Resiprositas Sebanding dalam Tradisi “Nyumbang” Semarang Kota

Pendahuluan

Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup berkelompok dalam waktu yang lama. Di zaman yang sudah modern, banyak masyarakat yang bersifat individualistis. Dan dari sifat individualistis yang mereka miliki, didalamnya juga terdapat heterogenitas yang melekat pada mereka. Heterogenitas merupakan sebagian dari keanekaragaman yang terjadi pada masyarakat kota, hal ini tidak menyurutkan mereka untuk melakukan resiprositas.

Fungsi resiprositas bagi masyarakat yaitu untuk membantu masyarakat ketika ada salah satu warga yang melakukan pesta dan selamatan, yang mana mereka mengalami hambatan-hambatan seperti, keterbatasan modal uang, keterbatasan tenaga kerja (rewang atau pendarat), keterbatasan sarana dan prasarana. Sedangakan dilihat dari sudut pandang ekonomi yaitu, meringankan warga ketika mengadakan acara hajatan atau selamatan terutama masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah. Masyarakat yang melakukan resiprositas pada dasarnya memiliki alasan yaitu untuk menjaga solidaritas antar masyarakat. Saran yang ditujukan kepada masyarakat adalah hendaknya selalu mempertahankan sistem Resiprositas dalam kehidupan sosial ekonomi, rasa saling tolong menolong dan kekeluargaan yang telah dibangun bersama antar warga sehingga warga terhindar dari konflik, dan hendaknya masyarakat selalu menjaga nilai-nilai kebudayaan dari nenek moyang. Resiprositas sebanding yang masih berjalan sampai sekarang didaerah kota saya , Kota Semarang yaitu “Nyumbang” namun tradisi nyumbang didaerah kota saya tak lagi sama dengan tradisi nyumbang jaman dahulu. sebagian besar orang mungkin tidak asing lagi, terutama yang masih njawani ( memegang adat istiadat jawa daerah lain istilah nyumbang juga sering disebut njagong). Nyumbang dalam pengertian luas sebernatnya merupakan wujud daripada kepedulian sosial. Ketika tetangga, saudara, maupun teman sedang mempunyai hajat, tentu saja mereka membutuhkan bantuan. Bantuan dalam arti disini, bukan hanya sekedar materi. Sedikit tenaga, pikiran, dan gagasan kita, akan sangat berarti bagi mereka yang mempunyai Hajat. Tuhan menciptakan manusia untuk saling tolong menolong antar sesama. Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari serangkaian tradisi atau upacara adat seremonial yang berkaitan dengan siklus daur hidup manusia. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan di masyarakat adalah tradisi nyumbang dalam pernikahan. Nyumbang dimaksudkan untuk membantu meringankan beban orang yang menggelar hajatan. Sumbangan berupa barang atau jasa diberikan kepada warga yang menggelar hajatan agar beban yang dipikul penyelenggara hajatan tidak terlampau berat. Nyumbang merupakan wujud solidaritas sosial di masyarakat dan sudah berlangsung sangat lama. Tradisi nyumbang mengandung nilai resiprositas (timbal-balik) yakni bentuk tolong menolong yang didasari adanya kepentingan yang sama dalam hidup bermasyarakat. Hubungan timbal-balik tersebut berlangsung terus-menerus, silihberganti, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi nyumbang tetap ada seiring dengan perkembangan jaman, namun terdapat pergeseran-pergeseran yang membuat nilai asli dari tradisi nyumbang berubah.

 

 

 

 

 

Pembahasan

Pengertian Resiprositas sebanding ( Balanced Reciprocity )

Resiprositas sebanding merupakan resiprositas yang menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai, nilai sebanding. Kecuali itu dalam pertukaran tersebut disertai pula dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan, memberikan, menerima, dan mengembaikan. Pertukaran ini dapat dilakukan individu, dua atau lebih dan dapat dilakukan dua kelompok atau lebih. Dalam pertukaran ini, masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari part-nernya, namun masing-masing tidak menghendaki untuk member dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Dalam masyarakat primitive dan petani, resiprositas sebanding berkurang fungsinya sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bila resiprositas tersebut berlangsung dalam konteks kegiatan non-produksi, seperti dalam kegiatan upacara lingkaran hidup dan peristiwa-peristiwa sosial atupun politik. Dalam konteks ini, melalui upacara diadakan suatu acara pemberian hadiah berupa barang atau uang. Misalnya di masyarakat Jawa terdapat acara member uang sumbangan kepada penyelenggara upacara konsep atau kedua mempelai. Dalam peristiwa seperti ini, tamu yang hadir menyumbangkan barang atau uang dengan harapan nanti dikemudian hari akan menerima pengembalian. Dalam adat memberi sumbangan tersebut terkandung suatu pengertian tentang tingkah laku menabung untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan yang akan muncul dikemudian hari. Disamping menyumbang atau memberi hadiah pesta mengandung aspek menabung, kegiatan tersebut juga dapat menjaga prestise sosial dalam masyarakat.

Resiprositas sebanding didaerah saya yang paling bertahan diantara kebudayaan yang lain adalah tradisi “nyumbang” di kota Semarang. Mungkin untuk daerah semarang yang agak pelosok masih banyak kebudayaan dalam resiprositas sebanding selain tradisi nyumbang. Namun yang sering saya lihat didaerah sekitar tempat tinggal saya adalah “Nyumbang”.

Pengertian tradisi “nyumbang” sendiri atau istilah kerennya “memberikan sumbangan” untuk orang yang sedang hajatan atau pesta. Kalau di kota sudah lazim orang menyumbang pada saat ada yang mengadakan pesta pernikahan. Berbeda dengan di desa , tradisi “nyumbang” bisa saja terjadi pada kondisi saat orang meninggal, melahirkan, atau supitan.

“Nyumbang” sebagai tradisi di desa adalah berarti ikut berperan serta dalam pengadaan bahan baku keperluan pesta/hajatan. Bagaimana tidak? kalau misalnya dalam satu keluarga ada 5 saudara, mereka meminta kelima saudaranya tersebut untuk membantu pengadaan bahan baku seperti : beras, gula, teh, kerupuk, minyak goreng, telur, bahkan sampai pengadaan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak hidangan.

 

“Nyumbang” di desa juga berarti kekompakan dan penghematan. semua yang menyiapkan hidangan, membantu merapihkan rumah dan mencari bahan baku adalah tetangga dan saudara dekat yang dengan sukarela dan gratis melakukan semua pekerjaan. Kekompakan jelas sudah terlihat saat mereka menyumbangkan tenaganya untuk membantu kelancaran pesta bagi saudara maupun tetangganya tersebut. Uniknya lagi, tidak hanya para tetangga dan saudara dekat saja yang menyediakan bahan baku pesta. Namun, para tamu undanganpun turut serta membawa bahan baku. Kalau di jaman dulu ada barter, maka di desapun untuk urusan hajatan/pesta sampai saat ini masih berlaku. Orang punya hajat/pesta tentunya mengundang tamu undangan, para tamu undangan yang datang ini tidak membawa selembar amplop berisi angpao, tetapi mereka membawa sebakul bahan baku yang isinya bisa bermacam-macam, diantaranya adalah beras minimal 2kg, mie putih minimal 1kg, kerupuk mentah minimal 1kg, dan masih banyak lagi macemnya. Semua bahan baku itu diserahkan kepada si empunya rumah yang sedang hajatan, dan semua barang yang terdapat di dalam bakul, dicatat oleh si pencatat buku tamu. Tujuan pencatatan itu adalah, jika kelak si pembawa bahan baku gantian mengadakan pesta, maka si empunya rumah yang sekarang sedang berpesta akan membawa juga barang-barang tersebut sebagai balas budi. Namun tradisi “nyumbang” dahulu dan sekarang benar-benar berubah drastis, tradisinya masih ada namun kegiatan yang mereka lakukan sangatlah berbeda jauh. Mengapa demikian? Dikarenakan orang-orang jaman sekarang hanya mengandalkan uang tanpa mereka tahu bagaimana arti persaudaraan dalam tradisi tersebut, bagaimana indahnya silaturahmi dengan tetangga sekitar., Pada saat menghadiri acara harusnya membawa Cangkingan atau buah tangan untuk yang punya hajat. Kebanyakan berupa makanan atau Sembilan bahan pokok. Tradisi inilah yang dikenal masyarakat Jawa dengan istilah Nyumbang. Adapula yang menyebutnya dengan istilah Lagan ataupun Jagong.

Seiring berkembangnya jaman, banyak masyarakat Jawa tidak lagi Nyumbang menggunakan barang atau makanan. Mereka lebih memilih Nyumbang berupa uang sebagai penggantinya . Hal itu dengan alasan kepraktisan. Orang tidak mau repot-repot mententeng beras, gula,minyak goreng, atau lainnya. Cukup dengan sebuah amplop, sudah dapat dimasukkan ke saku celana. Jauh lebih praktis. Namun, di daerah tertentu ( biasanya di kampung ) ada juga yang masih Nyumbang berupa barang.

Mengenai besaran jumlah uang atau barang untuk Nyumbang ke Shohibul Hajat, sebenarnya tidak ada aturan baku. Sebab pada hakekatnya, Nyumbang bersifat suka rela atau seikhlasnya saja. Biasanya orang akan mengikuti kebiasaan pada masyarakat tersebut. Sebab, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya terkadang memiliki besaran yang berbeda. Semisal begini : Di daerah A ,Nyumbang untuk ukuran umum ( bukan keluarga, kerabat atau sahabat ) standarnya 40 -50 ribu rupiah. Tetapi di daerah B, dengan 20- 30 ribu saja sudah cukup.

Biasanya ketika Nyumbang berupa uang, maka dibagian luar amplop akan di cantumkan nama dan alamat orang yang menyumbang. Namun, ada pula yang sengaja tidak dicantumkan. Kalau dicermati lebih jauh lagi berkaitan hal tersebut, ternyata ada hal unik.

Kebanyakan dari amplop yang tak beridentitas, bernilai kecil atau lebih kecil dari umumya. Pun sebaliknya jika amplop bernilai besar, hampir dapatkan dipastikan bahwa nama si penyumbang dicantumkan. Hal tersebut wajar dan sah-sah saja. Sebabmasyarakat Jawa masih mengenalMbalek’ke Sumbangatau mengembalikan.. Maksudnya adalah, ketika si A Nyumbang kepada kita sebesar 200 ribu misalnya, maka kelak jika si A mempunyai hajat, maka kita Nyumbang minimal 200 ribu.

Akan tetapi, hal tersebut bukanlah suatu keharusan. Artinya, jika kita Nyumbang dibawah 200 ribu pun boleh-boleh saja. Namun demkian, orang Jawa tidak akan lepas dari sifat Pekiwuh, apabila mereka dahulu disumbang 200 ribu , ya bagaimanapun kita harus mengembalikan 200 ribu kalo tidak mereka akan merasa tidak enak. Dan tradisi nyumbang yang sering saya temui apabila sepulang dari hajatan mereka membawa makanan atau biasanya nasi kotak sebagai pengganti suguhan.

Nyumbang merupakan resiprositas sebanding karena tradisi menyumbang yang menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sangat sebanding. Seperti memberi sumbangan kepada yang punya hajat berupa uang, maka ketika si penyumbang berganti punya hajat maka ia akan disumbang senilai nominal uang yang telah ia sumbangkan kepada si punya hajat yang lalu. Selain niat mereka memberi hadiah sumbangan kepada yang punya hajat, terkandung suatu pengertian tentang tingkah laku menabung untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan yang akan muncul dikemudian hari. Menurut Studi White proporsi penghasilan penduduk desa yang dipakai untuk memenuhi kewajiban menyumbang dalam kegiatan seremonial didesanya cukup tinggi , selain itu, umumnya keluarga yang mengadakan pesta mendapat keuntungan dengan adanya uang sumbangan dari tamu-tamu yang menghadiri pesta tersebut. Nilai-nilai solidaritas yang terkandung dalam tradisi nyumbang juga berubah menjadi nilai tukar yang menerapkan standar dan sanksi sosial. Sumbangan yang seharusnya merupakan bentuk bantuan bagi mereka yang mengalami kesulitan, justru menjadi beban tersendiri bagi masyarakatnya. Sumbangan sebagai tanda solidaritas kini diwarnai oleh kepentingan-kepentingan sosial dan finansial. Dengan menyumbang, seseorang dapat menaikkan status sosialnya di mata masyarakat melalui jumlah sumbangan yang diberikan. Dalam hal ini nyumbang mengandung nilai timbal balik. Masyarakat menginginkan apa yang diberikannya dibalas sebanding oleh orang yang pernah menerimanya. Jika resiprositas ini tidak terpenuhi maka akan ada sanksi sosial seperti cibiran atau gunjingan dalam masyarakat. Masyarakat yang terlibat membantu hajatan bukan lagi atas dasar keikhlasan untuk membantu, tetapi lebih kepada adanya timbal balik dari kerjasama yang mereka sepakati.

Tentang firma aprianti

Nama : Firma Aprianti TTL : Semarang, 28-04-1995 Program Study : Pendidikan sosiologi dan Antropologi Unniversitas Negeri Semarang blog ini berisi mengenai materi pembelajaran-pembelajaran sosiologi dan antropologi yang juga sedang saya pelajari
Tulisan ini dipublikasikan di Tugas Kuliah. Tandai permalink.

One Response to Resiprositas Sebanding dalam Tradisi “Nyumbang” Semarang Kota

  1. Lya berkata:

    sangat menarik karena yang menjadi objek kajian adalah kota Semarang, di mana tradisi nyumbang biasanya yang umum atau sering di soroti adalah pada daerah pedesaan .

Tinggalkan Balasan ke mufrikhatululya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: