• Budaya Sebagai Sistem Adaptif, Ideasional dan Simbolik

    hai guys kali ini saya akan memposting mengenai salah satu tugas mata kuliah teori budaya nih. Mata kuliah ini saya tempuh pada semester 4 dengan dosen pengampu pak Gunawan. Pada tugas ini mahasiswa diminta untuk membaca dan mengkaji jurnal mengenai budaya sebagai sistem adaptif, budaya sebagai sistem ideasional, budaya sebagai sistem simbolik serta analaisisnya.

    A. Budaya Sebagai Sistem Adaptif
    Dalam jurnal teori – teori tentang budaya yang saya baca terdapat satu aliran yang melihat kebudayaan dari perspektif evolusioner. Perspektif evolusioner mengkaji tentang evolusi makhluk hominid (Australopithecus dan Pithecantropus) dan bentuk biologis manusia yang semakin berkembang dengan mengikuti proses pembelajaran budaya yang mereka dapatkan di dalam kehidupan sosial masyarakat. Di dalam teori tersebut terdapat model evolusioner seleksi alam atas dasar biologis terhadap bangunan kultural yang membuat para antropolog bertanya tentang bagaimana cara sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat mampu mengembangkan budaya-budaya tertentu yang berasal dari dalam maupun berasal dari luar kelompok mereka. Di dalam tingkah laku manusia terdapat komponen kultural dan komponen biologis yang saling berkaitan satu sama lain dan telah banyak diperbincangkan oleh manusia. Satu isu yang penting di dalam pembahasan ini adalah mengenai bagaimana bahasa itu dapat berkembang dan telah berada di tingkat mana perkembangan bahasa yang merupakan bagian dari kebudayaan di dalam masyarakat. Lalu yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah bahasa sudah menjadi alat komunikasi simbolik saat manusia belum mencapai titik modern seperti saat ini? Dan sebelum mengenal bahasa, bagaimana cara manusia zaman dulu berkomunikasi satu sama lain?

    Secara alami manusia akan mengalami evolusi begitu pula dengan budaya dan di beberapa tingkat evolusi budaya biasanya akan merubah struktur budaya yang ada namun tidak jarang tetap ada yang bisa mempertahankan budaya tersebut. Dari sudut pandang teori kultural, perkembangan telah muncul dari salah satu pendekatan evolusioner atau ekologis terhadap budaya sebagai sitem adaptif (Keesing 1997:3). Para pemikir pendekatan itu adalah Michigan dan Columbia. Sebagian besar sarjana antropolog yang disebut oleh penulis dalam (Kessing 1997) dengan sebutan “cultural adaptionist” sepakat dalam beberapa asumsi pokok yaitu:

    a. Budaya merupakan sistem dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial dan bertujuan untuk menghubungkan komunitas manusia. Pada asumsi pertama ini, konsep budaya turun menjadi adat istiadat atau cara kehidupan manusia.
    b. Perubahan kultural merupakan suatu proses adaptasi atau seleksi alam. Dilihat dari sistem adaptif, budaya berubah ke arah keseimbangan ekosistem. Namun apabila perubahan yang diinginkan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan maka akan terjadi ketidakseimbangan karena terganggu oleh perubahan lingkungan, teknologi, atau gangguan dari faktor lain yang datang dari dalam maupun dari luar kelompok manusia tersebut.
    c. Teknologi, subsistence economy, dan elemen organisasi sosial yang terikat langsung dengan produksi adalah bidang pokok budaya yang paling bersifat adaptif. Perubahan biasanya dimulai dari bidang-bidang tersebut. Dalam hal ini, Harris mendapatkan kritik dari para aliran Marxist dimana mereka menekankan konflik dan kontradiksi di dalam masyarakat. Jadi tidak hanya sekedar adaptasi di dalam suatu tatanan sosial namun juga mampu menghasilkan proses perubahan sosial dan budaya.
    d. Komponen-komponen ideasional dari sistem kultural dianggap mampu mengontrol penduduk, menjaga ekosistem, dan lain sebagainya.
    Analisis yang dilakukan oleh Rappaport dianggap sebagai salah satu hal yang mengagumkan pada era tersebut dalam bidang antropolog. Analisisnya mengenai lingkaran upacara yang dilakukan oleh orang Tsembaga Maring sebagai komponen dalam satu sistem adaptif. Upacara tersebut dianggap memainkan peranan penting dalam adaptasi budaya.

    B. Budaya Sebagai Sistem Ideasional
    Dalam pembahasan budaya sebagai sistem ideasional, para ahli antropologi memiliki satu premis yang berbeda dengan para antropolog pendahulu mereka. Geertz, Goodenough, Levi-Strauss, Schneider, dan lain sebagainya menyepakati satu hal penting yaitu bahwa bidang sosial dan bidang kultural harus berdiri sendiri walaupun kedua bidang tersebut saling berkaitan satu sama lain namun para ahli ini mengatakan bahwa bidang itu harus dilihat berdasarkan posisinya masing-masing tidak bisa selalu ditempatkan pada posisi yang sama dan sejajar. Pemisahan kedua bidang tersebut diyakini oleh mereka dapat menajamkan konsep “budaya”.

    Setelah mengadakan sebuah kesepakatan para ahli antropolog ini menghadapi sebuah permasalahan yang membingungkan yaitu mengenai apa yang harus dilakukan oleh mereka terhadap paradoks dasar dari kehidupan manusia. Hingga akhirnya masing-masing dari mereka mencoba untuk memecahkan masalah ini dengan cara beradu argument dalam memahami tentang sebuah konsep “budaya” tersebut untuk mencari jalan keluar.
    Pada bagian selanjutnya, penulis menganggap bahwa setiap usaha yang akan dilakukan atau yang sudah dilakukan untuk memperkecil sistem budaya menjadi sebuah sistem kognitif individu menjadi tantangan yang penuh dengan bahaya. Karena budaya berasal dari dalam pikiran otak manusia yang dipelajari terlebih dahulu oleh individu jadi model budaya juga harus dikaitkan dengan sistem pengetahuan tentang struktur dan proses berpikir karena jika hal tersebut tidak dilakukan maka pembahasan tentang budaya yang telah dilakukan akan mengalami penurunan dan hanya menjadi latihan bahasa semata. Geertz telah berhasil membawa pengaruh fenomenologi, filsafat, linguistik, dan simbolik ke dalam ilmu antropolog. Tetapi dia juga harus sadar bahwa revolusi yang terjadi di dalam ilmu alamlah yang mendorong kemajuan filsafat modern itu sendiri bukan sebaliknya.

    Kesimpulan yang bisa saya berikan pada pembahasan kedua ini adalah saat kita mempelajari sebuah simbol budaya yang merupakan milik bersama di dalam masyarakat umum, hal tersebut dapat dianggap sebagai sebuah bahaya yang harus diwaspadai. Bahaya yang dimaksud itu terletak pada keanekaragaman dan juga perubahan budaya yang telah lama tersembunyi dan belum diketahui oleh banyak orang termasuk para ahli antropolog. Oleh karena itu, berbagai cara ditempuh oleh mereka untuk dapat menemukan penyelesaian konseptual yang diidam-idamkan selama ini dengan terus memperhatikan apa yang ada di masyarakat dengan tetap menerima budaya sebagai satu subsistem ideasional yang kompleks.

    C. Orientasi Teoritik Yang Dihasilkan
    1. Budaya Sebagai Sistem Kognitif
    Goodenough memandang budaya sebagai sebuah sistem pengetahuan. Karena budaya berada di dalam pikiran manusia yang kemudian digunakan manusia untuk menafsirkan fenomena-fenomena yang ada di sekitar masyarakat dan untuk mengetahui bagaimana cara berbuat dan mengahadapi fenomena tersebut.
    Lalu dia mempertentangkan pandangan ideasionalnya dengan pandangan orang adaptionist tentang kebudayaan. Para adaptionist menganggap bahwa kebudayaan sebagai pola yang berada di dalam suatu kelompok masyarakat dan bersifat ajeg. Pola-pola ini bersifat universal karena hampir dimiliki oleh setiap komuniti masyarakat.
    Jika pada pembahasan awal Goodenough memandang budaya hanya sebagai sebuah sistem pengetahuan saja. Kemudian dia mencoba memperdalam gagasan dengan mengatakan bahwa orientasi teoritik yang dihasilkan dalam pembahasan budaya sebagai sistem kognitif ini adalah budaya secara epistimologis berada di dalam tempat dan kedudukan yang hampir sama dengan bahasa sebagai aturan ideasional yang dapat diamati.

    Bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari di dalam masyarakat yang merupakan bagian dari budaya masih menjadi perbincangan pelik para antropolog. Metode dan model yang terdapat pada linguistik yang dihasilkan dari pengetahuan manusia dianggap memadai untuk digunakan dalam bidang budaya yang lain. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya pada penjelasan diatas bahwa bahasa merupakan satu subsistem dari budaya atau bahasa itu termasuk ke dalam bagian kecil budaya. Jadi menurut saya, bahasa dan budaya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena mereka saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Bahasa adalah bagian dari sebuah kebudayaan dan pada kebudayaan terdapat komponen bahasa di dalamnya.

    C. Budaya Sebagai Sistem Simbolik
    Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya ditunjang oleh satu aliran kemanusiaan yang luas dan semakin lama semakin menjadi sistematis (Kessing 1997:10). Ketika Geertz berada pada puncak pemikiran nya dia menciptakan sebuah grand theory yang digunakan dalam usahanya untuk menafsirkan bahan-bahan etnografi secara khusus. Geertz menganggap bahwa satu kebudayaan merupakan kumpulan dari sebuah teks.
    Ketika para antropolog mulai mengembangkan suatu perspektif kebudayaan sebagai suatu sistem simbol, makna, dan nilai-nilai. Saat itu juga berbagai disiplin ilmu antropologi yang menggunakan orientasi ini mulai bermunculan satu persatu. Salah satunya adalah antopologi semiotik yang digagas oleh Geertz.

    Tidak ingin kalah dengan Geertz, Schneider lalu mulai mengembangkan satu keragka kerja dengan caranya sendiri. Dia mengembangkan konsep budaya dengan cara membedakan satu level aturan dan norma yang mengajarkan manusia tentang bagaimana caranya belajar dan bertindak di dalam dunia sosialnya. Schneider juga berusaha untuk memisahkan sistem simbol dan makna yang melekat dalam sistem normatif secara konseptual. Schneider mencoba untuk memperdalam ranah sistem sosial yang didalamnya mencakup kekerabatan, agama, ekonomi, dan politik dengan cara menganalisisnya. Dia menganggap bahwa analisis budaya yang murni dapat melacak dengan baik interakasi simbol, premis, dan prinsip yang muncul.

    Jadi secara garis besar orientasi teoritik yang dihasilkan dari pembahasan ini adalah teori semiotik Geertz dan teori simbolik yang dikemukakan oleh Schneider. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah model dari manusia sebagai makhluk hidup yang menggunakan simbol. Antropologi simbolik melakukan kajian yang universal dalam ruang lingkupnya mengenai simbol yang digunakan makhluk hidup dalam berkomunikasi.

    D. Dasar Asumsi
    1. Budaya Sebagai Sistem Kognitif
    Kemunculan satu antropologi yang sering disebut dengan “etnografi baru” pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang mengkaji tentang sistem klasifikasi penduduk setempa. Kemudian muncul satu pandangan baru terhadap budaya yang mengasumsikam bahwa budaya sebagai sebuah sistem pengetahuan. Budaya merupakan sesuatu yang berada di dalam pikiran otak manusia yang berupa gagasan kemudian pikiran atau gagasan tersebut dituangkan ke dalam sebuah tindakan atau perbuatan. Budaya bukanlah suatu fenomena material yang berupa benda-benda, emosi, tingkah laku dan lain sebagainya. Namun maknanya lebih dari itu, budaya lah yang mengorganisasikan pikiran manusia untuk melakukan hal-hal tersebut seperti membuat benda, bertingkah laku, dan mengeluarkan emosi.

    2. Budaya Sebagai Sistem Simbolik
    Terdapat beberapa cara untuk membahas sebuah kebudayaan salah satunya yaitu dengan cara memandang kebudayaan sebagai sebuah sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama dalam masyarakat. Geertz melihat bahwa pandangan kognitif yang dikemukakan oleh Goodenough dan para ahli ”etnografi baru” memiliki pandangan yang kabur. Dia menentang pendapat para ahli “etnografi baru” yang mengatakan bahwa makna terletak di dalam kepala setiap orang, menurutnya simbol dan makna merupakan bagian dari masyarakat dan dimiliki secara bersama karena bersifat publik

    E. Implikasi Metodologis
    Metodologis merupakan ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran yang sedang dikaji atas sebuah realitas dengan cara-cara yang terstruktur. Pada pembahasan awal mengenai budaya sebagai sistem kognitif implikasi metodologisnya berupa konsep yang mengacu pada pandangan Goodenough bahwa budaya berada dalam alam yang sama dengan “bahasa” dimana bahasa merupakan satu subsistem dari budaya sehingga para peneliti antropologi menduga bahwa metode-metode dan model-model linguistik memadai untuk digunakan dalam bidang lain diluar antropologi. Lingustik transformasional dianggap mampu memberikan pandangan yang berguna mengenai bagaimana cara pengetahuan tentang budaya yang ada di balik permukaan dapat diorganisasikan di dalam masyarakat.

    Sedangkan implikasi metodologis dari budaya sebagai sistem simbolik menurut pemahaman saya setelah membaca referensi jurnal tersebut adalah berupa konsep simbol dan makna yang ada di dalam budaya. Mempelajari budaya sama artinya dengan mempelajari makna yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Kebudayaan dianggap sebagai sebuah kumpulan teks. Sekumpulan teks tersebut pula lah yang membuat ahli antropolog seperti Geertz berpikir tentang bagaimana satu kebudayaan yang diartikan sebagai satu kumpulan teks dapat dirangkum bersama dan hal tersebut belum pernah dikerjakan dengan jelas (Kessing 1997:11). Dia juga mencoba untuk menggeneralisasikan agama, ideologi, konsep, dan pikiran ke dalam sebuah pola tertentu. Lalu akhirnya Schneider mengusulkan satu analisis kultural (sistem budaya) sebagai pendekatan antropologis. Dia juga mencoba untuk memisahkan sistem simbol dan makna yang melekat dalam sistem normatif.

    F. Hasil Analisis
    Dalam pembahasan budaya yang dianggap sebagai sistem kognitif. Bahasa merupakan bagian dari sebuah kebudayaan. Bahkan Goodenough memberikan posisi yang sama antara bahasa dan budaya. Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlampau jauh di luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah semantik yang terikat secara terbatas dan ketat (Keesing 1997:9). Pada awalnya penyebaran antropologi kognitif hanya menghasilkan beberapa karangan deskripsi mengenai budaya. Dulu, para antropolog kognitif belum mempunyai pandangan yang luas mengenai budaya sehingga mereka hanya meneliti sampai di dasar permukaan saja tidak mencapai lapisan dalam. Hal tersebut yang mengakibatkan para antropolog memiliki keterbatasan bahan untuk menganalisis hasil penelitiannya secara lebih mendalam dan mendetail. Pengembangan dalam penelitian pada tahap ini belum mengalami perkembangan yang signifikan dikarenakan masih terbatasnya metode dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

    Sedangkan dalam pembahasan budaya sebagai sistem simbolik. Terdapat dua tokoh ahli antropolog yang melihat simbol dan makna termasuk ke dalam kategori budaya. Berbeda dengan pendapat tokoh yang ada di sistem kognitif, pada tahap simbolik ini Geertz menganggap bahwa pandangan kognitif para “etnografi baru” masih kabur dan belum bisa menjelaskan secara lebih detail mengenai pemahaman tentang bahasa sebagai budaya seperti yang dimaksudkan karena penjelasannya merupakan penjelasan dasar saja. Geertz mengatakan bahwa analisis budaya merupakan masalah kompleks yang membuat individu saling berkaitan bahkan ketergantungan. Hingga akhirnya Schneider mengusulkan satu analisis kultural yang murni dan tidak tercampur dengan kajian sosial.

    Daftar Pustaka
    Keesing, Roger M. 1997. Teori-Teori Tentang Budaya. Jurnal Antropologi Indonesia. No. 52:4-25. Journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/3313/2600. Diunduh pada 30 Juni 2017.

    terima kasih buat kalian yang sudah membaca postingan saya. semoga bermanfaat. see you :)

    Categories: Kumpulan Tugas Sosiologi dan Antropologi

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    * Kode Akses Komentar:

    * Tuliskan kode akses komentar diatas: