Skip to content


Menulis (harusnya) Jadi Candu

Awalnya saya tak pernah tertarik dengan kegiatan tulis menulis, hingga pada suatu momen semasa duduk di bangku SLTP, puisi saya mewakili sekolah ke sebuah kompetisi puisi tingkat Kotamadia. Benar-benar jadi ‘titik balik’ buat saya. Merasa di awang-awang saat beberapa puisi saya dimuat di sebuah majalah remaja ternama ibukota dan koran kampus almamater saya. Seketika otak kanan kiri saya menjadi ‘hingar bingar’ dipenuhi keinginan untuk menulis dan menulis lagi. Pendek kata setelah momen itu menulis menjadi kegiatan yang paling spektakuler hingga saat ini !

Menulis adalah salah satu bentuk ekspresi manusia yang wajar. Dia hadir saat manusia merasa gembira, merasa sedih dan berbagai ekspresi lainnya.

Kenapa harus menulis? Buat apa menulis?. Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini akan memburu kita tatkala sedang memulai menulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seolah menjadi pembenaran akan ketidakmampuan kita untuk menuangkan ide dan pikiran kita dalam bentuk tulisan. Ada beberapa hal yang mengharuskan kita kenapa harus menulis.

Pertama, menulis adalah tradisi dan ritual intelektual. Untuk mahasiswa maka menulis adalah suatu keharusan. Menulis adalah cara yang ampuh untuk melatih kembali daya ingat kita. Alangkah sia-sianya kita yang setiap hari berkutat dengan berbagai macam teori, dari teori A sampai teori Z, kemudian tidak mampu menumpahkan kembali dalam
bentuk tulisan. Untuk tenaga pendidik menulis bak menara gading untuk menunjukkan eksistensi diri atas keilmuannya : memilih menjadi sekedar orang bergelar “pepesan kosong” atau menjadi pendidik yang berkontribusi secara nyata bagi masyarakat sekitar dan masyarakat keilmuannya?  Dalam lingkungan kampus biasanya budaya menulis para tenaga pendidik rendah karena lebih berkembangnya budaya lisan bukan tulisan, tidak ada insentif dari universitas/fakultas, dan ketidaktahuan bagaimana cara menulis buku dan karya ilmiah. Bagaimanapun tenaga pendidik/dosen memang bukan sekedar pengajar biasa, akan tetapi pengajar yang memiliki komitmen sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Ilmu itu ibarat binatang buruan, membaca adalah senjatanya dan menulis adalah pengikatnya, demikian kata para ulama.

Kedua, menulis itu membebaskan. Tak sedikit orang yang menumpahkan masalah kesehariannya dengan menuliskannya dalam diary pribadi mereka. Hal tersebut mereka lakukan untuk melampiaskan apa yang mereka rasakan. setelah itu mereka cukup tenang karena telah menumpahkannya lewat tulisan. Tak jarang dari buku catatan harian mereka banyak diterbitkan oleh penerbit buku. Soe Hoek Gie misalnya, dengan bukunya yang diberi judul Catatan Harian Seorang Demonstran (CHSD).

Buku ini menjadi literatur sejarah dan menjadi saksi atas kesuraman rezim orde lama.

Ketiga, menulis merupakan alat perlawanan. Ya, menulis itu sebuah alat keberanian diri. Sejarah banyak mencatat mereka yang melakukan perlawanan dengan bersenjatakan pena. Yusuf Qardhawi misalnya, karena dilarang berceramah lewat mimbar, maka Ia pun mengalihkan ceramahnya lewat tulisan, maka lahirlah karya monumentalnya Al Halal Wa Haram Fi Al Islam. Almarhum Pramoedya Ananta Toer (PAT), buku-bukunya lebih banyak lahir di balik jeruji besi. Pada masa Orde Baru, buku-bukunya diharamkan beredar di indonesia. Namun tak sedikit anak-anak muda dan aktivis mahasiswa yang secara sembunyi-sembunyi membaca bukunya.

Terakhir menulis adalah pekerjaan membaca
Sebagian orang mensinyalir, menulis berbanding lurus dengan kegiatan membaca. Hal ini jelas menambah perbendaharaan kata bagi si pembaca. Bagaimana mungkin seorang yang ingin jadi penulis hebat tapi kurang berinteraksi dengan dunia kata (membaca). Padahal, untuk menjadi penulis diperlukan keahlian memilih dan memadu kata agar terangkai menjadi sebuah kalimat yang mudah dicerna. Jadi, menulis adalah kegiatan membaca. Bahkan dalam Al-Quran, ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT adalah ayat yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk membaca: iqra’.

Jika kegiatan tulis menulis telah menjadi bagian hidup seluruh elemen di lingkungan kampus dan didukung apresiasi yang tinggi dari seluruh civitas akademika rasanya mimpi Unnes untuk  menjadi universitas bertaraf internasional bakal terwujud lebih cepat.

Tulisan-tulisan ilmiah maupun popular dari tenaga pendidik , kependidikan dan mahasiswa Unnes banyak dimuat di media massa, banyak agenda khusus untuk kegiatan menulis, ada penghargaan/apresiasi untuk yang peduli, serta komitmen tinggi untuk kegiatan keberaksaraan (literacy) harus menjadi tolok ukur  kualitas dan keunggulan ilmu sebuah universitas yang terus berkembang seperti Unnes sekarang ini.

Saya sebagai bagian dari Unnes tak keberatan kalau candu menulis disebarkan di kampus ini..,karena saya menunggu tulisan-tulisan Anda.

Ya, Anda yang sedang membaca tulisan ini !

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan)

Posted in Bicara Konservasi.

Tagged with .


2 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.

  1. Khaerul Anam says

    siip 15 posting pak, #menyimak



Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.



Lewat ke baris perkakas