DAP (Developmentally Appropriate Practice)

DAP merupakan proses pembelajaran yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak, memberikan proses belajar yang patut dan menyenangkan, interaktif, aplikatif, dan konstruktivis. Tujuan dari DAP adalah memusatkan perhatian kita pada segala sesuatu yang kita ketahui tentang anak dan apa yang dapat kita pelajari tentang anak sebagai individu dan keluarga mereka sebagai dasar pengambilan keputusan. Anak merupakan seseorang yang istimewa serta memiliki gaya belajar, minat, kepribadian, temperampen, kemampuan dan ketidakmampuan, tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda dari masing-masing anak. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkrit serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak. Proses pembelajaran DAP juga dapat membangkitkan keingintahuan anak melalui kegiatan eksplorasi, eksperimen dan dalam pengalaman nyata.

DAP memiliki tiga dimensi yang harus dipahami. Tiga dimensi tersebut adalah ;

  1. Kesesuaian Usia

Dalam dimensi ini pendidik diharapkan memahami tahapan perkembangan anak secara kronologis. Pemahaman tentang hal ini dapat menjadi bekal bagi pendidik untuk mengetahui aktifitas, materi, dan interaksi social apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Hal ini sangat penting sebagai acuan dalam merancang dan menerapkan kurikulum, serta menyiapkan lingkungan belajar yang patut dan menyenangkan.

 

  1. Kesesuaian Individu

Pendidik harus memahami bahwa setiap anak merupakan pribadi yang unik, dimana ia membawa bakat, minat, kelebihan dan kekerangannya, serta pengalaman masing – masing anak dalam berinteraksi. Program DAP yang dikemukakan oleh Bredekamp bahwasanya pada proses pembelajaran hendaknya menyediakan berbagai aktivitas dan bahan-bahan yang kaya serta menawarkan pilihan bagi siswa sehingga siswa dapat memilihnya untuk kegiatan kelompok kecil maupun mandiri dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinisiatif sendiri, melakukan keterampilan atas prakarsa sendiri sebagai aktivitas yang dipilihnya. Pembelajaran terpadu juga menekankan integrasi berbagai aktivitas untuk mengeksplorasi objek, topik, atau tema yang merupakan kejadian-kejadian, fakta, dan peristiwa yang otentik. Pelaksanaan pembelajaran terpadu pada dasarnya agar kurikulum itu bermakna bagi anak. Proses pembelajaran seharusnya memperhatikan kebermaknaan artinya apa yang bermakna bagi anak menunjuk pada pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dengan minat-minatnya

  1. Kesesuaian Sosial dan Budaya

Pemahaman pendidik terhadap latar belakang sosial budaya anak dapat dijadikan dijadikan sebagai acuan guru dalam mempersiapkan materi pembelajaran yang relevan dan bermakna bagi anak. Disamping itu, pendidik juga dapat mempersiapkan anak secara lebih dini untuk menjadi individu yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budayanya.

Metode pembelajaran dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahap perkembangan anak juga dapat memperlihatkan keunikan anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan.

Tahap-tahap Pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice)

  1. Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asyik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi anak. Misalnya dengan games (kegiatan yang menyenangkan) akan melibatkan seluruh aspek fisik, emosi, sosial dan kognitif anak secara bersamaan (simultan).
  2. Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya.
  3. Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahu lebih banyak
  4. Berikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman kongkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan ceramah, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata.

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Bidikmisi Blog Awards di Universitas Negeri Semarang. Tulisan ini adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan”