Kisah Tiga Musim

(Musim Hujan, Musim Panas, dan Musim Kerinduan)

Sudah terbiasa bagiku untuk mengawali hari dengan sapa yang kurangkai sendiri. Selamat pagi dunia, bersahabatlah denganku kali ini. Hidup di tanah rantau bukan hal yang mudah bagiku. Gadis manja yang sejak lama mendambakan kehidupan jauh dari pangkuan bunda. Kali ini Ramadhan keduaku di tanah rantau. Kali kedua bagiku untuk menguji sejauh mana sang manja bertransformasi menjadi gadis yang mandiri.

Ini kali kedua bagiku untuk mengaduk susu di sahur pertama sendiri. Ku masukkan beberapa sendok kisah yang terkemas dalam bubuk susu, kusiram dengan kehangatan rindu, kuaduk dengan penuh penantian, dan kuteguk bersama rindu yang menggebu. Ibu susu kali ini memang berbeda, tak ada ketulusan di setiap adukkannya, tak ada doa disetiap tetesnya. Bu, aku rindu. Ingin kupeluk engkau, kucumbu manis rautmu, dan ku kecup tulus wajahmu.

Kau tau bu, ada tiga musim yang kupahami di atmosfer ini. Berbeda dengan saatku berada di dekatmu, hanya ada dua musim yang ku kenal. Musim kemarau yang senantiasa menghadirkan senja manja. Musim hujan yang hadir bersama anggunnya tarian rinai. Dan satu musim lagi yang hadir disepanjang tahunku. Di sepanjang kisah dan perjuanganku. Musim yang tak mengenal waktu kapan ia akan datang. Musim yang tak pernah berdamai dengan ku. Ya, musim rindu yang hadir dengan berjuta cerita kerinduanku yang menggebu.

Ada banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan padamu bu, tentang kisahku dan musim itu yang senantiasa membayangi setiap cerita yang kutulis. Kala itu, semua angan menguap bersama kisah kita yang telah terpisah jarak. Terakumulasi dan berkumpul menjadi sebuah awan penantian. Berjalan mengiring waktu yang berlalu setiap detiknya. Berarak menuju puncak rasa ingin medekap, ingin mencium, ingin memanja, dan ingin menatapmu dengan nyata. Semuanya habislah sudah, setelah itu menjadi rintik tangis kerinduan. Rintik sesak yang begitu mendekap, begitu menusuk hingga aku tak mampu lagi berdiri kokoh dalam berjuang.

Rasa itu terus memuncak, hingga Ramadhan hadir dan menambah deretan rindu yang mengantri untuk di manja. Menunggu bagaimana peluk itu mendarat tepat pada dekapanku. Menunggu bagaimana kecupan itu melekat di keninggku. Aku ingat bagaimana senyum pengharapan itu mengantarkanku di depan pintu bandara, mengepalkanku sebuah semangat untuk kukantongi dan sebuah harapan untuk ku jujung tinggi.

Kali ini kita memang dekat. Hatimu kini begitu dekat dengan hatiku, jiwa ini kini telah saling memeluk, dan suara ini menghangatkan titik-titik kerinduan yang membeku. Aku percaya, kehangatan ini akan terus mendekap buk. Doamu telah hadir dan merasuk pada sela-sela keriduan kita. Doamu telah menyempurnakan semangatku yang retak. Doamu itu buk yang meberikan tenaga hebat untuk kumelaju menuju puncak yang kita impikan. Doakan selalu puterimu lekas kembali kerumah. Lekas berpelukan dengan nyata buk. Ramadhan ini akan terus terasa indah meskipun kebersaman ini tersampaikan lewat udara. Sampai bertemu di Hari nan Fitri. Peluk ibu dari jauh ({}).

Bu, kau tau bahwa atmosfer kota ini sungguh berbeda. Aku tak mengenal kehangatan di musih kemarau. Aku tak mengenal tegukan pelepas dahaga saat musim hujan. Yang sering kutemui hanya embun kerinduan yang menyisihkan titik-titik penantian pada sebuah pertemuan. Bu, andai kau tau, sepanjang tahun kumerasakan musim rindu. Yang kian dekat dengan pertemuan semakin kering, semakin membuatku kehausan. Kering, pecah, terluka, seluruh badan hati ini menahan rindumu yang begitu bergejolak. Membeku, kaku, dan lemah tak berdaya mencoba bertahan pada rindu yang terus membeku. Lekas bertemu bu, selimuti aku, dekap aku, teduhkan aku dari segala kerinduan yang terus menikhmatiku. 

Semarang, 2 Ramadhan 1.436 H