Di pulau kecil Madura yang konon merupakan sempalan dari pulau Jawa ini terdapat sebuah tradisi untuk mempertahankan harga diri berbau kekerasan bagi seorang laki-laki yang di sebut carok. Hingga kini di pulau Madura yang hanya terdiri dari empat kabupaten (bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) dan berpenduduk hanya sekitar tiga jutaan dan memiliki senjata tradisional berupa clurit ini tradisi carok masih tetap dipertahankan sebagai jalan terakhir untuk mempertahankan harga diri.

Ajang laga carok sendiri biasanya dipicu oleh masalah perempuan yakni bila diganggunya istri dan kehormatan keluarganya, karena bagi lelaki Madura istri merupakan simbol dari kehormatan bagi dirinya. Jadi bila kemudian sang istri diganggu atau berselingkuh dengan pria lain maka itu sama artinya dengan melecehkan dan menginjak-injak keberadaannya sebagai lelaki. Dan bila sudah begitu tak ada jalan lain yang bisa ditempuh selain mengajaknya berduel satu lawan satu dalam carok. Dengan alasan untuk membela kehormatan itulah, maka orang yang melakukan carok, dianggap bagai pahlawa.

Dalam sejarah orang Madura ,carok adalah duel satu lawan satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Malah dalam persiapannya, dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang corok berlangsung. Kedua pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, dirumahnya diselenggarakan selamatan dan pembekalan agama berupa pengajian. Oleh keluarganya , pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh. Carok ini adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita, pada intinya carok ini dilakukan untuk menjaga kahormatan.

A.Latief Wiyata menyatakan bahwa pengertian carok paling tidak harus mengandung 5 unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar lelaki, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan(istri),perasaan malu (malo), adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi pemenangnya. Kasus-kasus carok boasanya dilatarbelakangi oleh  perselingkuhan istri,  masalah salah paham, masalah tanah atau warisan, masalah utang piutang, dan masalah lain diluar itu, seperti melanggar kesopanan dijalan dalam pergaulan.

Tujuan carok dilakukan senantiasa dilakukan sebagai ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan pada istri yang membuat laki-laki Madura malo (malu) dan tada’tajina (direndahkan martabatnya). Carok telah menjadi arena reproduksi kekerasan. Korban carok, tidak dikubur dipekaman umum melainkan dihalaman rumah, pakaiannya yang berlumur darah disimpan dialmari khusus agar pengalan taumatik terus berkabar guna mewariskan balas dendam. Sasaran utama carok balasan adalah pemenang carok sebelumnya atau kerabat dekat (taretan delem) sebagai representasi musuh. Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat secara fisik maupun ekonomi agar keluarga musuh tidak mampu melakukan carok balasan.

Ungkapan-ungkapan Madura memberikan persetujuan sosial dan pembenaran kultur tradisi carok, ungkapan-ungkapan tersebut diantaranya mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura ( jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku orang Madura ), oreng lake mate acarok oreng bine mate arembi ( lelaki mati karena carok,peremouan mati karena melahirkan), ango an poteya tolang atembang poteya mata (lebih baik berputih tulang (mati) dari pada berputih mata (menanggung malu) ).