DIA

DIA

 

 

Desember 2007…..

 

Ini adalah kisah nyata.!

 

Dia yang menjaga impianya agar impian itu tidak mati adalah Dia yang layak untuk hidup dan layak memperjuangkan impianya.

 

Dia tidak terlahir dari rahim wanita bangsawan, bukan juga dari rahim wanita murahan. Dia lahir dari rahim ibunya. Bagi Dia, ibu adalah wanita terhebat. Ibu adalah mentari dalam siangnya dan rembulan dalam malamnya. Dia tidak punya ayah seorang hartawan. Ayahnya hanya pedagang kakilima yang tersingkirkan oleh kerasnya kehidupan. Yang dipandang sebelah mata oleh orang lain. Ayahnya hanya mampu memberinya sesuap makan tanpa mampu memberikan apa yang Dia inginkan. Dia ingin sekolah seperti teman-temanya. Dia punya mimpi menjadi seorang penulis.

 

Perjuangan dimulai.! Dengan kedua tangan kecilnya Dia mendorong gerobak es cendol menapaki jalanan yang berdebu. Berharap ada yang mau membeli daganganya. Seorang bocah berusia 13 tahun dipaksa oleh kemiskinan untuk bertarung dengan kerasnya kehidupan. Ia langkahkan kakinya membawa harapan. Sampai di pelataran SMP, Dia berhenti. Memandang gerbang sekolah yang Dia impi-impikan. Melihat kawanan bocah seusianya berlarian masuk kedalam gerbang, air mata jatuh berurai di pipinya. Dia ingin sekali bisa seperti mereka. Namun itu semua hanya impian. Tak mampu ia menahan desakan kesedihan dalam hatinya. Ia hanya anak kecil yang belum mengerti kehidupan.

 

Seseorang menghampirinya lalu membeli daganganya. Mungkin karena iba.

 

Dua minggu berlalu. Setiap hari Dia membantu ayahnya menjual es cendol. Di pagi hari ia sibuk memecah balok-balok es yang ukuranya hampir lebih besar darinya. Ia akan berjalan puluhan kilometer untuk menjajakan daganganya. Sering kali dalam perjalananya ia berpapasan dengan rombongan anak-anak yang berangkat atau pulang sekolah. Beberapa dari mereka ada yang mengenal Dia. Dan itu membuatnya malu dan sedih. Sore hari barulah ia pulang. Setelah itu ia akan mengurung diri dikamarnya. Kadang ia menangis. Kadang hanya tidur dan melepas lelah. Ia menjadi anak yang pendiam dan murung.

 

Ayahnya tahu bahwa sifat pendiam dan kemurungan anaknya disebabkan karena ketidak mampuannya menyekolahkan anaknya. Akibatnya sang anak jadi seperti itu. Ayah macam apa yang tega melihat anaknya bersedih.

Hari yang ditunggu-tunggu sang anak datang. Ayahnya berniat memasukannya kedalam sebuah sekolah. Mendengar itu Dia bahagia tak terkira. Senyumnya terkembang sangat lebar. Meskipun Dia belum sepenuhnya paham tentang pentingnya pendidikan. Namun ia meyakini bahwa dengan pendidikan ia bisa mencapai cita-citanya menjadi seorang penulis.

 

Kebahagiaan itu hanya menyambanginya sebentar saja. Ia menolak keinginan ayahnya. Ia juga menolak keinginanya sendiri. Ia sadar tentang kemampuan orang tuanya yang hanya pedagang es keliling. Penghasilan tak akan mencukupi kebutuhan jika masih harus ditambah dengan biaya sekolahnya. Ia terhempas dari tingginya kehidupan impian kembali ke kehidupan nyata yang merenggut kebahagiaanya. Ia kembali menjajakan daganganya. Ia kembali mendorong gerobak es cendolnya. Kembali menghirup udara jalanan yang panas dan berdebu.

 

Kemurunganya semakin jelas terlihat oleh ayahnya. Setiap hari setelah pulang menjajakan dagangannya sang anak hanya mengurung diri di kamar. Sang ayah yang tak tega akhirnya mendatangi sebuah SMP dan mendaftarkan anaknya. Dia tak mengetahui yang ayahnya lakukan. Ayahnya membeli seragam SMP lengkap dengan tas, sepatu, buku dan alat tulis lainya. Diletakanya semua itu dikamarnya. Seperti biasa setelah pulang berdagang, Dia langsung masuk kedalam kamarnya. Alangkah terkejutnya Dia melihat seragam lengkap dengan tas, sepatu, dan alat tulis di dalam kamarnya. Ia menghambur keluar memeluk ayahnya.

 

Dia berpikir tentang apa yang bisa ia lakukan untuk membantu orang tuanya. Ia tahu bahwa jika ia berhenti membantu ayahnya maka beban ayahnya akan semakin berat. Dia memeutuskan untuk tetap membantu ayahnya seusai sekolah. Dia tetap akan mendorong gerobak berisi es cendol untuk menambah penghasilan orang tuanya. Sebenarnya ayahnya tak pernah mengizikan Dia untuk menjajakan daganganya. Karena orang tua manapun didunia ini, sebenarnya tak akan tega melihat anaknya harus menderita. Namun Dia tetap memaksa.

 

Kehidupan memang keras dan akan semakin keras kepada orang yang tidak mau keras terhadap diri sendiri.

 

Tentu saja Dia malu ketika yang menjadi pembeli ialah teman-temanya sendiri. Tapi apa yang bisa dilakukan jika keadaan memang mengharuskan seperti itu ? Entah bagaimana anak sekecil itu punya rasa bersalah ketika melihat ayahnya sendiri bersusah payah mencarikanya biaya untuk sekolahnya. Usahanya tak selalu mulus. Kadang tak ada satupun pembeli yang menghampirinya, kadang hanya dua atau tiga pembeli saja. Namun ia tahu Allah melihat usahanya. Dan ia terus berjuang tanpa menyerah.

 

Tak hanya berjualan es, ia juga menjual layang-layang kepada teman-temanya, menjual buku-buku tulis, dan menjual mainan untuk anak-anak.

 

Usahanya tak sia-sia. Dia lulus dari SMP-nya tahun 2009.

Tak berbeda dengan teman-temanya yang lain, ia pun juga ingin melanjutkan pendidikanya. Namun lagi-lagi keadaan memaksanya untuk kalah. Harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi tanpa terkendali dan itu membuat beban keluarga semakin berat. Ayahnya tak sanggup lagi membiayainya sekolah. Akhirnya putuslah sudah kesempatanyna untuk melanjutkan sekolahnya. Dari luar ia sudah kalah. Namun dihatinya ia masih menjaga impian-impian itu.

 

***

Air matanya berlinang melihat teman-teman sebayanya memakai seragam putih abu-abu menuju sekolah masing-masing sebagai pelajar sementara ia memakai celana panjang kumal dan kaos lengan panjang sobek sobek menuju ke perkebunan salak sebagai buruh tani. Di tangan kananya tergenggam sebilah parang yang sudah diasah, tampak mengkilap diterpa cahaya mentari pagi.

 

Satu setengah tahun ia jalani menjadi buruh di perkebunan salak. Selama itu ia tetap memimpikan tanganya yang kasar itu memegang pena, bukan lagi parang seperti yang saat ini ia genggam. Sementara di punggungnya tergendong ransel berisi buku-buku pelajaran bukan lagi kayu bakar. Selama ia bekerja sebagai buruh tani ia masih tetap merindukan impianya. Upahnya yang tak seberapa selalu ia kumpulkan untuk menggapai impiannya namun tak pernah cukup. Dia tetap sabar dan tetap menjaga impiannya.

 

Sadar dengan penghasilannya yang tak seberapa, akhirnya Dia menerima tawaran dari temannya untuk bekerja di Jakarta. Dia berharap mendapat penghasilan lebih banyak agar ia mampu melanjutkan sekolahnya.

 

Dengan restu dari ayah dan ibunya, berangkatlah ia ke Jakarta. Membawa segenggam asa yang ia simpan rapi di dasar hatinya.

 

Kini pekerjaanya adalah tukang kebun di sebuah taman milik pengusaha kaya. Ia menyirami tanaman, mencangkul tanah yang sudah keras, mencabuti rumput liar, memberi pupuk, memotong rumput yang telah memanjang, membersihkan kolam dan memberi makan peliharaan majikanya. Ia juga membersihkan kolam renang, kolam ikan dan pekerjaan lainya yang bisa ia lakukan.

 

Enam bulan lebih satu tahun Dia bekerja sebagai tukang kebun. Hari-hari yang sangat membosankan dengan berbagai rutinitas yang sama dengan tabah ia jalani. Ia tetap berdoa pada Tuhan-nya agar suatu hari impiannya dapat terkabul. Menjadi penulis hebat yang karyanya dibaca ribuan bahkan jutaan manusia.

 

Suatu hari Sang Majikan memintanya untuk membersihkan sebuah ruang di dalam rumahnya. Ruang itu adalah perpustakaan pribadi milik majikanya. Di dalamnya ada ratusan buku berderet di rak-rak yang berdebu. Melihat itu ingatan tentang harapan-harapanya muncul. Meneteslah air matanya. Perlahan ia gerakan jemarinya menelusuri deretan buku-buku itu. Namun ia sadar bahwa keberadaanyna disitu bukan untuk membaca buku, keberadaanya hanyalah untuk membersihkan ruangan itu.

 

Semenjak kejadian itu, setiap malam ia berdoa pada Tuhan agar ia bisa seperti teman-temanya yang lain. Dia berdoa lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Dia meneteskan air mata lebih banyak dari orang yang ditinggal mati kekasihnya. Dia berdoa dan terus berdoa.

 

Ketika bekerja pikiranya tak lagi terfokus pada pekerjaannya. Ia ingin sekali membaca buku-buku itu. Setiap kali majikanya pergi Dia memberanikan diri masuk ke ruangan itu diam-diam tanpa diketahui oleh Sang Majikan. Di sana ia membaca dan hanya membaca. Satu sampai dua jam bisa ia habiskan hanya untuk membaca di ruangan itu. Pekerja yang lain sudah memperingatkanya agar tak terlalu lama membaca di sana. Namun Dia tetap membaca dan tetap membaca. Setiap hari selalu seperti itu. Ketika majikannya pergi ke kantor ia akan segera masuk ke ruangan itu hingga Dia lupa bahwa ia punya pekerjaan lain selain membaca buku. Pekerjaannya sebagai tukang kebun yang harusnya merawat taman terbengkalai.

 

Suatu hari majikanya melihat taman-tamannya menjadi tak terurus. Rumput-rumput kering karena tak disiram, kolam-kolam ikan berlumut sampai tak terlihat ikanya dan bunga-bunga layu karena tak diurus. Sang Majikan mencari tahu penyebabnya.

 

Sang Majikan mencarinya kemana-mana. Di taman tak ada. Di dapur tak ada. Di kamarnyapun tak ada. Lalu pekerjanya yang lain memberitahukan bahwa Dia sedang membaca buku di perpustakanya. Sang Majikan lalu menuju ke perpustakannya dan memergoki Dia sedang membaca buku-buku itu. Dengan tangan bergetar Dia mengembalikan buku itu ke raknya. Lalu dengan suara bergetar ia minta maaf kepada majikanya.

 

“Tidak apa, Nak.! Bacalah buku mana saja yang ingin Kau baca. Tapi jangan lupa untuk merawat taman juga.” ujar sang majikan.

 

Setiap hari Dia meluangkan waktu untuk membaca di perpustakaan milik majikanya itu. Akibatnya banyak tanaman di taman yang mati karena tak terurus. Si anak sadar bahwa ia telah melalaikan tugasnya. Lalu ia memutuskan untuk berhenti membaca buku. Kini ia kembali merawat taman itu dengan sungguh-sungguh. Namun sebenarnya hatinya sangat bersedih karena ia tak bisa lagi membaca buku-buku itu.

 

Sang majikan yang menyadari bahwa Dia tak lagi suka membaca lantas bertanya, “mengapa Kau tak pernah membaca lagi ?”

 

“Saya banyak pekerjaan,Tuan.”

 

“Bukankah membaca juga pekerjaan?”

 

“Tapi itu bukan pekerjaan saya, Tuan.”

 

“Maukah Kamu kembali sekolah?” mendengar pertanyaan itu hatinya teriris. Pedih dan menyedihkan.

 

“Saya tak punya uang, Tuan.” Ia menundukkan kepala. Menyembunyikan air matanya yang mulai berleleran.

 

“Mulai sekarang Kamu dipecat. Minggu depan bapak akan daftarkan kamu ke Madrasah Aliyah. Biarpun bukan SMA tapi sama saja. Kamu bisa membaca buku sepuasmu di sana. Masalah biaya biar bapak yang urus. Kamu harus sekolah. Bapak tahu kamu ingin sekali bersekolah. Pokoknya kamu harus sekolah lagi.”

 

Tak ada yang bisa diucapkan anak itu untuk meluapkan kebahagiaannya selain anggukan dan segaris senyum dari bibirnya. Kebahagiaan yang tak mampu diungkap lewat kata seindah apapun. Kebahagiaan yang tak mampu di lukis dengan warna secerah apapun dan kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan angka sebanyak apapun. Karena kebahagiaan ini kebahagiaan terbesar bagi Dia.

 

Tahun 2015 Dia dinyatakan lulus dari MA N 1 Banjarnegara. Dan

kini Dia menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang dengan dibiayai oleh Beasiswa Bidikmisi.

 

Dia adalah aku.

 

Pesan : Jangan pernah sia-siakan kesempatan bersekolah bagi yang mendapatan. Kita mungkin tak tahu besarnya pengorbanan Ayah dan Ibu kita. Tapi kita harus tahu mereka sangat mengharapkan prestasi dari kita Ayah dan Ibu kita adalah orang yang paling menyayangi kita. Bagi yang belum berkesempatan sekolah jangan pernah menyerah. Kesuksesan bisa datang dari mana saja asal kita mau berusaha dan berdoa.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: