[Cerpen] Dalam Keheningan Hujan

Posted by: Ikrillah Khoirun Nisa in Cerpen, Romance Add comments

          Aku terpekur sendiri menatap tetesan air hujan yang membasahi jendela. Gara – gara hujan, aku hari ini bolos kuliah. Hanya berdiam diri di kamar kos dan memandang luar dari balik jendela. Duduk di kursi meja belajar dengan Laptop Dell yang sudah dalam keadaan Stand By.

          Aku memandang ada tiga orang yang tengah berteduh di emperan ruko di depan sana. Dua orang laki – laki dengan satu perempuan. Anganku membawa jiwaku terbang melintasi waktu. Saat aku baru akan menginjak usia remaja, saat aku tak tahu cinta, dan saat aku mulai memiliki perasaan kagum padanya. Saat aku kelas satu SMP, saat yang ingin kulupakan dan ingin ku kenang secara bersamaan.

***

          “Gerimis makin deras. Gimana kalo kita berteduh aja Niel ?” tanyaku yang berusaha menyejajari laju sepedanya. Adam mundur kebelakang bersama Deyana. Daniel menoleh. Memandang kanan – kiri jalan yang berupa hamparan sawah hijau. Ada jarak sekitar 100 meter antar rumah penduduk. Dan kantor polisi yang sudah terlewati.

          “Tapi dimana Sya ? kamu nggak liat, rumah aja jarang banget apalagi toko. Masak iya kita mau numpang di depan rumah orang. Kan nggak sopan.” Aku mengangguk, lalu saat menuruni jembatan, aku melihat ada sebuah sekolah dasar, lalu ada sebuah koperasi tani, dan beberapa warung yang setengah buka.

          “Di depan koperasi itu gimana ? bisa sakit nih kalau sampai kehujanan. Besok kan ada ulangan Bahasa Indonesia, belum lagi kena marah ibu.” Daniel mengangguk dan mendahuluiku. Aku menyusul di belakangnya, berikut Adam dan Deyana.

          Daniel menaikkan sepedanya ke lantai yang masih terbuat dari campuran pasir dan semen itu, lalu membantuku. Ia juga membantu Deyana. Aku tersenyum tipis. Anak laki – laki yang sungguh baik dan pengertian. Aku yakin ia akan menjadi sosok laki – laki sejati yang penuh tanggung jawab.

          Koperasi itu tutup, dan kami duduk bersandar pintu geser koperasi. Aku terdiam menikmati gerimis yang semakin lama semakin lebat. Hujan yang cukup deras akhirnya turun setelah musim kemarau yang cukup panjang. Adam dan Daniel bersenda gurau, sesekali Deyana ikut menimpali. Aku tetap menatap rintik hujan, tetesan air hujan selalu membuatku ingin memandangnya.

          Aku berjalan dengan berjongkok mendekati tetesan air hujan yang masih turun dengan lebat. Kuulurkan tangan kananku untuk menyentuhnya. Saat air itu mengenai telapak tanganku yang terbuka, aku merasa tenang. Ini seperti terapi yang membuat tubuhku menjadi lebih baik. Ingin rasanya aku berputar – putar dibawah guyuran air hujan. Seperti yang sering kulakukan dulu, saat aku berusia 8 tahun.

          “Kamu pendiam banget sih Sya. Emang hujan bagus bangetnya, sampai ngeliatnya kaya gitu.” Aku hanya tersenyum. Aku memang pendiam. Mau bagaimana lagi, aku malas bicara. Ia mengikutiku, mengulurkan tangannya untuk merasakan sensasi yang tengah kunikamti.

          “Kok nggak jawab sih. Ah, udah udaranya dingin, makin dingin kalau kaya gini.” Ia menarik uluran tangannya. Mengusap –  usapkan pada bajunya yang sudah setengah basah karena gerimis tadi.

         “Aku harus jawab apa. Setiap orang punya kesukaan masing – masing kan.” Ia menarik tangan kananku, hingga titik air hujan tak mengenai tanganku lagi. Aku melepeskan tanganku dari genggamnya.

          “Kenapa ?”

          “Dingin tahu. Nanti kamu sakit lagi, udah ah.” Ia mengibaskan tangan kirinya dan kembali bersandar di depan pintu koperasi dan bergabung dengan Adam dan Deyana yang masih sibuk ngomongin bola. Akhirnya kuputuskan untuk ikut bergabung dengan mereka. Namun aku tetap diam dengan mata yang terkunci pada rintik – rintik hujan yang tak sederas tadi.

          “Kalau kamu suka club sepak bola mana Sya ?” tanya Adam padaku. Aku nyengir bingung. Nama klub sepak bola saja cuma tahu Barcelona dan Real Madrid. Nama pemainnya ? Tidak tahu sama sekali.

          “Ah, sebenarnya aku en-”

          “Nasya nggak suka bola tahu. Dia itu sukanya Moto GP sama baca buku sejarah atau sains. Kalau mau ngomongin bola sama Nasya, mendingan ngomongin bola sama kucing. Yah, seenggaknya kucing masih bisa bilang meong~.” Yah, begitulah aku menunduk malu.

Deyana semangat sekali kalau aku nggak suka bola, alhasil Adam dan Daniel tertawa puas. Kelihatan banget Adam sampai lesung pipitnya kelihatan dan matanya menyipit sambil memeganggi perutnya. Sedangkan Daniel, mata sipitnya menjadi tinggal segaris dengan air mata yang menggenang di sana. Huh, emang salah ya kalau nggak suka bola sama sekali ?

“Kamu unik banget sih Sya. Kok bisa perpaduan antara suka Moto GP sama baca buku sejarah. Aduh, Sya. . . kamu jangan ngelawak dong hahaha~.” Aku memukul bahu Adam kesal. Namun, Adam justru tertawa makin keras.

“Apaan sih. Udah dong, nggak ada yang lucu. Yang suka kan aku. Ya, terserah aku-nya dong mau suka apa, mau nggak suka apa.” Akhirnya mereka mulai bisa meredam tawa mereka. Pandangan Daniel jatuh padaku walau aku tidak menoleh ke samping.

“Serius Sya ?” Kali ini Daniel yang bertanya. Aku mengangguk sambil merenggut kesal. Dan sekali lagi, mereka tertawa.

“Kok kamu bisa sih Na, deket sama anak kaya gini.” Ujar Adam dengan setengah setengah mengejek. Huh, bikin gemas.

Deyana menanggapinya dengan kata – kata yang semakin membuatku terasa seperti alien. “Tau tuh. Aku juga bingung sih Dam. Gimana lagi, makhluk jenis langka yang kaya gini doang yang nyambung waktu aku ajak diskusi.”

“Udah – udah. Kasiah tuh, Nasya wajahnya udah merah banget.” Daniel menepuk punggungku. Dia memasang wajah simpati, namun sudut bibirnya berkedut menahan tawa.

“Kok bisa gitu sih Sya ?”

“Dari dulu keluarga aku udah suka banget sama yang namanya Moto GP. Aku juga suka baca sejarah kerajaan, tentang bagaimana kerajaan itu berdiri, bagaimana sistem pemerintahannya, dia buat jejak sejarah apa aja, sampai akhirnya runtuh. Belum lagi cerita mitos dan legendanya. Yang udah terbukti itu nyata atau cuma cerita.” Deyana bertepuk tangan meriah.

“Gimana, unikkan. Aku bingung antara dia masih anak – anak yang suka cerita sebelum tidur, atau remaja yang berpikiran berbeda.” Aku mencibir sebal. Kualihkan lagi pandanganku pada rintik hujan yang semakin menipis.

“Kalau gitu kamu pasti pingin jadi arkeolog ya.” Aku mengangguk lagi.

“Dingin banget sih.” Aku masih terdiam. Sementara yang lainnya saling menyahut membuat suara yang cukup gaduh.

“Maksud aku bukan udaranya, tapi Nasya.” Aku langsung menoleh menatap Daniel saat namaku disebut – sebut.

“Semua juga pada tahu kali Niel. Udah deh, nggak usah berusaha ngusik ketenangannya.” Adam menimpali.

“Emang salah kalau pendiam. Pendiam bukan dingin tau.” Aku mengertakan gigi sebal. Dan mereka kembali menggodaku.

“Diammu itu membuat orang sebal dan segan padamu. Beberapa anak jadi nggak nyaman bicara kalau kaya gitu.” Daniel kembali bersuara.

“Orang punya pikiran dan jalan hidup masing – masing yang membuat hidupnya menjadi nyaman.”

Kami terdiam dengan pikiran masing – masing. Aku menoleh ke kiri. Di ujung paling kiri Daniel menatap lurus kedepan. Matanya terbuka – tertutup beratur. Bibirnya terkantup rapat. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Ia menghela napas dan menunduk membuat rambut ikalnya yang hitam sedikit merah itu bergerak.

Kuperhatikan lekuk wajahnya. Wajahnya yang terdapat beberapa jerawat, kulitnya yang tergolong putih untuk ukuran anak laki – laki dan bersih. Sesaat aku terpaku pada sosoknya. Tak sangkup untuk mengalihkan pandanganku padanya, aku panik. Kupejamkan mataku lalu menunduk.

“Kamu sakit ?” sebuah tangan menyentuh dahiku dan rambut poniku. Aku tersentak. Kudongakan wajahku dan seolah terhipnotis oleh mata kelam yang berbingkai bulu mata panjang yang lurus.

***

          Aku menghela napas lagi. Kupikir perkenalan kami adalah takdir, maka akan ada takdir cerita tentang kami. Namun ternyata, belum genap sebulan kami naik kelas delapan dan berbeda kelas ia memiliki kekasih. Setelah itu putus, lalu menjalin hubungan lagi dengan anak perempuan lain. Hingga aku tahu ternyata banyak sosok cantik yang mengidolakannya. Menyukainya. Dan mengaguminya. Banyak yang mengejarnya, bahkan menunjukan perhatian mereka secara nyata.

          Sedangkan aku, hanya berdiam diri dibalik sosok bernama sahabat. Namun, akhirnya aku memilih mundur karena tak sanggup mendengar ceritanya. Cerita suka duka tentang kisah cintanya. Yang tak akan pernah ada nama Nathalian Anasya di dalamnya. Hanya sosok yang melintas sebentar dan tertulis dalam bukunya kisah hidupnya.

          “Sya, kamu ngapain ?” aku tersentak dan menoleh mendapati Jia –teman sekamarku- yang menyimpan peralatan mandinya di lemari. Aku tersenyum sambil menggeleng.

          “Nggak apa – apa kok.” Suaraku terdengar serak, aku bangkit dan meraih gelas untuk minum.

          “Kamu nangis ? kenapa ? ada masalah ? sama siapa ?” aku menggeleng pelan. Kuletakkan kembali gelas yang telah kosong diatas meja. Aku mengambil dompet dan jaket. Kemudian meraih payung.

          “Aku mau beli kopi instan. Dingin banget sih, persediaan kopi juga habis.” Jia menggeleng, justru menjatuhkan dirinya di atas kasur.

          “Aku capek Sya, mau tidur aja.” Aku mengangguk, lalu melangakah pergi. Aku membuka payung sebelum melangkah. Kuhirup aroma segar bercampur sejuk di paru – paruku saat gerimis masih turun. Sejuk yang membuat paru – paruku sakit terasa terhimpit.

***

          Aku mengambil1 lusin kopi sachet dan berjalan ke arah kasir. Namun aku teringat, pasta gigiku tinggal sedikit jadi kuputuskan untuk membelinya sekalian. Aku berjalan menyusuri rak – rak minimarket. Aku terhenti saat melihat rak yang berisi pasta gigi, mencari merk yang biasa kupakai.

          “Lama tak jumpa. Kupikir aku sudah tak bisa berjumpa lagi denganmu.” Aku menoleh mendapati sosok laki – laki yang tengah memilih sabun mandi. Apa ia yang barusan bicara denganku ? kupikir kalimat itu ditujukan untukku.

          “Aku bicara denganmu, Nathalian Anasya.” Aku mengamati laki – laki itu. Ia berbalik menghadapku, menatap lurus padaku.

          “Siapa ? apa kita-”

          “Kau melupakanku ? Kau mengirimi sebuah gambar yang berisi surat cinta padaku lewat facebook dua setengah tahun yang lalu, tapi kau melupakanku. Sungguh lucu sekali.” Apa ?

          “Jadi. . . k-kau-” napasku tercekat. Sosok yang selalu aku ingat saat hujan turun.

          “Daniel Anata. Dan kupikir kita perlu bicara.”

***

          Kami akhirnya duduk berhadapan di gazebo yang terletak di pinggiran jalan setapak dekat fakultasku. Di tangan masing – masing menggenggam satu cup kopi yang masih mengepul panas.

          “Jadi kau kuliah disini juga ?” aku mengangkat alis bingung. Jadi, Daniel juga menimba ilmu disini ? jadi kami mungkin akan bertemu selain hari ini setelah hampir empat tahun tak saling menatap.

          “Ya.” Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku.

          “Bukankah disini tidak ada program studi arkeologi ? jadi kau mengambil apa disini ?” aku menggenggam erat cup kopi yang masih panas. Sejuknya udara setelah hujan tak mampu membuat paru – paruku bekerja normal.

          “Pendidikan Kimia. Fakultas MIPA.” Aku memandang gedung fakultasku yang tampak jelas dari sini lalu kembali menunduk.

          “Kau menyukaiku, kenapa hanya mengirimi surat itu ? Kau mengirimnya saat kelas dua SMA. Kenapa baru saat itu ? kau tak mungkin baru menyukaiku saat itu bukan ? pasti saat kita masih satu sekolah.” Aku meneguk pahitnya kopi tiga kali, padahal biasanya aku akan menyesapi dulu aromanya sebelum meneguknya.

          “Kumohon jawablah. Kita sudah bukan remaja labil lagi ? kau malu saat aku mengungkit ini ? jangan – jangan gosip yang dulu itu benar.” Aku mengangguk samar. Yeah, dan berkat gosip itu pula kuputuskan untuk mundur. Walau hanya menjadi sosok sahabat.

          “Jawab pertanyaanku Nasya, kumohon. Ada sesuatu yang ganjal saat aku belum menuntaskannya. Kau masih menganggapku sahabatmu bukan ?” aku mengangkat wajahku menatapnya.

          “Kau ingat bukan, kau tetap menjadi sahabatku selama kau masih ada dalam jarak pandangku.”

“Ya. Aku menyukaimu, dari dulu.” Aku kembali menunduk setelah mengucapkannya. Walau lirih, namun suasana yang hening aku yakin ia mendengarnya.

          “Kenapa kau tak mengatakannya langsung padaku dulu ?” ia kembali bertanya setelah kami hening beberapa saat.

          “Apa yang membuatmu takut untuk mengatakannya ? karena takut patah hati karena ditolak atau takut semua orang mengetahui kau menyukaiku ?”

          “Gadis bodoh, jawab!” aku menggelinjang kaget saat ia berteriak dihadapanku. Aku menatapnya takut – takut. Wajah marah Daniel dengan napas yang tak teratur. Ini pertama kalinya aku melihat ia emosi.

          “Yang kedua.”

          “Hahaha. . . sudah kuduga.” Ia tertawa, namun sudut matanya berair dan mimik wajahnya bukan seperti tawa orang yang mendengar lelucon. Terdengar sumbang dan menyayat.

          “Kau tahu, saat aku menjalin hubungan dengan Nesha maupun Linda, atau bahkan Dewi, karena aku ingin melihat bagaimana reaksimu. Aku membiarkan Nadia mendekatiku karena kupikir kau akan melakukan hal yang sama namun ternyata kau justru mundur.”

          “Kau tahu kenapa aku melakukannya ?” Aku merasa sebuah tangan menyentuh tanganku dan meraihnya. Daniel.

          “Karena aku takut ditolak olehmu. Sebelum aku menyatakannya padamu, aku harus yakin jawabanmu ‘iya’. Karena kupikir jawabanmu ‘tidak’ aku berencana memendamnya.”

          “Karena aku menyukaimu. Aku mengikuti kau dan Deyana ke perpustakaan kota dulu karena aku menyukaimu.” Aku tak mampu berkata – kata. Dan gerimis kecil kembali turun membawanya keheningan kami semakin senyap.

***

Leave a Reply

Lewat ke baris perkakas