Yang Dianggap Kalah Tidak Selalu Kalah; Memahami Ulang Konsep Perlawanan dari Gerakan Bersepeda

Bersepeda merupakan interaksi personal antara orang yang bersepeda dengan sepedanya. Melalui kayuhan, roda sepeda berputar seirama dengan ritme kecepatan mengayuh. Sepeda pun bergerak oleh tenaga orang yang bersepeda itu sendiri. Bersepeda juga mengajarkan bahwa hidup tidak hanya terletak pada soal kecepatan untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, berkendara lambat justru dapat menjadi saat yang begitu berharga untuk menikmati perjalanan dan berinteraksi dengan sesama. Bersepeda adalah salah satu cara untuk mensyukuri kesehatan, menghargai alam, dan memanusiakan manusia.

Di tengah era modernitas yang begitu mengandalkan teknologi mesin, sepeda tidak lagi menjadi alat transportasi utama. Bersepeda seringkali justru dianggap sebagai aktivitas yang tertinggal, membuang-buang waktu dan energi, serta bukanlah gaya hidup manusia masa kini. Visi kecepatan mencapai tujuan menjadi dasar utama pembuatan alat transportasi modern. Sehingga, pembuatan dan perencanaan moda transportasi saat ini berlomba-lomba untuk menawarkan kecepatan dan kemudahan bagi manusia. Namun, fenomena ini justru kian menjauhkan manusia dari lingkungan dan interaksi sosial di sekitarnya.
Jalan raya kini disesaki oleh kendaraan bermotor dan orang yang bersepeda pun harus berbagi jalan dengan mereka. Orang yang bersepeda seringkali dipaksa untuk mengalah dalam menggunakan jalan raya; baik pada saat bersepeda di lajur kiri (jalur lambat) maupun saat berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Orang yang bersepeda pun seringkali dianggap sebagai kelompok marginal dan bahkan orang-orang yang kalah; baik dari sisi jumlah orang yang bersepeda dibandingkan dengan pemakai kendaraan bermotor maupun dari sisi ekonomi. Bersepeda, pada titik ini, dianggap sebagai aktivitas orang-orang yang kalah.
Namun, benarkah demikian, bahwa orang yang bersepeda adalah orang-orang yang kalah?

Gowes dan Gerakan Perlawanan
Aktivitas bersepeda di Yogyakarta atau yang dikenal dengan sebutan gowes begitu membahana dalam lima tahun terakhir ini. Aktivitas gowes tersebut digerakkan oleh motivasi yang cukup beragam: karena hobi, sekedar berolahraga, upaya untuk melepas penat, sebagai gerakan protes atas dominasi kendaraan bermotor, maupun disebabkan sepeda memang menjadi alat transportasi utamanya. Bagi yang gowes karena hobi, ratusan komunitas sepeda dibentuk untuk mewadahinya, disebabkan hobi yang ada begitu beragam; seperti komunitas sepeda tua, sepeda Fixie, Radical Road Riders, dan sebagainya. Dari pelbagai komunitas hobi bersepeda yang ada, terdapat titik kesamaan yang dimiliki: gowes adalah aktivitas yang begitu menyenangkan dalam hidup orang yang bersepeda.
Banyak acara bersepeda digelar untuk mewadahi antusiasme dalam bersepeda. Ada komunitas sepeda tua dan sepeda Fixie yang sering nongkrong di sisi barat kilometer 0 di selatan Malioboro. Komunitas yang berbasis hobi biasanya memiliki bengkel sebagai basis komunikasi para anggotanya. Bengkel ini berfungsi sebagai ruang komunikasi di antara pesepeda dalam satu hobi sekaligus sebagai tempat untuk memodifikasi sepeda. Namun, berbagai komunitas sepeda yang berbasis hobi ini akan melebur menjadi satu identitas tatkala acara bersepeda bersama dengan semua komunitas digelar.
Acara bersepeda bersama yang rutin digelar dan cukup populer adalah Jogja Last Friday Ride atau JLFR. Aktivitas gowes ini dilakukan setiap hari Jumat malam di pertengahan dan di akhir bulan di setiap bulannya. Beragam komunitas sepeda yang ada melebur menjadi satu dalam visi bersama: menyemarakkan JLFR dan mengkampanyekan gerakan bersepeda. Deretan panjang penggowes sejak stadion Kridosono, Tugu Jogja, hingga kawasan kilometer 0 di bagian selatan Malioboro memiliki pesan yang cukup jelas: orang yang bersepeda juga berhak memakai jalan raya. Maka, saat sedang gowes, mereka mengayuh sepeda dengan santai, beriringan sekitar tiga sepeda, dan membentuk barisan hingga memanjang ke belakang.
Aktivitas gowes mendapat dukungan pemerintah Kota Yogyakarta saat kepemimpinan Pak Herry Zudianto. Pemkot Yogyakarta membuat tiga kebijakan untuk mendukung aktivitas bersepeda ini. Pertama, membuat lajur khusus berbentuk garis putus-putus di sebelah kiri sepanjang jalan yang membentang di kawasan Kota Yogyakarta. Kedua, membuat kotak khusus sepeda di setiap kawasan traffic light. Dan yang ketiga, menerapkan semangat sego segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe) untuk segenap aktivitas warga Kota Yogyakarta. Kebijakan ini juga termasuk membuat kawasan Balaikota Pemkot

Yogyakarta bebas kendaraan bermotor pada setiap hari Jumat.Di suatu waktu Jumat malam sekitar pertengahan Desember 2012, pada saat penulis ikut gowes, ada fenomena yang penting untuk dikaji. Ketika penulis sedang berada di kawasan Malioboro, terlihat sekumpulan orang sedang gowes dengan barisan yang memanjang ke belakang; memenuhi sisi kiri hingga sisi kanan jalan. Setelah ditelisik, ternyata peserta gowes begitu banyak dan deretan pesepeda begitu panjang hingga sampai ke jalan Mangkubumi (sebelah utara Malioboro). Jalanan Malioboro langsung tersendat. Kendaraan bermotor melaju perlahan. Lalu lintas seketika padat merayap. Menariknya, para pengendara kendaraan bermotor justru begitu sabar menjalankan kendaraannya secara perlahan di belakang maupun beriringan dengan para pesepeda onthel ini.
Saat itu, ada kejadian menarik. Seorang pengendara motor menarik gas sepeda motor yang dikendarai dengan tetap menahan kopling sepeda motor. Si pengendara motor mungkin sedikit jenuh dengan kondisi jalanan yang padat merayap akibat ada pesepeda yang memenuhi jalan raya, di depan dan di belakangnya. Sehingga, sepeda motor yang dikenderaianya mengeluarkan bunyi yang cukup keras. Beberapa penggowes yang berada di dekatnya menoleh dan meneriakkan: “huuu…!”. Tanpa komando, saat itu juga, semua penggowes yang sedang gowes dari barisan depan hingga barisan terakhir, bersama-sama meneriakkan kata yang sama: “huuu…!” dengan begitu solid, keras, dan mantap. Pengendara sepeda motor itu pun hanya bisa tersenyum dan kembali melepaskan gas motornya, seraya berbelok arah dengan mengambil jalan pintas di sebelah timur untuk keluar dari kawasan Malioboro.
Di kasus yang lain, terdapat video berjudul Ora Masalah Har yang telah diunggah di YouTube dan telah dilihat sebanyak ratusan ribu kali. Fenomena ini menjelaskan betapa komunitas sepeda bernama Radical Road Riders telah bersuara dan menggugat negara dan masyarakat secara luas. Perlawanan dilakukan tanpa menggunakan konfrontasi fisik, melainkan secara simbolik dan disebarkan melalui media elektronik. Komunitas tersebut menyampaikan suara orang yang bersepeda yang tidak setuju dengan penghapusan car free day pada setiap hari Jumat oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di Balaikota. Sebab, kebijakan penghapusan tersebut dikhawatirkan dapat menghilangkan semangat Sego Segawe (Sepeda gawe sekolah lan nyambut gawe) yang telah dibangun selama ini.
Dari judul video tersebut dapat kita pahami bahwa, kritik ditujukan kepada Pak Har, Walikota Yogyakarta saat ini, Haryadi Suyuti. Komunitas Radical Road Riders berusaha menyampaikan pesannya dan mengkritik kebijakan tersebut. Menariknya, kritik tidak dilakukan turun ke jalan, memboikot jalan raya, ataupun dengan kekerasan. Sebaliknya, suara protes disampaikan melalui video yang sarat dengan pesan-pesan secara simbolik. Video tersebut terinspirasi dari parodi Gangnam Style dan mengubah liriknya. Gangnam Style pada hakikatnya pun merupakan upaya kritik terhadap masalah sosial di Korea Selatan: fenomena banyaknya orang kaya baru dengan gaya hidup yang begitu mewah sekaligus jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang semakin menganga lebar.
Komunitas Radical Road Riders terdiri dari sembilan orang, yakni Wowok, Deka, Riyan, Hohok, Beny, Didit, Aris, Kiki, Havis, dan Lukas. Dalam video parodi tersebut, mereka memeragakan tarian Gangnam Style seperti menunggang kuda namun menggunakan stang sepeda onthel. Daya pikir kreatif yang dihadirkan begitu tinggi sekaligus pesan yang memuat kritik begitu jelas dan lugas. Hal ini tampak dalam salah satu liriknya: “Ngepit kuwi wis kulture nggone wong Jogja, Sego Segawe sing nduweni yo mung wong Jogja, kok malah arep dibubrah, diilang, dihapus, piye tho, Wali Kota Jogja?”.

Memahami Ulang Konsep Perlawanan
Dari dua kasus di atas, kata perlawanan tidak hanya menyiratkan totalitas perjuangan dalam hal penggunaan kekerasan untuk melawan dan mewujudkan kepentingan. Perlawanan orang yang bersepeda di Yogyakarta justru dilakukan dengan menggunakan cara-cara damai. Bagi ilmu politik, mengkaji perjuangan aktor dalam upayanya untuk mewujudkan kepentingan merupakan salah satu pondasi utama yang membangun narasi besar ilmu politik dari masa ke masa. Pelbagai cara yang dilakukan aktor politik untuk melawan maupun mewujudkan kepentingannya dipelajari; baik melalui peperangan, konfrontasi, perlawanan secara fisik, maupun kapasitas seseorang dalam mempengaruhi orang lain secara halus dan hegemonik.
Di dalam ruang publik yang sarat dengan kontestasi kepentingan, selalu ada pihak yang ingin menguasai atau bahkan mendominasi. Polarisasi antara pihak penguasa dan pihak yang dikuasai menjadi salah satu akar terjadinya konflik. Pemberitaan yang menyajikan bentrokan secara fisik banyak disebarluaskan oleh media di sekitar kita. Orang-orang yang tampak tak berdaya digambarkan berhadapan langsung dengan struktur kuasa yang mencengkeramnya, atau bahkan yang telah merampas hak-haknya. Namun ironisnya, pemikiran bahwa kelompok yang dikuasai dan dicengkeram adalah kelompok yang kalah, masih menjadi konstruksi pikir secara umum.
Padahal, kelompok marginal dan dipaksa kalah tidaklah selalu kalah. Dua kasus di atas menunjukkan betapa mereka yang dianggap kalah, justru memiliki senjata untuk melakukan perlawanan. Gaya melawan yang dilakukan memang tidak berpola, namun memiliki kesamaan karakteristik perlawanan: menghindari konfrontasi secara langsung, perlawanan dilakukan secara simbolik, pura-pura bersikap awam dan acuh, serta dilakukan secara perlahan-lahan namun berkesinambungan. Di titik inilah konsep perlawanan hadir secara politis, tatkala gerakan perlawanan digunakan sebagai instrumen untuk memperjuangan apa yang diyakini.
Di dalam kajian akademis, karya James C. Scott (2000) memberikan gambaran tentang gerakan perlawanan kelompok yang dianggap kalah selama ini. Temuannya merupakan narasi panjang sebagai hasil penelitian yang dilakukannya selama dua tahun di Kampung Sedaka, Malaysia. Di dalam karyanya tersebut, Scott menemukan bahwa orang-orang yang kalah –istilah Scott untuk menggambarkan orang-orang yang ditindas- ternyata memiliki kuasa untuk melakukan perlawanan. Bagi Scott, menghindari konfrontasi fisik secara langsung justru merupakan salah satu senjata mereka.
Studi yang dilakukan oleh Scott tersebut menjelaskan, betapa gaya perlawanan orang-orang yang kalah hampir tidak terpikirkan; seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan, dan sebagainya. Pola-pola perlawanan orang-orang yang kalah ini yang dilakukan secara personal pada awalnya, kemudian dilakukan bersama-sama pada akhirnya. Perlawanan mereka hampir tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan yang matang. Namun, perlawanan yang dilakukan bersifat saling menguatkan.
Scott menceritakan lebih lanjut, perlawanan dilakukan dengan menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal; sering mengambil bentuk mengurus diri sendiri, dan menghindari konfrontasi simbolis dengan kekuasaan. Di dunia ketiga, para petani jarang mau mengambil resiko konfrontasi secara langsung, tetapi mereka menggerogoti kebijakan yang ada, dengan cara sederhana dan anonim: tidak mau menerima permintaan tolong karena alasan banyak pekerjaan, memperlambat kesepakatan pekerjaan, dan penipuan. Untuk kasus invasi tanah, mereka lebih suka melarikan diri, mencuri sedikit demi sedikit daripada menyerang, serta menjarah gudang-gudang penyimpanan padi milik pemerintah maupun swasta.
Bagi Scott, teknik perlawanan secara low profile adalah karakter khas perlawanan struktur sosial kelas petani di pedesaaan. Perlawanan dilakukan tanpa organisasi formal, melainkan dengan cara kampanye defensif dan gerakan gerilya untuk menghabiskan tenaga lawan. Tindakan-tindakan perlawanan tersebut berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan, dan pada akhirnya sangat dimungkinkan beragam kebijakan yang dimimpikan atau bahkan yang telah diputuskan oleh mereka yang berkuasa menjadi kacau balau. Scott mendasarkan temuannya ini dengan menggunakan analogi jutaan polip Anthozoa yang sedikit demi sedikit membentuk batu karang. Oleh sebab itu, bisa saja, kapal besar yang bernama negara terpaksa kandas sebab adanya batu karang yang dibentuk oleh jutaan polip Anthozoa.

Kesadaran Bersepeda dan Ikhtiar Menguatkan Marwah Konservasi
Dua fenomena di atas menjelaskan kepada kita, bahwa konstruksi pikir yang menganggap orang yang bersepeda adalah orang-orang yang kalah, mendesak untuk dibongkar. Orang yang bersepeda bukan lagi orang-orang lemah atau orang-orang yang kalah. Sebaliknya, mereka adalah pemenang; di saat para pengendara kendaraan bermotor mengeluh karena macet, kelangkaan bahan bakar, maupun polusi. Mereka juga memiliki senjata-senjata perlawanan yang secara halus dan berkesinambungan semakin menguat seiring dengan bertambahnya jumlah orang yang bersepeda. Daya tahannya untuk tetap memilih bersepeda dan menyuarakan perlawanan, adalah karakter khas orang yang bersepeda: tangguh, peduli, dan pantang menyerah.
Di kampus konservasi, bersepeda di area kampus adalah salah satu marwah untuk mendukung nilai-nilai konservasi. Gerakan perlawanan dengan cara-cara halus untuk menyuarakan aspirasi orang yang bersepeda sangat diperlukan. Agar kegiatan bersepeda di kampus kian semarak dan massif, dibutuhkan sinergitas seluruh civitas akademika yang ada. Sinergitas tersebut mencakup banyak hal; baik dari sisi kekuatan keteladanan untuk bersepeda, penyediaan fasilitas sepeda kampus dan parkir khusus sepeda yang layak di berbagai ruang kampus, memperhatikan jalan kampus agar tidak berlubang, bergelombang, dan tidak licin, membentuk komunitas pesepeda, sampai upaya penghijauan kampus agar orang yang bersepeda tidak terlalu kepanasan saat bersepeda di siang hari.
Selain sinergitas seluruh civitas akademika, diperlukan pula ikhtiar bersama untuk merekonstruksi pikir bahwa bersepeda adalah aktivitas beradab untuk menghargai alam dan menjaga interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebab, bersepeda mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadi pemakai jalan yang egois yang hanya mengutamakan kecepatan untuk sampai pada tujuan, namun abai pada kondisi sekitar. Bersepeda adalah salah satu cara untuk belajar menghargai sesama. Berawal dari kampus konservasi inilah, semoga kesadaran bersepeda untuk pelbagai aktivitas diharapkan dapat menginspirasi hingga ke seluruh negeri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: