji : Kasada.

Desa Ngadas berdiri diatas rasa toleransi yang tinggi antar umat beragama. Adat Istiadat Tengger sangat dijunjung untuk  kelangsungan hidup dengan menjunjung persatuan. Demikian lah beberapa informasi yang dapat saya sampaikan mengenai suku Tengger Desa Ngadas di kaki Gunung Bromo. Saya berharap agar pembaca lebih banyak memahami tentang harmoni yang tercipta Desa Ngadas, Suku Tengger di Gunung Bromo.

1 comment

  1. Kajiannya keren ka, struktur dan bahasanya sudah bagus. Lanjutkan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: