Beberapa hari bekalangan ini dunia pendidikan tinggi sedang heboh mengenai Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristek Dikti) No. 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Diskusi panas sempat muncul di harian Kompas selama beberapa hari. Hal tersebut karena pada pasal 9 dinyatakan bahwa professor yang tidak dapat memenuhi kewajiban menghasilkan karya tulis ilmiah pada jurnal internasional atau jurnal internasional bereputasi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun akan diberhentikan sementara tunjangan kehormatannya.

Salah satu kriteria disebut sebagai jurnal internasional dan internasional bereputasi dibuktikan dengan jurnal tersebut diideks oleh pemeringkatan internasional yang diakui oleh kementerian. Antara lain Web of Science dan Scopus. Hal inilah yang memicu kontroversi, karena tidak mudah mempublikasikan artikel ilmiah akademik pada jurnal-jurnal internasional dan muncul isu nasionalisme dan kapitalisasi pendidikan, misalnya dikemukakan Idrus Affandi, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Pemicu kebijakan pemerintah tersebut tak lain adalah keinginan menyaingi capaian publikasi ilmiah akademisi negeri tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Kemristek Dikti, Ocky Karna Rajasa, pada September 2016 menyatakan bahwa publikasi ilmiah hasil penelitian Malaysia di jurnal internasional mencapai kisaran 25.000, sedangkan Indonesia baru 5.200. Dengan jumlah profesor sekitar 5.100 jika tiap profesor menulis satu artikel ilmiah di jurnal internasional pasti bisa menyalip Malaysia (ubb.ac.id, 2016).

Jika kita telaah lebih jauh, sebenarnya obsesi pemerintah tersebut sama seperti obsesi yang mengarahkan perguruan tinggi di Indonesia untuk menjadi World Class University. Barangkali sama juga dengan obsesi mengharumkan nama bangsa di kancah internasional para atlet Indonesia melalui perhelatan Olimpiade, Asean games, piala AFF, dan lainnya. Namun jika dilihat manfaat langsung terhadap masyarakat di Indonesia agaknya kita mesti berpikir jangka panjang.

Hal tersebut karena artikel ilmiah yang dimuat oleh jurnal internasional bukanlah konsumsi sehari-hari masyarakat kita. Pengambil kebijakan di banyak bidang kehidupan, termasuk pendidikan, agaknya tak banyak juga yang mendasarkan pada hasil-hasil riset dari jurnal internasional. Dengan begitu benar argumentasi dari Idrus Affandi bahwa yang mendapat untung dari publikasi riset kita di jurnal internasional terutama adalah komunitas intelektual luar negeri. Belum lagi sekian triliun rupiah yang digelontorkan untuk mendorong tercapainya obsesi tersebut.

Perkembangan intelektual masyarakat kita tidak bertumpu pada publikasi artikel di jurnal, baik jurnal nasional apalagi internasional. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat kita sejak masa pra kemerdekaan hingga sekarang barangkali lebih banyak dibentuk oleh publikasi massal di surat kabar dan buku-buku. Karena media-media itulah yang jadi santapan masyarakat dan para pembuat kebijakan sehari-hari. Di era digital sekarang bahkan publikasi dalam jaringan (daring/online) tampak lebih banyak berpengaruh hingga mampu menggerakkan massa secara masif.

Jurnal ilmiah, terlebih jurnal internasional sifatnya memang relatif elitis dan visinya memang jangka panjang. Hal itu karena ia ditujukan untuk publik cendekiawan dalam bidang keilmuan tertentu. Makin spesifik makin jurnal tersebut dinilai bagus. Dengan tata tulis yang bersifat referensial dan intertekstual yang memerlukan keterampilan tersendiri untuk memahaminya menjadikan jurnal ilmiah bukanlah bacaan orang awam. Walau begitu jurnal ilmiah sangat berpotensi memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena sekian banyak temuan yang berguna bagi masyarakat pada dasarnya bertumpu pada riset-riset terdahulu yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah tersebut.

Dengan demikian tak bisa kita berharap adanya implikasi langsung dari jurnal ilmiah di masyarakat. Namun dalam banyak kasus jika riset-riset tersebut berhasil dikembangkan jadi temuan-temuan yang lebih aplikatif untuk kehidupan masyarakat, biasanya imbasnya sangat besar untuk perubahan sosial. Demikian juga seandainya kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah didasarkan telaah atas hasil-hasil riset di jurnal ilmiah, barangkali akan lebih tepat dan baik dibandingkan hanya didasarkan pada asumsi-asumsi belaka.

Hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah ketika mengeluarkan Permenristek Dikti No. 20/2017 semestinya tidak melulu soal insentif atau hadiah yang dijanjikan kepada para penulis. Lebih dari itu pemerintah perlu melihat pada beban kerja dosen. Prinsipnya sederhana: jangan beri beban mengajar terlalu banyak agar punya waktu untuk serius meneliti dan menulis artikel, buku, dan karya lainnya. Jadwal mengajar membutuhkan konsentrasi dan waktu lebih banyak untuk hadir di kelas, mengoreksi tugas mahasiswa, memberi balikan (feedback), membimbing riset dan mendampingi kegiatan mahasiswa. Belum lagi tugas administrasi sebagai panitia kegiatan tertentu yang tak terelakkan.

Jika satu dosen dalam satu semester mengampu 8 (delapan) kelas, per kelas berisi 30-50 mahasiswa, berapa banyak waktu yang diperlukan untuk mengoreksi 360-an makalah jika tiap mahasiswa menulis 1 makalah plus tiap 1 kelas terdapat 5 (lima) kelompok dan tugasnya juga menulis makalah? Berapa banyak buku dan jurnal ilmiah yang perlu dibaca untuk up date pengetahuan dosen dan waktu yang dibutuhkan untuk membacanya jika satu semester mengampu 4-5 mata kuliah?

Walau begitu sudah selayaknya dosen level profesor selalu berkarya dan karyanya harus berkualitas unggul, baik di jurnal maupun media massa lain. Menulis di jurnal internasional mengajari kita menulis secara ilmiah untuk pengembangan ilmu, menulis di media massa mengajak kita menulis secara popular dalam rangka memperluas wawasan masyarakat luas.

Oleh Edi Subkhan, dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (UNNES).