Etik dan Emik Tentang Sabung-ayam di Bali

Tulisan ini merupakan tugas kuliah pada semester 3. Dalam mata kuliah Kajian Etnografi. Tulisan ini berisi pandangan etik dan emik pada bacaan “Permainan Mendalam : Catatan Tentang Sabung Ayam di bali.

  1. Etik dan Emik bagi peneliti
  • etik
  • Geertz dan isterinya pada awal bulan april 1958, tiba di sebuah desa Bali sebagai antropolog untuk melakukan studi. Sebagai sebuah tempat terpencil, dengan kira-kira lima ratus orang. dan relatif terpencil.
  • Geertz dan isterinya tidak disambut baik oleh masyarakat Bali.tetapi tak seorangpun yang menunjukkan rasa tidak senang ataupun mengatakan sesuatu yang tidak enak. Apabila mendekati orang, orang itu pasti menjauh. Setelah seminggu ada acara sabung ayam untuk mendirikan sebuah sekolah. Sabung ayam tersebut dilakukan di tempat yang terpencil agar tidak ada pengrebekan. Namun polisi datang dan menghentikannya. Semua warga berlarian termasuk geertz dan isterinya juga ikut berlari. Warga merasa bingung mengapa geertz ikut lari, mengapa tidak bilang sebagai penonton. Dari hal tersebut geertz dan isterinya mulai di pandang di desa.
  • Emik
  • Ayam jantan adalah ungkapan simbolis atau ungkapan kebesaran pemiliknya sendiri, yakni ego lelaki yang narsistis terungkap dalam pengertian aesopia, ayam itu juga ungkapan oleh orang bali dianggap sebagai pembalikan langsung secara estetis, moral, metafisis dari status manusia:kebinatangan.
  • Dalam sabung ayam, manusia dan binatang, baik dan jahat, ego dan id, kekuatan kretif kejantanan yang di rangsang dan kekuatan destruktif kebinatangan yang diumbar, bersatu padu dalam sebuah drama berdarah tentang kebencian, kekejaman, kekerasan, dan maut.

  1. Etik dan Emik bagi Tineliti
  • Etik
  • Dalam sebuah pertaruhan panjang, pertandingan yang di laksanakan dengan baik yaitu jenis pertandingan yang dianggap orang bali sebagai “sabung ayam yang sesungguhnya”, suasana kerumunan, suasana kekacauan belaka yang terjadi leluasa, dengan semua orang melambai-lambai, berteriak-teriak, mendorong-dorong, memanjat sangat kuat itu bukan sabung ayam.
  • Paradoks uang sungguhan di tengah-tengah, uang rekaan di luar dengan demikian hanya tampaknya saja. Kedua sistem itu, meskipun secara resmi tidak sama, tidak sungguh-sungguh bertentangan satu sama lain, melainkan bagian dari satu sistem yang lebih besar dimana petaruhan pusat , katakanlah pusat gravitasi, arah akhir petaruhan yang singkat dari skala itu.

  • Emik
  • Kegandaan bersilangan dari sebuah peristiwa ini, karena dianggap sebagai fakta alam, adalah kemarahan tak terkendali, dan karena dianggap sebagai fakta kebudayaan adalah bentuk yang sempurna , mendefinisikan sabung ayam sebagai sebuah entitas sosiologis.
  • Ada sebuah paradigma petaruhan yang pasti dan jelas yang berlaku dalam rentetan-rentetsn ysng berkesinambungan dari sepuluh ke sembilan pada akhir yang singkat dua ke satu pada yang panjang : 10-9, 9-8, 9-7, 7-6, 6-5, 5-4, 4-3, 3-2, 2-1. Orang yang ingin mendukung jago underdog meneriaka nomer pihaknya menunjukkan taruhan yang ingin di berikan. Yaitu kalau dia berteriak gasal “lima”, ia menginginkan jago underdog itu pada lima untuk empat , dan seterusnya.
  • Yang membuat sabung ayam orang Bali mendalam bukanlah uang itu sendiri melainkan apa yang dapat memperdalam permainan itu, meski uang jadi penyebabnya, yaitu perpindahan hirarkhi status orang Bali ke dlaam susunan sabung ayam.
Tulisan ini dipublikasikan di Artikel Kuliah Sosant. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: