Materi Sosiologi SMA Kelas XI : Konflik Kekerasan dan Upaya Penyelesaian

Menurut Webster (dikutip oleh Pruitt, dkk (2011:9) istilah “conflict” di
dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau
perjuangan” yaitu berupa konfronstasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi
arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan
yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”.
Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek
psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu
sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga
beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

Selanjutnya, Berstein (1965), mengatakan bahwa konflik
merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah.
Konflik mempunnyai potensi yang memberi pengaruh positif dan ada pula
yang memberi pengaruh negative di dalam interaksi manusia (lihat http
://sccsmansamalili.blogspot.com/2011/11/pengertian-konflik-menurut-
beberapa.html diakses 20 Desember 2013).
Lebih lanjut, Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977)
mengatakan bahwa konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang
boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari pada berbangkitnya
keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua
pihak atau lebih pihak secara berterusan (lihat https://dhaniasashari.blog
spot.com/sosilogikonflikmenurutparaahli di akses 20 Desember 2015).
Konflik dan pertikaian adalah hal yang tidak terhindarkan di dalam
tiap kelompok sosial. Konflik adalah suatu konsekuensi dari komunikasi
yang buruk, salah pengertian, salah perhitungan, dan proses-proses lain
yang tidak kita sadari. Konflik memang mengganggu, namun gangguan
tersebut dapat membawa keuntungan besar, yaitu dapat menjelaskan
banyak hal yang tadinya tersamar dan terselubung, menurut Wehr (dalam
Widiasavitri 2007:14).
Menurut Luthans (dalam Sumaryanto 2010:3) menjelaskan konflik
adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling
bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia.
Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu
perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan.
Oleh karena itu, konflik bersumber pada keinginan, sehingga perbedaan
pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat
hubungannya dengan konflik karena persaingan beberapa pihak
menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin
mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah
menjurus ke arah konflik, terutama bila ada persaingan yang
menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang
disepakati.
Konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah
yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik (suku
bangsa, ras, agama, golongan), karena diantara mereka memiliki
perbedaan dalam sikap, kepercayaan nilai atau kebutuhan. Seringkali
konflik itu dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua atau lebih
etnik (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki,
sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau
perbuatan yang tidak sejalan. Bentuk pertentangan alamiah dihasilkan
oleh individu atau kelompok etnik, baik intraetnik maupun antaretnik, yang
memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai-nilai atau kebutuhan.
Pertentangan atau pertikaian antaretnik itu muncul karena ada perbedaan
kebutuhan, nilai, dan motivasi pelaku yang terlibat di dalamnya. (Alo
Liliweri, 2005:146).
Dalam model konflik tipe Marxian, konflik sekali lagi dilihat sebagai
gejala yang normal dan esensial. Perubahan adalah ihwal yang normal
dan secara internal dihasilkan, dan penekanaannya adalah pada
kelompok-kelompok kepentingan yang berkonflik ketimbang sistem nilai
sentral.
Berbeda dari model konflik Gluckman, konflik Marxian menuju
kepada perubahan, dan bahkan perubahan secara revolusioner,
ketimbang mempertahankan sistem. Perbedaan ini terutama disebabkan
oleh posisi sentral dari kontradiksi dalam kerangka Marxian. Kontradiksi itu
ada dalam sistem yang menghasilkan suatu tipe perubahan yang disebut
dialektika, seperti pekerja mendapatkan upah versus pemilik sarana
produksi dalam kapitalisme.
Kerangka Marx juga bersifat evolusioner, dan pada saat yang
sama memiliki juga aspek fungsionalisme, perubahan bersifat direksional,
dan sebagai hasil akhir adalah masyarakat yang lebih baik, oleh
kerenanya model konflik ini ternyata fungsional. Karena adanya ciri
tersebut, sebagian ahli menyebut Marxisme kurang optimis, dan bahkan
Weber jauh lebih baik dalam melakukan prediksi (Murphy) (dikutip oleh
Achmad Fedyani Saifuddin,2006:174-175).
Secara historis pendekatan tindakan sosial dapat diruntut dari
pendekatan struktural-fungsional Durkheim. Kemudian diadaptasi oleh
Radcliffe-Brown, dan telah mendominasi antropologi sosial selama
beberapa dekade atau katakanlah hingga tahun 1960-an, meskipun pada
masa kini masih banyak antropolog yang berpikir teori dalam pendekatan
ini. Ada kecenderungan bahwa tidak banyak hal baru yang ditampilkan
dalam model konflik Gluckman-Coser. Meski konflik internal terjadi atau
diidentifikasi adanya oleh model ini, akan tetapi gambaran secara
menyeluruh, institusi yang ada tetap bertahan dan seimbang.
Kelemahan yang mungkin paling menonjol dari model ini adalah
kemampuan model untuk menanggapi perubahan ternyata tidak lebih dari
apa yang dikemukakan oleh teoretisi ekuilibrium terkemuka, Talcott
Parsons (1951).
Penggagas teori-teori konflik menaruh minat lebih besar pada
perbenturan kepentingan daripada dalam konsensus nilai-nilai, suatu isu
yang sudah dibicarakan terdahulu yang memiliki status postulat dalam
formulasi tipe ideal (lihat, Durkheim, 1961; Parson, 1966). Konflik
kepentingan lebih penting meskipun dikatakan bahwa konsep kepentingan
juga melibatkan keuntungan bagi kelompok lain selain kelompoknya
sendiri. (Achmad Fedyani Saifuddin, 2006:340-341).
Berbeda dengan berbagai pusat perhatian teori konfik yang
berbasis ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka
anggap tersebar tidak merata, teori-teori tersebut memiliki kesamaan
aksioma bahwa asal-usul dan persistensi struktur ketidaksetaraan terletak
pada dominasi atas kelompok-kelompok yang tidak beruntung itu oleh
kelompok-kelompok yang beruntung. Disebut teori konflik demikian
karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak
setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindari antara “yang
berpunya” dan “yang tidak berpunya”. Seperti dikatakan Wes Sharrock
(1997) dalam ( Pip Jones ahli bahasa Achmad Fedyani Saifiddin, 2010:15-
16): “pandangan konflik dibangun atas dasar asumsi bahwa… setiap masyarakat… dapat memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang tetapi hal ini biasanya hanya mungkin karena kebanyakan orang tertindas dan ditekan… Oleh sebab itu, perbedaan kepentingan dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagian besar masyarakat diorganisasi sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak hanya memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian warganya lainnya. Manfaat lebih besar bagi sebagian warga berarti ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak mendapatkan kemudahan (hlm. 15-16).
Perbedaan kepentingan (versted interest) dan hilangnya nilai yang
menjadi pengikat antara kelompok-kelompok baik kelompok fakultas,
organisasi mahasiswa dan program studi tersebut juga menjadi aspek
pemicu dan sekaligus menjadi sumber-sumber konflik di kalangan
masyarakat ilmiah. Adanya keinginan atau manifestasi bahwa kelompok
mereka adalah dominan, berpengaruh dan berkuasa juga dapat
berdampak munculnya konflik yang lebih bersifat terbuka. Gurr (dikutip
Jumadi, 2009,hal.161) mengemukakan tentang deprivasi relatif yang
diartikan sebagai persepsi aktor tentang kesenjangan antara ekspektasi
nilai dan kapabilitas nilainya atau pandangan Aberie tentang kesenjangan
negatif antara ekspektasi atau legitimasi dan aktualitas.
Begitupun pandangan Coser yang dikaitkan dengan frustasi yang
mencoba membedakan antara ekspektasi dan aspirasi, menghubungkan
deprivasi dan potensi revolusi. Ekspektasi inilah yang dipahami oleh
sebagian kelompok mahasiswa yang memberikan rasa unggul dalam
dirinya dan fakultasnya atau kelompoknya baik dalam istilah ekonomi,
sosial, basis yang mendasar.
1. Tipe-Tipe Konflik
Menurut Sumaryanto (2010:3), Konflik merupakan situasi yang
wajar dalam masyarakat bahkan dalam keluarga tanpa disadari juga
mengalami konflik. Konflik sering dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Dalam organisasi, ini sangat
mungkin untuk terjadi adanya konflik baik individu ataupun kelompok. Ciri-
ciri terjadinya konflik adalah sebagai berikut:
a. Paling tidak ada dua pihak secara perorangan maupun kelompok
terlibat dalam suatu interaksi yang saling berlawanan.
b. Saling adanya pertentangan dalam mencapai tujuan.
c. Adanya tindakan yang saling berhadap-hadapan akibat pertentangan.
d. Akibat ketidak seimbangan.
Winardi (dalam Widiasavitri 2007:18-20) bahwa ada 4 macam
konflik antara lain:
a. Konflik dalam diri individu
Konflik-konflik dapat muncul karena kelebihan beban peranan (role
overloads) dan kemampuan peranan orang yang bersangkutan
(person-role incompatibilities). Mungkin juga berkembang sebagai
konflik nilai-nilai antar aktivitas kerja dan tanggung jawab keluarga.
Salah satu perspektif tentang konflik di dalam individu sendiri
mencakup empat macam situasi alternatif sebagai berikut:
1) Konflik pendekatan-pendekatan (approach-approach conflict)
Seseorang harus memilih antara dua buah alternatif behavioral
yang sama-sama aktraktif.
2) Konflik menghindari-menghindari (avoidance-avoidance conflict)
Orang dipaksa untuk melakukan pilihan antara tujuan-tujuan yang
sama-sama tidak atraktif dan tidak diinginkan.
3) Konflik pendekatan-menghindari multiple (approach-avoidance
conflict)
Mengalami kombinasi-kombinasi multiple dari konflik pendekatan-
menghindar.
b. Konflik antar pribadi (konflik interpersonal)
Konflik antar pribadi terjadi antara individu atau lebih. Sifatnya kadang-
kadang substantif atau emosional.
c. Konflik antar kelompok
Situasi konflik lain muncul di dalam organisasi, sebagai jaringan kerja
kelompok-kelompok yang saling kait-mengkait. Konflik antar kelompok
merupakan hal yang lazim terjadi pada organisasi-organisasi. Dapat
menyebabkan upaya koordinasi dan integrasi menjadi sulit
dilaksanakan.
d. Konflik antar organisasi
Konflik dapat pula terjadi antar organisasi. Pada umumnya konflik
demikian dipandang dari sudut pandang persaingan yang mencirikan
perusahaan-perusahaan swasta. Tetapi konflik antar organisatoris
(antar organisasi) merupakan persoalan yang lebih luas. Misalnya,
ketidaksesuaian paham antar serikat dan organisasi-organisasi yang
mempekerjakan anggota-anggota mereka.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa ada
dua tipe konflik yaitu konflik intarpersonal, konflik interpersonal yang
terbagi lagi dalam dua subgroup menjadi intragroup dan intergroup,
konflik antar kelompok, dan konflik antar organisasi. Yang dimaksud
dengan konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya
sendiri. Konflik intrapersonal terjadi apabila pada waktu yang bersamaan
seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekalig
us. (lihat https://kharistyhasanah.blogspot.com/2011/10/konflikintrapersonal
.html diakses 20 Agustus 2013.
Sedangkan konflik interpersonal adalah pertentangan antar
seseorang dengan orang lain karena pertentangan kepentingan atau
keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status,
jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan
suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena
konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa
anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut. (lihat https://angindilaut.blogspot.
com/2011/11/konflik-interpersonal.htmldiakses 20 Desember 2015
2. Sumber-Sumber Konflik
Chang (dalam Putu Nugrahaeni Widiasavitri 2007:18)
menyebutkan tiga penyebab umum merebaknya konflik, diantaranya:
a. Tindakan bermusuhan
1. Anggota tim memasuki “permainan menang-kalah”.
2. Mereka lebih menginginkan kemenangan sendiri dari pada
memecahkan masalah.
b. Memegang posisinya dengan kuat
1. Anggota tim tidak melihat perlunya mencapai tujuan yang saling
menguntungkan.
2. mereka memegang teguh posisinya, mempersempit komunikasi dan
membatasi keterlibatannya satu sama lain.
c. Keterlibatan emosional
1. Anggota tim mempertahankan posisinya secara emosional
Trisni dalam Sumaryanto (2010:59) menyebutkan faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya konflik:
a. Faktor-faktor inheren dalam kelompok kerja, yaitu
pembentukan klik dan tekanan kelompok dan stereotip.
b. Faktor-faktor inheren dalam suatu hubungan, yaitu pola
komunikasi dan pelanggaran aturan main dalam suatu
hubungan.
34
c. Faktor-faktor inheren yang menjadi pertimbangan
seseorang, yaitu pertentangan kepribadian atau perbedaan
gender dan usia.
d. Faktor-faktor inheren dalam penilaian dan perlakuan kita
terhadap orang lain, misalnya asumsi mengenai orang lain,
penyalahgunaan wewenang dan taktik kekuasaan dan
manipulasi.
e. Faktor-faktor inheren dalam penilaian kita terhadap suatu
situasi, misalnya harapan dan keyakinan umum,
kesalahpahaman, keyakinan dan asumsi yang tidak logis.
Konflik dapat muncul bila salah satu pihak lebih mengarah pada
domatika atau otoriter yang merendahkan harga diri.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan, sumber-
sumber konflik antara lain faktor-faktor inheren dalam kelompok kerja,
yaitu pembentukan klik dan tekanan kelompok dan stereotip,
ketergantungan tugas, anggota tim mempertahankan posisinya secara
emosional, faktor-faktor inheren dalam suatu hubungan, yaitu pola
komunikasi dan pelanggaran aturan main dalam suatu hubungan,
tindakan bermusuhan, faktor-faktor inheren yang menjadi pertimbangan
seseorang, yaitu pertentangan kepribadian atau perbedaan gender dan
usia, faktor-faktor inheren dalam penilaian dan perlakuan kita terhadap
orang lain, misalnya asumsi mengenai orang lain, penyalahgunaan
wewenang dan taktik kekuasaan dan manipulasi, memegang posisinya
dengan kuat, persepsi atas ketidakseimbangan atau ketidakadilan dalam
pemberian ganjaran, ketidakseimbangan penugasan kerja, dan
ketidakseimbangan kondisi-kondisi kerja, faktor-faktor inheren dalam
penilaian kita terhadap suatu situasi, misalnya harapan dan keyakinan
umum, kesalahpahaman, keyakinan dan asumsi yang tidak logis,
persaingan terhadap sumber-sumber.
3. Akibat-akibat Konflik
Dampak konflik dalam kehidupan masyarakat adalah meningkatkan
solidaritas sesama anggota masyarakat yang mengalami konflik dengan
masyarakat lainnya dan mungkin juga membuat keretakan hubungan
antar masyarakat yang bertikai. Konflik dapat berakibat negatif maupun
positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
1. Akibat negatif dari konflik:
a. Menghambat komunikasi.
b. Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
c. Mengganggu kerjasama atau “team work”.
d. Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
e. Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
f. Individu atau personil mengalami tekanan (stress), mengganggu
konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri,
frustasi, dan apatisme.
2. Akibat Positif dari konflik:
a. Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
b. Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
c. Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan
perbaikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program,
bahkan tujuan organisasi.
d. Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
e. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan
pendapat.
E. Resolusi Konflik
Menurut Dean G. Pruitt, dkk (2011:55-61), secara terperinci di
jelaskan berbagai macam strategi yang di gunakan oleh pihak-pihak yang
mengalami konflik dan meneliti apa penyebab dan konsekuensi yang
timbul dari penggunaan setiap strategi. Teori strategi resolusi konflik yang
digunakan antara lain:
1. Strategi contending (” bertanding”)
Yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih di sukai oleh salah
satu pihak atas pihak lain. Contohnya, Presiden Reagan menerapkan
perilaku contentious (“suka bertengkar”) ketika ia secara sepihak memecat
para anggota serikat buruh yang mengikuti aksi mogok. Juga, bagian
penjualan dan produksi yang pada awalnya berargumentasi agar pihak
lain mengikuti keinginannya, seperti halnya Israel dan Mesir pada tahap
awal perundingan Camp David.
2. Strategi yielding (” mengalah”)
37
Yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang
dari yang sebetulnya di inginkan. Inilah cara bagian penjualan dan
produksi mengatasi perselisihan mereka atas penjadwalan produksi.
Masing-masing pihak bersedia menerima kurang dari sebetulnya mereka
inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat di terima kedua belah
pihak. Apakah kesepakatan semacam itu benar-benar dapat memuaskan
kedua belah pihak? Kita tidak dapat memastikannya, tetapi ada satu
alasan untuk mempertanyakan apakah sebuah solusi “yang terburuk dari
dua pilihan” tidak mempunyai dampak tertentu. Yielding memang
menciptakan solusi, tetapi bukan berarti solusi yang berkualitas tinggi.
3. Strategi Problem Solving (” pemecahan masalah”)
Yaitu mencari alternatif yang memuaskan kedua belah pihak.
Biasanya keputusan yang menguntungkan salah satu pihak, berpontensi
untuk menyebabkan konflik antar kedua belah pihak. Telah banyak kasus
yang menimbulkan konflik besar-besaran akibat tidak adanya keadilan
yang bisa ditegakkan. Misalnya; sistem pemerintahan sekarang dan
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak relevan
dengan apa yang inginkan masyarakat. Salah satunya, kebijakan
mengenai BBM. Timbulnya konflik atau demonstrasi yang dilakukan oleh
kalangan mahasiswa, itu disebabkan karena adanya salah satu pihak
yang dirugikan.
Apabila pihak-pihak tidak bersedia berunding atau usaha dan
kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan
dalam penyelesaian konflik.
a. Arbitrase (arbitration)
Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan
berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan
mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua
pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada
terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan
destruktif.
b. Penengahan (mediation)
Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi
pihak-pihak yang terkait. Mediator dapat membantu
mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus,
menjernihkan dan memperjelas masalah serta
melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara
terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada
bakat dan ciri perilaku mediator.
c. Konsultasi
Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak
serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk
menyelesaikan konflik. Konsultasi tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk
menengahi. Ia menggunakan berbagai teknik untuk
meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku
kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga
menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi
pokok dari pihak-pihak.
4. Strategi With Drawing (” menarik diri”)
Yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik
maupun secara psikologis. Di antara sekian banyak orang yang sering
terlibat dalam terjadinya konflik, ada beberapa orang yang lebih memilih
meninggalkan situasi konflik, entah karena tidak ada kepentinganya atau
karena ia menganggap bahwa konflik hanya akan memperpanjang
masalah. Akan tetapi hal inipun bisa berpengaruh terhadap redamnya
konflik, karena kemungkinan besar orang yang tidak menyukai situasi
konflik, akan melakukan doktrinisasi terhadap orang-orang disekelilingnya.
5. Strategi inaction (” diam”)
Yaitu tidak melakukan apa pun. Hal itu bukan di sebabkan karena
para pemimpin berunding lamban, atau merupakan pengambil keputusan
yang tidak mampu bersikap tegas, tetapi karena prosesnya memang
dirancang seperti itu. Masing-masing pihak saling menunggu langkah
berikut dari pihak lainnya, entah sampai kapan.
Menurut Wahyuni dalam Sumaryanto (2010:8-13), untuk
menyelesaikan konflik ada beberapa cara yang harus dilakukan antara
lain:
a. Disiplin
Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan
mencegah konflik. Seseorang harus mengetahui dan memahami
peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas,
mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
b. Pertimbangan pengalaman dalam tahapan kehidupan
Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai
tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya.
c. Komunikasi
Suatu komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang
terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer
untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi
yang efektif dalam kegiatan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan
sebagai satu cara hidup.
d. Mendengarkan secara aktif
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola
konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan seseorang telah
memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali
seseorang dengan tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
Sedangkan dalam penanganan konflik, ada lima tindakan yang
dapat kita lakukan diantaranya:
1. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan
sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses
dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat,
kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital.
Hanya perlu diperlihatkan situasi menang-kalah (win-win solution) akan
terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi
konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan
atasan-bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya
(kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
2. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindar dari situasi
tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Situasi menang kalah terjadi lagi disini.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba
untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik untuk sementara.
Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik
meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena
merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut
3. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan
sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu.
Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita
merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap
menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara
kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama disini.
4. Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa
kedua hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang
utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian
kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win
solution)
5. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dan saling bekerja sama.
Daftar Pustaka
Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher
Harskamp van Anton. 2005. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kanisius
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Pruitt G. Dean; Rubin Z. Jeffreyy. 2011. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: