Register / Log in
28
November

Kemanakah pengujian TAP MPR/S ?

Written by AYON DINIYANTO. rev="post-24" No comments Posted in: Uncategorized

TAP MPR/S merupakan ketetapan yang dibuat oleh MPR/S yang harus dilaksanakan oleh pejabat atau mandataris MPR/S. UUD 1945 tidak lagi memberikan kewenangan kepada MPR untuk membuat, membahas, menghapus, menguji, dan melaksanakan TAP MPR/S. Namun ada beberapa TAP MPR/S yang masih berlaku (aktif) dan menimbulkan pertanyaan harus dikemanakan TAP MPR/S yang masih berlaku (aktif) tersebut? Apakah TAP MPR/S harus dibahas? Apakah TAP MPR/S dihapus? Apakah dilakukan pengujian terhadap TAP MPR/S oleh lembaga yang berwenang? dan Apakah justru TAP MPR/S untuk dilaksanakan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu harus dijawab secara ilmiah dan rasional dengan keahlian yang tepat. Walaupun pertanyaan tersebut dapat saja dijawab dengan mudah. Jawabannya adalah perubahan atau amandemen  UUD 1945. Ketika UUD 1945 di amandemen kembali maka pertanyaan sudah terjawab. Entah nanti ketika amandemen UUD 1945 TAP MPR/S apakah mau dibahas, dihapus, diuji atau dilaksanakan itu tergantung dari isi amandemen UUD 1945. Namun sebagai orang yang ingin belajar tentu menginginkan analisis dan asupan materi untuh menambah khasanah keilmuan. Oleh karena itu sebagai orang yang masih belajar dan ingin terus belajar mengenai hukum penulis akan menjawab sesuai dengan kemampuan. Semoga jawaban penulis dapat lebih mengembangkan pikiran, analisis, ide dan gagasan khususnya bagi penulis agar menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Diskusi atau kajian mengenai pengujian TAP MPR/S namun menurut penulis bukan pengujian melainkan dikemanakan TAP MPR/S. Karena kata pengujian mengisyaratkan seolah-olah TAP MPR/S hanya bisa dilakukan pengujian. Padahal pengujian belum tentu bisa karena bisa juga melalui pembahasan, penghapusan atau pelaksanaan.

Pertama penulis ingin menjawab pertanyaan apakah TAP MPR/S harus dibahas ? Pertanyaan tersebut tentu menimbulkan perdebatan dan kontroversi jika TAP MPR/S dibahas karena akan menimbulkan pertanyaan kembali mengenai siapa yang akan membahas TAP MPR/S tersebut dan apa dasar pembahasan TAP MPR/S ? Jika kita bebicara mengenai pembahasan TAP MPR/S menurut penulis itu tidak mungkin  karena tidak ada lembaga yang berwenang dan tidak ada dasar hukum untuk membahas TAP MPR/S yang masih berlaku (aktif) tersebut. Karena di dalam UUD 1945 tidak ada aturan yang memberikan kewenangan untuk membahas TAP MPR/S dan tidak ada dasar hukum untuk membahas TAP MPR/S. MPR sekarang tidak diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk membahas TAP MPR/S begitu juga lembaga-lembaga negara lainnya yang diatur oleh UUD 1945 tidak mempunyai kewenangan untuk membahas TAP MPR/S. karena kalaupun ada lembaga lembaga itu harus diatur oleh UUD 1945 bukan olaeh aturan lain yang dibawah UUD 1945. Jadi menurut penulis TAP MPR/S tidak bisa dibahas kecuali UUD 1945 memberi kewenangan kepada lembaga, instansi atau aturan dibawahnya untuk menghapus TAP MPR/S.

Pertanyaan kedua adalah mengenai penghapusan TAP MPR. Menurut penulis mengenai penghapusan TAP MPR/S jawabanya hampir sama dengan pertanyaaan pertama. Siapa yang berwenang menhapus TAP MPR/S dan apa dasar untuk menghapus TAP MPR/S karena UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada lembaga, instansi atau aturan dibawahnya untuk menghapus TAP MPR/S. Jadi menurut penulis TAP MPR/S tidak bisa dihapus kecuali UUD 1945 memberi kewenangan kepada lembaga, instansi atau aturan dibawahnya untuk menghapus TAP MPR/S.

Mengenai pertanyaan ketiga yaitu tentang pengujian TAP MPR/S, apakah dapat dilakukan pengujian terhadap TAP MPR/S ? bagi penulis pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang membuat penulis semakin penasaran untuk menjawab pertanyaan tersebut. Walaupun pada dasarnya penulis masih berpendapat bahwa pertanyaan ini jawabannya sama dengan dua pertanyaan sebelumnya. Namun sebagai seorang yang ingin trus belajar penulis akan mencoba menjawab sesuai dengan pikiran, analisis, pemahaman dan kemampuan yang penulis miliki walaupun jawaban penulis belum memuaskan semua pihak. Sebelum menjawab pertanyaan ini penulis ingin menyampaikan beberapa teori yang menjadi dasar penulis untuk menjawab.

Teori pertama adalah teori konstitusi historis, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam Assidiqie (2012) bahwa yang dimaksud dengan “consitutional history” adalah teanggal 18 Agustus 1945 bagi kelahiran Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Karena sejak saat itulah Pancasila tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945.[1] Pernyataan tersebut sangat logis karena pada tanggal 18 Agustus merupakan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang salah satu agenda pada saat itu adalah mengesahkan UUD 1945. Sehingga pantas jika tanggal 18 Agustus 1945 merupakan konstitusi historis atau sejarah konstitusi karena konstitusi pertama lahir pada tanggal 18 Agustus 1945.

Mengenai kaitan dengan TAP MPR/S maka akan ada jalan petunjuk mengenai kedudukan TAP MPR/S berdasarkan konstitusi historis. Jika kita melihat sejarah TAP MPR/S jelas bahwa TAP MPR/S tidak disebutkan dalam UUD 1945 melainkan tumbuhdan berkembang melalui praktek ketata negaraan Indonesia. Status dan kedudukan TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan menjadi jelas setelah dikeluarkannya TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Pertimbangan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Keberadaan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 ternyata menimbulkan banyak kerancuan dan perdebatan tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini mendorong dikeluarkan TAP MPR Nomor V/1973 (Pasal 3) dan Tap MPR Nomor IX/1978 yang memerintahkan agar Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 segera disempurnakan. Namun penyempurnaan itu ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama, barulah pada tahun 2000 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengubah tata urutan peraturan perundang-undangan dengan mengeluarkan TAP MPR III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dengan mencabut Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966.[2] Kemudia MPR membuat TAP MPR Nomor I Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Dimana didalam TAP MPR tersebut pada pasal 2 sampai dengan 5 disebutkan bahwa beberapa TAP MPR masih berlaku dengan ketentuan masing-masing.

Teori kedua adalah teori pengikatan diri dari Jellinek, menurut Maria Farida Indarti Suprato dalam Khaerul Umam (2003) bahwa sistem norma hukum Indonesia sudah ada sejak 67 tahun yang lalu, yaitu melalui proklamasi kemardekaan sebagai politik hukum yang pertama, Indonesia menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Dengan itu terbentuklah pula sistem norrma hukum Indonesia. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, Pancasila merupakan grundnorm atau staatsfundamentalnorm yang merupakan norma hukum yang tertinggi. Kemudian dibawahnya secara berturut-turut yaitu Aturan Dasar Negara (Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis) atau yang disebut oleh Nawiasky sebagai “Staatsgrundgesetz”, Undang-Undang (Formell Gesetz), Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom (Verordnung dan Autonome Satzung).[3] Artinya kedudukan TAP MPR berada dibawah UUD 1945 walaupun sama-sama dibuat oleh satu lembaga yaitu MPR.

Oleh karena itu Maria Farida Indarti Suprato dalam Khaerul Umam (2013) juga menjelaskan bahwa kedudukan UUD 1945 yang berdada di atas Ketetapan MPR akan menjadi lebih jelas apabila dikaji dengan Teori Pengikatan Diri (selbtsbindungtheorie) dari George Jellinek. Secara teori Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mempunyai kualitas utama sebagai konstituante itu mula-mula menjalankan fungsi yang pertama yaitu menetapkan Undang- Undang Dasar Negara. Setelah Undang-Undang Dasar itu terbentuk, kemudian Mejelis Permusyawaratan Rakyat tersebut mengikatkan diri pada ketentuan Undang-Undang Dasar yang ia bentuk (sesuai dengan selbtsbindungtheorie). Selanjutnya dalam menjalankan fungsinya yang kedua, yaitu menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dituangkan dalam Ketetapan-Ketetapan MPR, dan pada saat itu Majelis Permusyawaratan Rakyat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar tersebut.[4]

Adapun terkait teori reformasi konstitusi menurut Bambang Widjojanto (2010) bahwa reformasi konstitusi jika dianalisis dari segi sejarah maka akan ada tiga kelombang reformasi konstitusi yaitu periode kolonialisme, periode dekade sekitar tahun 1940-an, dan periode tahun 1990-an. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia terjadi dua kali periode amandemen konstitusi yaitu perubahan konstitusi pasca kemerdekaan dan perubahan konstitusi di akhir orde baru atau awal reformasi.[5]

Dari ketiga teori tersebut menurut penulis belum dapat ditemukan secara tegas mengenai pengujian TAP MPR/S. Karena pertanyaan siapa yang menguji dan apa dasar kewenangan menguji TAP MPR/S dalam analisis penulis belum ditemukan terkait pengujian TAP MPR/S melalui ketiga teori tersebut. Oleh karena itu penulis masih yakin bahwa pengujian TAP MPR/S tanpa melalui amandemen UUD 1945 tidak akan bisa diuji. Karena tidak ada dasar hukum dan kewenangan yang mengatur tentang pengujian TAP MPR/S. Walaupun dalam penjelasan teori pengikatan diri dari Jellinek mengasumsikan bahwa TAP MPR/S bersifat mengikat kedalam keluar. Hal itu sama dengan UUD 1945 yang diamandemen oleh MPR. Oleh karena itu TAP MPR juga hanya bisa di bahas, dihapus, dan diuji oleh MPR jika kita menggunakan teori pengiktan diri. Karena pada dasarnya UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama diamandemen dan dibuat oleh MPR. Namun penulis masih sumir dalam memahami hal tersebut karena tidak ada aturan dan kewenangan yang jelas terkait siapa yang berhak menguji TAP MPR.

Selanjutnya adalah pertanyaan keempat yaitu melaksanakan TAP MPR/S. Menurut penulis mengenai melaksanakan TAP MPR/S adalah merupakan jawaban. Mengapa demikian ? Penulis berpandangan bahwa TAP MPR/S untuk dilaksanakan karena sudah tidak memungkinkan lagi untuk di bahas, di hapus dan diauji kecuali melalui amandemen UUD 1945. Oleh karena itu jalan satu-satunya menurut yang penulis ketahui adalah melaksanakan TAP MPR. Ingat ! didalam  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Dimana didalam TAP MPR tersebut pada pasal 2 sampai dengan 5 disebutkan bahwa beberapa TAP MPR masih berlaku dengan ketentuan masing-masing. Kata berlaku tersebut menurut penulis mempunyai makna bahwa ketetapan tersebut masih ada dan untuk dijalankan . Oleh karena itu suatu ketetapan atau aturan apapun yang masih berlaku tentunya untuk dilaksanakan. Maka persoalan mengenai kemankah pengujian TAP MPR/S ? jawabannya menurut penulis adalah bukan untuk dibahas, dihapus, dan diuji. Melainkan jawabannya bahwa TAP MPR/S adalah untuk dilaksanakan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie. Terjemahkan Pancasila Dan Uud 1945 dalam Aneka Produk Kebijakan Bernegara dan Berpemerintahan dengan Bacaan Morald dan Ideologi (Moral and Ideological Reading Of The Constitution  (Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana Universitas Pancasila). di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu 26 Mei, 2012.

 

Bambang Widjojanto. 2010. Reformasi Konstitusi: Perspektif Kehakiman. Jurnal Kemenkumham.

 

Umam, Khaerul. 2013. Eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Suatu Telaah Kritis Dari Aspek HTN.

[1] Asshiddiqie. Terjemahkan Pancasila Dan Uud 1945 dalam Aneka Produk Kebijakan Bernegara dan Berpemerintahan dengan Bacaan Morald dan Ideologi (Moral and Ideological Reading Of The Constitution  (Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana Universitas Pancasila). di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu 26 Mei, 2012.

[2] Umam, Khaerul. 2013. Eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Suatu Telaah Kritis Dari Aspek HTN. hlm. 1

[3] Umam, Khaerul. 2013. Eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Suatu Telaah Kritis Dari Aspek HTN. hlm. 4

[4] Umam, Khaerul. 2013. Eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Suatu Telaah Kritis Dari Aspek HTN. hlm. 6

[5] Bambang Widjojanto. 2010. Reformasi Konstitusi: Perspektif Kehakiman. Jurnal Kemenkumham.

0 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.

Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.