Review Buku Back Door Java : Negara, Rumah Tangga, Dan Kampung Di Keluarga Jawa Karya Jan Newbrry

Haii semua.. kali ini saya memposting tugas kuliah saya di semester 3 yaitu tugas Mata Kuliah Kajian Etnografi. Dalam postingan ini saya mereview buku Back Door Java : Negara, Rumah Tangga, Dan Kampung Di Keluarga Jawa Karya Jan Newbrry

Pendahuluan

Tahun 1966-1998 merupakan tahun berlangsungnya sistem pemerintahan masa orde baru, dimana istilah orde baru tersebut digunakan untuk masa setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru merupakan upaya pemerintah untuk mengoreksi penyimpangan yang dilakukan pada masa orde lama, dimana pada masa orde baru ini pemerintah membangun tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa pancasila serta UUD 1945. Adanya masa orde baru ini memberikan kelebihan kepada masyarakat, salah satunya adalah keberhasilan pemerintah dalam memnjalankan program Keluarga Berencana (KB). Dari situasi tersebut membuat Jan Newberry datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian lapangan.

Melalui tulisan ini saya akan mencoba melakukan review atas tulisan dari Jan Newberry, seorang peneliti asal Universitas Leithbridge, Alberta, Kanada yang melakukan penelitian lapangan etnografi di Indonesia sejak tahun 1992 dan kemudian hasilnya dipubilkasikan dalam bentuk buku yang berjudul Back Door Java : State Formation and the Domestic in Working Class Java. Kemudian buku tersebut di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bernadetta Esti Sumarah dan Masri Maris dengan judul Back Door Java : Negara, Rumah Tangga, dan Kmapung di Keluarga Jawa yang diterbitkan pada bulan Maret 2013.

Buku ini adalah sebuah buku etnografi karya Jan Newberry yang menyorot sebuah lingkungan kampung di sudut Kota Kraton Yogyakarta, Jawa Tengah selama pemerintahan masa orde baru. Pada mulanya, Newberry hendak melakukan penelitian tentang kaitan antara masyarakat pertanian dan negara di sebuah kampung di sudut Kota Kraton Yogyakarta bernama Rumah Putri. Namun kenyataannya, ia justru menghabiskan waktunya di dapur orang Jawa di perkotaan diantara orang miskin dan warga kelas pekerja yang hidup mencari makan dari hari ke hari.

Karya etnografi ini, berisi pemaknaan pintu belakang bagi orang Jawa yang menyorot kehidupan masyarakat perkotaan di sudut kota Yogyakarta selama masa pemerintahan orde baru yang didalamnya mengupas budaya kelas pekerja sebagai cara untuk memahami interkasi masyarakat kampung dengan kekuasaan negara, terutama pada pekerjaan dan kehidupan sehari-hari kaum perempuan serta budaya masyarakat kelas bawah.

Melalui Pintu Belakang Yang Hilang, Sebuah Jalan Masuk

SetelahNewberry kembali ke Jawa Tengah tiga tahun kemudian setelah melakukan penelitian awal dilapangan, ia mendapati rumah yang ia tempati dulu bersama suami dan rekan kerjanya tetap kosng. Awalnya ia pikir, belum adanya pengontrak baru yang cocok selama tiga tahun berselang karena rumah itu terlalu bagus untuk wilayah kelas menengah kota Yogyakarta. Namun, ia temukan teori lokal mengenai mengapa rumahnya tetap kosong karena rumah itu berhantu.

                        Menurut bu sae salah seorang tetangga, sejak kami meninggalkan rumah itu, ada suara-suara aneh dari bagian belakang dekat sumur. Kami sudah mendengar cerita-cerita tentang seorang laki-laki berwajah pucat dengan rambut acak-acakan dan berpakaian gaya zaman kuno terlihat duduk dekat sumur. Setelah diskusi lebih lanjut kami sampai pada sebuah masalah struktural yang lebih mendalam mengenai rumah penulis tersebut; rumah itu tidak memiliki pintu belakang. (hal 2-3)

            Mengenai kaidah lama tentang penelitian lapangan yang dianut oleh penulis bahwa penulis harus mencoba untuk hidup seperti orang-orang yang ia teliti, dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktunya diantara ibu rumah tangga di perkotaan untuk meneliti sebuah perkumpulan nasional ibu rumah tangga yakni PKK. Hal yang ia temukan ialah ruang rumah tangga, yang definisinya ditentukan oleh penulis di lapangan, juga berkaitan dengan masyarakat. Para antropolog melihat keluarga dan rumah tangga sebagai hal yang sama. Sementara penulis terus bekerja dan berusaha serta mengisolasi rumah tangga dari komunitas dan negara.

Pembentukan negara diartikan sebagai kemunculan pertama kali negara sebagai bentuk politik dalam peradaban manusia. Tujuan utama semua sistem politik ialah memastikan kesediaan warga untuk terus menerus tunduk. Pembentukan rumah tangga berkaitan erat dengan kehidupan rumah tangga  dengan organisasi masyarakat. Dari hal itulah pemerintah membuat program nasional yang diperuntukkan bagi ibu rumah tangga seperti PKK. PKK menempatkan perempuan kelas pekerja digaris depan pembangunan Indonesia. Karena itu, kegiatan rumah tangga kaum perempuan dan peranan mereka dalam masyarakat menjadi sebuah bentuk tata pemerintahan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pekerjaan informal dan formal kaum perempuan sebagai sebuah rasionalitas mengatur diri sendiri untuk membantu menciptakan masyarakat moral yang mengatur dan meningkatkan diri sendiri.

Pelaksanaan pemerintahan melalui organisasi masyarakat dan pekerjaan kaum perempuan diwarnai oleh budaya lokal seperti upacara-upacara masyarakat di jawa sebagai benyuk penyebaran kekuasaan negara. Proses pembentukan negara sebagai penyebaran kekuasaan negara sehari-hari melalui bentuk-bentuk pemerintahan ini dapat berubah jika masyarakat lokal menggunakan sumber daya negara untuk tujuannya sendiri. Dengan demikian, ruang rumah tangga menjadi bertambah luas melalui masyarakat dan bersamaan dengan itu diperkuat sebagai tempat yang tepat bagi pekerjaan perempuan.

Tidak adanya pintu belakang pada rumah yang ditinggali oleh penulis berhubungan dengan arti pintu bagi hubungan kekerabatan, tetapi juga dari sisi pesan yang dikirimnya mengenai hubungan pertukaran dalam kampung dan masyarakat dan mengenai keadaan sosio-ekonomi warga kampung yang berubah-ubah. Tidak adanya pintu belakang di rumah, penulis merasakan sebagai kurangnya rasa sosial. Ruang depan harus terbuka bagi semua tamu, artinya pintu depan rumah kampung selalu terbuka. Namun, bagian pintu belakang rumah kampung secara khusus hanya dilewati oleh anggota keluarga dan tetangga dekat.  Komponen-komponen ruang rumah tangga mencakup seluk beluk kekerabatan, kendala dan kebebasan bentuk bangunan, dan standar moral yang tepat bagi kehidupan rumah. Dengan tinggal di sebuah rumah kampung di Jawa penulis memperoleh apa yang diperlukan untuk memahami bagaimana tetangga-tetangga penulis hidup dalam negeri ini, dalam masyarakat, dan dalam keluarga.

Kampung

Kampung adalah lingkungan tetangga, yang dari segi tata ruang didefinisikan sebagai wilayah tempat tinggal, berbeda dengan jalan-jalan raya kota yang hiruk pikuk ynag melingkarinya. Dipihak lain, kampung adalah bagian dari struktur administrasi yang mencakup wilayah perkotaan dan pedesaan dan terentang dari kelompok-kelompok kecil perumahan hingga ke tingkat provinsi. (hal 22)

            Dari definisi kampung tersebut penulis juga menyebutkan definisi umum dari kata Kampung tersebut identik dengan kemiskinan yang padat mampat selain itu arti kampung mencakup pengelompokan menurut suku, pekerjaan, dan kelas. Kehidupan orang kampung mengutamakan perilaku tolong-menolong dan tenggang rasa, tetapi juga dapat berarti pengawasan yang ketat dan penuh curiga oleh tetangga dan kerabat.

            Di wilayah daerah kraton Yogyakarta dan Solo para bangsawan sendiri diwajibkan tinggal di kraton atau di lahan dekat kraton yang dihibahkan kepada mereka oleh raja. Sebagian dari “kehormatan” ini krena raja takut para bangsawan yang memiliki hubungan yang longgar satu sama lain itu dapat dengan cepat menjadi pesaingnya (hal 34). Sebuah kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung. Kepala kampung tidak diangkat secara resmi dan tidak digaji, dan ia memperoleh jabatan itu terutama karena kedudukan sosial, popularitas, atau hal-hal lain mengenai pribadinya yang menyebabkan ia pantas dihormati. Pada tingkat tertentu kampung kehilangan ciri-ciri khasnya dan memperoleh kedudukanya yang sekarang ini sebagai wilayah tempat tinggal ‘orang kecil’ (wong cilik), “masyarakat rumah” menurut kacamata wong cilik, daerah kumuh menurut kacamata banyak ‘orang besar’ (wong gede). (J. Sulivan 1992, dalam Newberry 2013:35)

Kampung di Yogya sudah ada sejak dahulu sebagai unsur-unsur administrasi dan unit-unit de facto sebuah sistem negara.

Ada dua tahap penting dalam perkembangan kampung. Pertama, pembaruan-pembaruan administrasi diluar kraton oleh Belanda. Kedua, perubahan yang terjadi selama pendudukan Jepang.

Struktur administrasi yang ada di kampung adalah hasil dari berbagai upaya untuk menentukan garis-garis batas masyarakat dan tata pemerintahan yang efektif di Indonesia, khususnya di Jawa.

Rumah

Ditengah-tengah sistem keagamaan orang Jawa ada sebuah upacara adat kecil sederhana, resmi, tidak mencolok, bahkan hampir sembunyi-sembnuyi, yakni slametan (kadang-kadang disebut kendurian). Slametan adalah pengungkapan beberapa nilai-nilai utama Jawa yang saling berhubungan dan saling memperkuat (hal 62). Namun, slametan juga digunakan dalam bentuk yang lebih ringkas dalam penyelenggaraan pemerintahan kampung sehari-hari dan dalam kegiatan PKK. Bagi penulis, slametan dipahami sebagai upacara memberi makan anggota masyarakat. Makanan dihidangkan bagi warga, sanak keluarga, tetangga, serta roh dengan imbalan slamet.

            Sesuai dengan pengalaman pribadi penulis ketika melakukan penelitian lapangan ynag menjadi ibu rumah tangga di Jawa, slaah satu keputusan yang diambil tanpa meminta pertimbangan penulis yakni bahwa tamu akan duduk di rumah penulis tetapi makanan akan disiapkan dan disajikan dari rumah sebelah, yaitu dari rumah bu Sae. Hal tersebut dikarenakan rumah penulis tidak memiliki pintu belakang untuk pergi mencari tambahan berbagai perihal yang masih mengalami kekurangan. Ketiadaan pintu belakang di rumah penulis menjadi pintu masuk bagi penulis untuk mengamati bagaimana dapur di kampung melakukan kegiatan, khususnya dalam menyiapkan dan menyelenggarakan acara-acara bersama.

   Ketika acara slametan berlangsung, para tamu masuk ke rumah tanpa suara, kemudian memisahkan menurut jenis kelamin dan duduk bersandar ke dinding. Pemisahan menurut jenis kelamin ini sangat terasa. Penulis pernah melihat seorang perempuan gemuk beringsut melangkahi kaki seorang laki-laki untuk duduk bersama dengan ibu-ibu yang lain . (hal 71-72)

            Tamu dengan status tertinggi ditempatkan di ruang bagian terdalam, menghadap ke pintu depan. Ruang ini sering disediakan bagi tamu laki-laki berstatus tinggi dan bagi tuan rumah (Keller, 1984; yang dikutip dalam Newberry, 2013:72). Menurut pengamatan penulis, tamu yang hadir tampak tegang dan salah tingkah. Percakapan meloncat dari stu topik ke topik yang lain yang tak ada hubnungan sama sekali, dan setiap ornag tampak kaku dan tidak nyaman. Bagian dari posisi ganda penulis sebagai etnografer dan juga ibu rumah tangga kampung, dicerminkan oleh tempat yang ditetapkan bagi penulis dalam slametan itu. Selama slametan, penulis dipaksa untuk berperilaku sebagai orang asing, yang ditandai dengan kehadiran penulis di bagian di depan rumah. Dalam acara slametan tersebut makanan disiapkan dan dibagikan dari pintu belakang, yang memanfaatkan pemuda dan pemudi yang dapat bergerak dengan lincah.

            Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa slametan membawa para tetangga ke dalam rumah melalui pintu depan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya tenaga kerja kaum ibu ke dalam rumah dan arus makanan ke luar rumah dari pintu belakang, untuk tujuan berbagi sumber daya dan memelihara kekerabatan dan hubungan tukar-menukar. Menurut pengalaman penulis, slametan  harus dilihat sebagai cerminan dari hubungan sosial antar tetangga yang diberi makan dan diperkuat melalui pintu depan, dan dari hubungan sosial kekerabatan dan pertukaran yang dipupuk dan diperkuat melalui pintu belakang. Dalam acara slametan ada peran rumah menjadi pangkalan tempat tenaga kerja laki-laki dan perempuan bekerja sama memberi makan warga, dan sebagai fokus bagi sanak saudara. Rumah dan pekerjaan perempuan dalam slametan menjadi bagian dari perangkat alat pemerintahan yang jangkauanya langsung sampai ke dalam ruang rumah tangga kampung.

            Di Jawa terdapat berbagai jenis rumah, dan dari beberapa jenis rumah tersebut penulis menyebutkan bahwa ada beberapa ciri yang sama antara lain ruang tengah atau jogan, di dalam kamar utama yang dibatasi oleh empat tiang vertikal, dan tiga kamar di belakang. Arsitektur tersebut menekankan peranan penting ruang tengah, yang gelap dan pribadi sifatnya, dan hubungan antara ruang-ruang itu dengan tingkat keterbukaan masing-masing. Semakin mendekati ruang tengah, semakin berkurang keterbukaan. Omah mburi , mencerminkan kesatuan dan kelanggengan keluarga, sama pastinya seperti pastinya peran laki-laki dan peran perempuan. Perempuan Jawa umumnya berperan sebagai pengelola keuangan keluarga dan di pedesaan bertugas menyimpan dan membagi–bagi panen padi keluarga. Rumah Jawa dapat “dibaca” sebagai teks untuk memahami pengelompokan peran sosial laki-laki perempuan (gender) dan maknanya bagi orang Jawa. Sumbangan laki-laki dan sumbangan perempuan kepada keluarga dan rumah tangga merupakan bagian dari rangkaian transformasi yang lebih kompleks, transformasi yang berpengaruh pada reproduksi rumah dan kelompok sosial. Pembangunan rumah penulis menyebabkan semua pertukaran sehari-hari pada dasarnya menjadi kegiatan yang berjalan didepan umum. Rumah penulis dibangun oleh keluarga yang lebih berada, yang mereka tidak peduli tentang akibatnya bagi orang lain di kampung. Rumah baru itu menjadi dinding pembatas dalam lingkungan keluarga besar yang lebih terbuka sifatnya. Rumah-rumah kampung berguna untuk analisis sistem kekerabatan kampung, dalam arti konsep ini mampu menangkap sifat lentur sistem kekerabatan kampung dalam kehidupan sehari-hari.

            Di Jawa anak perempuan khususnya anak bungsu, tinggal bersama orang tuanya untuk mengurus mereka di masa tua mereka dan kemudian mewarisi rumah orang tuanya. Menentukan warisan di kampung didasarkan pada prinsip umum warisan sama rata antara anak laki-laki dan anak perempuan, dengan tujuan untuk memelihara kerukunan keluarga, dengan juga mempertimbangkan dan memperhitungkan pekerjaan dan pengalaman hidup setiap anak. Namun masing-masing keluarga dapat menyesuaikan aturan warisan berdasarkan pertimbangan pragmatis tentang siapa yang dapat menjaga orang tua, siapa yang mampu menjalani hidup tanpa bantuan keluarga, dan bagaimana perkembangan jalan hidup keluarga besar.

            Menurut pendapat penulis perkawinan akan digunakan untuk melukiskan bagaimana rumah berperan sebagai simbol persatuan (keluarga) dan penyelaras perbedaan, tidak hanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kerabat dan bukan kerabat, tetapi juga perbedaan antara rumah satu sama lain dalam masyarakat (hal 101).banyak orang Jawa yang masih berpegang pada pandangan bahwa urutan menikah seharusnya sama dengan urutan kelahiran. Seorang adik yang akan menikah harus terlebih dahulu meminta izin kepada kakaknya untuk menikah lebih dulu dan dengan khidmat memotong selempang pita di dada kakaknya sambil menyerahkan hadiah untuknya. Mengaitkan rumah dengan perkawinan tidak saja menyangkut ruang yang dikelompokan menurut peranan sosial laki-laki perempuan (gender), tetapi juga menyangkut hubungan perlambangan dengan diri dan tubuh. Dalam adat pernikahan orang Jawa, pengantin laki-laki mendekati rumah tetapi tidak pernah melewati ambang pintu, ini baru dilakukanya setelah pasangan pengantin resmi menikah. Tempat duduk pasangan dengan punggung membelakangi dinding itu menunjukan ada ikatan antara mereka dengan rumah, dan keheningan mereka tidak saja menunjukan imobilitas dan kepasifan (Geertz, 1961; dalam Newberry 2013:113).

            Rumah tidak dapat dipahami terlepas dari jaringan sanak saudara yang lebih luas dan masyarakat tempat rumah berfungsi. Arsitektur hubungan sosial yang memisahkan laki-laki dengan perempuan, sanak saudara dengan bukan sanak saudara, tidak terlalu penting dibandingkan dengan jalan setapak diantara rumah yang satu dengan rumah yang lain dan lalu lintas laki-laki dan perempuan dalam lingkup masyarakat kampung yang lebih luas.

RUMAH TANGGA

Rumah tangga disini diartikan sebagai unit penyiapan pangan, artinya sekumpulan orang yang hidup serumah dan saling memberi dukungan langsung antara sesama mereka, kadang-kadang dibawah pimpinan seorang kepala. Istilah keluarga digunakan oleh warga kampung dan kegiatan pemerintah Indonesia untuk memaknai arti rumah tangga.

Reproduksi memainkan peranan utama dalam program-program rumah tangga ukungan negara yang dipayungi oleh PKK. Reproduksi disini memiliki arti yang luas, tidak saja membuat bayi, tetapi juga menciptakan angkatan kerja dan bentuk-bentuk kehidupan sosial tertentu. Istri-istri PKK tidak saja didesak untuk tidak meninggalkan rumah dan mencetak warganegara yang baik, mereka juga didesak untuk membangun kegiatan dan ketrampilan usaha kecil agar mereka dapat embantu keluarga mading-masing. Akibatnya, orgaanisasi nasional istri-istri itu mendukung reproduksi sejumlah besar tenaga kerja yang dapat dipekerjakan secara tidak tetap, murah, dan siap pakai, serta penyerapan surplus tenaga kerja. Melalui program-program kesehatan anak dan keluarga, PKK tentu terlibat dalam reproduksi anggota masyarakat yang baik dari sisi sosial dan politik.

Laki-laki, perempuan, dan keluarga di Kmapung Rumah Putri menjalani kehidupan sebagaimana adanya. Logika dari menjalani kehidupan sebagaimana adanya ini terkait erat dengan reproduksi dan program-program pemerintah. Kiat menjalani kehidupan sebagaimana adanya ini dilakukan berbagai kegiatan oleh warga kampung, baik laki-laki maupun perempuan untuk mendukung keluarga mereka. Menjalani kehidupan sebagaimana adanya ini dapat dipakai sebagai contoh dari bentuk pertukaraan yakni perawatan-rumah tangga.

Pembentukan rumah tangga dan ibu rumah tangga tidak hanya penciptaan pasif melalui kebijakan Republik Indonesia sebagai jawaban atas perubahan dibidang lapangan kerja dan kebutuhan akan penanaman modal asing. Pembentukan rumah tangga melalui logika menjalani kehidupan sebagaimana adanya tidak dapat dipahami hanya sebagai sikap menentang pihak kelas pekerja dan miskin atas pengaruh kapitalisme global yang semakin dalam. Rumah tangga di kampung Rumah Putri berfungsi menjaga agar keluarga tetap ddapat bertahan hidup dan mengelola reproduksi untuk kepentingan negara. 

RUMAH KEDIAMAN

Pertemuan ibu-ibu rumah tangga yang tampaknya biasa-biasa saja ternyata memainkan peranan yang penting sebagai cerminan suara masyarakat dalam satu lingkungan kelas pekerja perkotaan. Istilah rumah kediaman dan kehidupan ideal dalam rumah kediaman dapat mengungkapkan dimensi emosioanal dan moral dari rumah tangga. Rumah kediaman dianggap sebagai unit alami dengan emosi, sentimen, dan moralitas bidang rumah tangga. Selain itu, rumah kediaman juga sebagai tempat berlindung, tempat menghormati orang tua, ikatan batin, nilai-nilai keluarga, dan habitat malaikat rumah tangga.

Proses sosial permpuan dalam rumah kediaman dicerminkan oleh oleh diteguhkannya secara serentak kedudukan kategori-kategori ras sebaagai definisi yang tepat untuk ruang sosial. Di jawa, kemurnian ras dan persoalan degenarasi ras merupakan alat untuk mengontrol jarak sosial di tanah jajahan yang berkaitan erat dengan asumsi-asumsi tentang kehidupan rumah tangga yang baik, perkawinan, dan keluarga.

Kehidupan rumah tangga dan ide rumah kediaman juga menempatkan perempuan sebagai pengawal tradisi. Di jawa, perempuan dilihat sebagai perantara antara dunia adat dan nilai-nilai menengah Belanda. Pentingnya kegiatan sehari-hari perempuan dalam rumah tangga sebagai pengukur budaya. Peranan aktif yang dimainkan kaum perempuan dalam revolusi nasional sering mengakibatkan berkurangnya kebebasan mereka, karena keberhasilan mereka dalam berperan sebagai simbol tradisi asli menyingkirkan mereka dari kehidupan masyarakat umum dan politik. Penyusutan peranan kaum perempuan tidak berarti mereka tidak memiliki kekuatan politik, dan ternyata rumah kediaman merupakan landasan yang ideal untuk bentuk-bentuk kekuatan politik.

Posisi kaum perempuan yang baru sebagai hakim moral, menempatkan mereka digaris depan pembangunan nasional dan kampanye melalui dorongan moral. Namun, garis-garis moral ideologi negara tidak sepenuhnya sama dengan garis-garis moral di kampung.

Hal ini terlihat pada kejadian-kejadian sehari-hari dalam kehidupan kampung, seperti program PKK yang digunakan dalam tawar menawar antara masyarakat dan moralitas dengan warga kampung. Bu Sae yang aktif dalam program PKK serta pandangannya yang modern dan terbuka tidak semuanya cocok dengan sikap umum warga kampung. Kontrol moral di kampung tersebut menggambarkan banyak hal.

MELALUI PINTU BELAKANG RUMAH TANGGA : PINTU KELUAR

Dengan mengikuti pibu-ibu kampung dalam tugas reproduksi  dan produksi mereka sehari-hari Newbeery ibarat diberi kesempatan berwisata yang dipandu tentang ruang tumah tangga di perkotaan jawa, dan ruang rumah tangga itu diperluas dari dalam struktur rumah ke puncak gunung-gunung magis sehingga sulit untuk menentukan garis-garis batas ruang rumah tangga. Perjalanan tersebut menunjukkan bahwa topografi reproduksi dan pekerjaan rumah tangga terbentang jauh diluar pintu rumah , atau pintu kampung.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: