Auguste Comte Versus Pitirim Sorokin serta Masalah Kemajemukan Budaya

Assalamualaikum para blogger. kali ini saya akan memposting tugas dari mata kuliah Teori Sosiologi Klasik. dimana tugas ini menjelaskan mengenai masalah kemajemukan budaya dari para tokoh Auguste Comte Versus Pitirim Sorokin. selamat membaca…

PERSPEKTIF POSOTIVIS COMTE TENTANG MASYARAKAT

Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat digunakan untuk menemukan hokum- hukumnya. Kebanyakan kaum postivis berasal dari kelompok yang progresif yang bertekad mencampakkan tradisi irrasional dan memperbaharui masyarakat menjadi lebih irasional.

Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik, yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian- bagian yang saling tergantung. Metode penelitian empiris harus digunakan denagn kenyataan bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.

Comte mengatakan bahwa jika kita melihat semangat positif dalam hubungannya dengan konsepsi ilmiah maka kita akan menemukan bahwa filsafat ini dibedakan dari metafisik teologis oleh kecenderungannya untuk menisbikan ide- ide yang dipandang mutlak. Pokok pandangan Comte yang demikian agak angkuh ini dipandang wajar untuk sosiologi masa kini. Tetapi Comte mengatakan bahwa tidak mngkin menunggu semua fakta tersedia sebeum merumuskan suatu hokum teoritis.

Analisa komparatif melahirkan suatu metode yang khusus untuk gejala sosial yang memungkinkan suatu pemahaman mengenai hokum dasar perkembangan sosial. Tujuan Comte adalah menunjukkan kesatuan ini dengan menganalisa dasar- dasar filosofis dari semua ilmu. Menurutnya, semua ilmu itu sama seperti Nampak dalam tiga tahap pemikiran teologis, metafisik, dan positif.

  1. Hukum Tiga Tahap
  2. Tahap Teologis

Tahap ini merupakan periode terlama dalam sejarah. Karena awal mula pekembangan akal budi memakai gagasan keagamaan yang belum adanya penguasaan atas makhluk lain. Tahap inipun dibagi menjadi tiga periode, yaitu :

  1. 1 Periode Fetisisme

Bentuk pemikiran masyarakat primitif kepercayaan atas roh-roh atau bangsa halus yang turut hidup bersama kita. Ini terlihat pada zaman purba dimana diadakan upacara penyembahan roh halus untuk meminta bantuan maupun perlindungan.

  1. Periode Politeisme

Periode ini masyarakat telah percaya akan bentuk para penguasa bumi yakni

para dewa-dewa yang terus mengontrol semua gejala alam

  1. Periode Monoteisme

Semakin majunya pemikiran manusia, pada periode terakhir ini muncul kepercayaan akan satu yang tinggi pada abad pertengahan. Kepercayaan akan Tuhan yang berkuasa penuh atas jagad raya, mengatur segala gejala alam dan takdir makhluk.

  1. Tahap Metafisik

Tahap transisi dari teologi ke tahap positif. Dimana segala gejala sosial terdapat kekuatan yang dapat terungkapkan (ditemukan dengan akal budi). Namun disini belum adanya verifikasi. Mekipun penerangan dari alam sendiri tapi belum berpangkal pada data empiris. Jadi, bisa dikatakan masih pergeseran cara berpikir manusia.

  1. Tahap Positif

Ditahap ini gejala alam dijalaskan secara empiris namun tidak mutlak. Tapi pengetahuan dapat berubah dan mengalami perbaikan seiring intelektual manusia sehingga dapat diterapkan dan dimanfaatkan. Akal budi penting tapi harus bedasarkan data empiris agar memperoleh hukum-hukum baru.

 

  1. Hubungan antara Tahap-tahap Intelektual dan Oranisasi Sosial

Dalam melengkapi penelurusan akan perkembangan intelektual manusia, Comte melihat masing-masing tahap terhadap hubungannya. Pandangan Comte berpikir prapositif lebih rendah daripada cara-cara berfikir positif modern dizamannya itu memperlihatkan sumbangan bernilai terhadap keteraturan sosial dimana cara-cara berfikir yang dominan dan dalam jangka panjang menyumbang perkembangan umat manusia. Argumentasi-argumentasi Comte untuk menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam tahap teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu untuk menanamkan disiplin sosial yang perlu unuk kegiatan militer.

Munculnya masyarakat industri dirangsang oleh pertumbuhan ilmu selanjutnya. Pengetahuan ilmiah yang merupakan dasar kemajuan teknologi yang memungkinkan perkembangan industri. Selain periode teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan. Comte mengetahui bahwa perubahan dari satu tahap ke tahap berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba, sehingga merupakan suatu garis pemisah yang sebelumnya yang memperlihatkan suatu tahap yang baru.

  1. Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial

Auguste Comte menganalisa keteraturan sosial kedalam dua fase yaitu pertama usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris menggunakan metode positif. Kedua usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita normatif dengan menggunakan metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga intelek. Satu sumbangan sosial Comte dari tahap perkembangan pra positif adalah bahwa mereka mementingkan consensus intelektual. konsensus terhadap kepercayaan serta pandangan dasar selalu merupakan hal utama untuk solidaritas dalam masyarakat karena manusia didominasi cara berpikir teologis. Dimana kepercayaan agama mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial. Agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkan altruism lebih daripada egoisme. Pengaruh pada masa lampau dalam membentuk opini merangsang individu untuk bertindak spontan menurut cara-cara yang diperlukan untuk mempertahankan keteraturan sosial.

Sesungguhnya Comte beranggapan bahwa individu sebagian besar dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial sehinggan satauan masyarakat adalah bukan individu melainkan keluarga karena keluargalah individu pertama diperkenalkan kepada masyarakat, tingkat keakraban dalam keluarga begitu tinggi insting dasar individu dibentuk oleh perasaan sosial yang dominan didalam keluarga. Keluarga dalam bentuk mikrokosmik memberikan pengalaman akan dominasi dan ketaatan, kerjasama, serta munculnya perasaan altruistik. Hal-hal tersebut membuat Comte yakin untuk melihat keluarga bukan individu sebagai satuan masyarakat yang asasi dan sebagai suatu dasar utama keteraturan sosial.

Keteraturan sosial juga dipengaruhi oleh pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individu tetapi ketika pembagian kerja muncul partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerjasama, kesadaran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan ikatan sosial baru atas dasar itu selain itu mendorong individu untuk memiliki sifat individualisme yang mengancam solidaritas sosial disini peran pemerintah diharapkan untuk mengatur pembagian kerja.

  1. Agama Humanitas

Merupakan suatu gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan menjadi ratu ilmu pengetahuan seperti teologi diabad pertengahan hal itu memungkinkan satu penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara komprehensif dan mengenai hokum keteraturandan kemajuan sosial hal itu mendorong suatu system moral yang merangkul semuanya yang akan mempersatukan semua orang dalam penyembahan terhadap humanitas dan menjamin keteraturan sosial yang perlu untuk kemajuan selanjutnya.

  1. TEORI KEMAJUAN MENURUT COMTE VERSUS TEORI SIKLUS PERUBAHAN BUDAYA MENURUT SOROKIN

Pandangan comte bahwa evolusi harus dibantu oleh usaha manusiaserta kepercayaan akan perkembangan positivism akan mengakibatkan kemajuan yang terus menerus adalah pasti artinya sejarah akan bergerak ketujuan akhir dan tahap tahap sejarah sebeleumnya penting karena sumbangannya terhadap tujuan akhir yang merupakan satu masyarakat dimana bimbingan intelektual dan moral yang diberikan oleh imam sosiologi memungkinkan pemimpin politik untuk menentukan kebijaksanaan yang menjamin orang akan hidup harmonis. Comte mengambil model kemajuan linear.

Perbedaan pandangan antara Sorokin dengan comte yaitu comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis sedangkan Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial artinya dia yakin bahwa tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tapi siklus ini tidak sekedar melipat gada saja sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus dimana tema budaya yang luas.

Persamaan kedua padangan tersebut adalah sama-sama memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa budaya dan keduanya menekankan sangat pentingnya gaya intelektual cara memandang dunia atau bentuk-bentuk pengenalan pola-pola organisasi sosial serta perilaku manusia.

  1. Pandangan Sorokin Mengenai Integrasi Sosial dan Budaya

Dalam pandangannya Sorokin lebih memusatkan pada arti, nilai norma dan symbol sebagai kunci untuk memahami sosio budaya. Juga menekankan saling ketergatungan antara pola pola budaya masyarakat sebagai suatu system interaksi dan kepribadian individu. Tingkat tertinggi budaya integrasi saat memiliki narti logis dan sebaliknya, Sorokin tidak menyatakan bahwa interaksi dan berinteraksi menurut arti ini. Sebenarnya secara eksplisit dia menyebut himpunan pada tingkat budaya dan sosio sebagai kumpulan unsur-unsur yang tidak terintegrasi baik dalam pengertian kasual maupun penuh arti logis kecuali berdampingan saja menurut ruang dan waktu. Dia menunjukkan bahwa banyak didunia sosio budaya itu disusun dari himpunan -himpunan itu saja.

Melihat Sorokin sebagai ahli teori organis tanpa asumsi positivis adalah penolakannya untuk membatasi konsep mengenai kebenaran pada data empiris sebaliknya dia menunjuk pada suatu kerelaan untuk menerima suatu konsep kebenaran dan pengetahuan yang bersifat multidimensi dengan data empiris memberikan sebagian pengetahuan. Dia menekankan pentingnya mengetahui tingkat integrasi yang berbeda dan mengkhususkan tingkat dimana aspek yang berbeda dalam kenyataan sosio budaya dapat dikatakan terintegrasikan, misalnya dua unsure kebudayaan mungkin terintegrasi hanya karena hubungan unsure yang ketiga hal ini merupakan tingkat integrasi yang paling rendah daripada konsisten logis penuh arti antara dua unsure itu sendiri. Contohnya took buku keagamaan gereja di seminari merupakan integrasi penuh arti logis dari unsure unsure tertentu sedangkan gedung bioskop untuk orang dewasa dibagian kota tertentu merupakan himpunan saja.

Sorokin menekankan tingkat variabilitas yang tinggi diperlihatkan. Tema – tema budaya dasar mungkin terulang tetapi pergulangan itu menunjukkan pola – pola yang berubah. Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsure yang kembali berulang dan ada dari beberapa yang unik. Ia mengacu pada pola perubahan jangka panjang yang bersifat berulang berubah bahwa tidak ada kecenderungan linear yang permanen dank arena arahnya berubah proses sejarah dan sosio terus menerus mengalami variasi baru dari tema lama.

  1. Tipe-tipe Mentalitas Budaya

Tiga tipe mentalitas budaya menurut Sorokin, yaitu:

  1. Kebudayaan Ideasional

Tipe ini memiliki dasar berfikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden, dan tidak dapat ditangkap dengan indra. Tingkat ini dipecah dalam beberapa bagian :

  1. Kebudayaan ideasional aksetik, mentalitas ini memperlihatkan ikatan tanggung jawab untuk mengurangi kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap dalam dunia transenden.
  2. Kebudayaan ideasional aktif, berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden.
  3. Kebudayaan inderawi (sensate culture)

Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indra kita merupakan satug-satunya kenyataan yang ada. Mentalitas ini dibagi sebagai berikut :

  1. Kebudayaan inderawi aktif, kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan yang materil.
  2. Kebudayaan inderawi pasif, mentalitas ini meliputi hasrat untuk mengalami kesenangan hidup indrawi setinggi-tingginya.
  3. Kebudayaan indrawi sinis, mentalitas ini memperlihatkan usaha yang bersifat munafik (hipokrit) untuk membenarkan pencapaian tujuan matrialis.
  4. Kebudayaan campuran, mengandung penegasan terhadap premis mentalitas ideasional dan indrawi, mentalits ini dibagi menjadi :
  5. Kebudayaan idealistis, terdiri dari campuran organis dari mentalitas ideasional dan indrawi.
  6. Kebudayaan ideasional tiruan, didominasi oleh pendekatan indrawi tetapi unsur ideasional hidup berdampingan dengan yang indrawi sebagai perspektif yang saling berlawanan.

 

  1. Krisis Sistem Indrawi Abad ke 20

Prinsip batas perilaku untuk kedua mentalitas budaya yang bertentangan, tetapi penekanan utamanya diberikan pada batas-batas adisistem indrawi. Hasil penelitian Sorokoin mengemukakan kesimpulan bahwa bagian pertama abad keduapuluh ini menyaksikan buntunya jalan bagi adisistem indrawi yang sudah berulang kali mendominasi budaya Barat selama empat ratus tahun silam. Karena dia mengadakan penelitian mengenai pergolakan dan krisis di masa dia hidup, dia melihatnya sebagai gejala yang berhubungan dengan kehancuran budaya yang mendalam. Kehancuran ini akan terus berlangsung sampai akhirnya digantikan oleh suatu sistem ideasional yang baru (mungkin sudah melewati suatu tahap campuran).

Analisis Sorokin mengenai krisis ini menambah pemahaman kita dalam sistem inderawi. Analisa ini, di satu pihak didasarkan pada hubungan yang erat antara mentalitas budaya yang dominan dan tahap perkembangannya, dan di lain pihak pada solidaritas sosial. Singkatnya, Sorokoin mengemukakan bahwa begitu mentalitas budaya indrawi terbuka dan berkembang, secara bertahap dia memporakporandakan konsesus intelektual dan moral yang merupakan dasar solidaritas sosial yang asasi. Hasilnya adalah tidak ada kerangka intelektual atau moral yang merangkum, yang diterima sebagai yang mutlak atau yang sangat menakutkan yang dapat mempersatukan individu dalam hal yang memungkinkan mereka untuk mengatasi prespektif dan kepentingan individu yang sempit.

Selain kemerosotan moral dan intelektual ini adalah kenyataan bahwa mentalitas inderawi memusatkan perhatiannya pada kebutuhan dan keinginan materil dan jasmaniah manusia serta mendorong pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini semaksimal mungkin. Perbedaan yang paling mencolok dengan pandangan Comte mengenai kemajuan ilmu dan materi, hampir-hampir tak terkatakan lagi. Meskipun Comte mengakui kebutuhan akan suatu otoritas moral yang mengikat dalam tahap positif, Sorokin akan mengatakan bahwa otoritas itu hampir tidak dapat dipertahankan dalam menghadapi relativisme dan pemuasan diri indrawi.

  1. Sebuah Kritik terhadap Model Sorokin

Sorokoin dapat dikritik karena terlampau menekankan keadaan dalam gambaran profesinya mengenai berakhirnya peradaban Barat di masa depan.model keseluruhan dari perubahan sosio-budaya dan usaha Sorokoin untuj memperoleh dukungan empiris (betapa terbatasnya sekalipun) dalam modelnya itu, harus dilihat sebagai suatu proyek-proyek sosiologi yang paling ambisius yang pernah dilaksanakan. Segi negatifnya adalah bahwa analisis sejarahnya itu menggunakan model teoritis untuk melihat data, dan menginterpretasi data itu dalam hubungannya dengan model itu. Jadi ada suatu kecenderungan dalam analisa Sorokin mengenai derajat integrasi budaya dalam kurun waktu yang relatif stabil, untuk terlampau ditekankan untuk menarik kesimpulan putusan antara-antara tahap-tahap yang berbeda itu.

Keterbatasan lain dalam analisa Sorokoin mengenai kebudayaan adalah jenis dalam tipe data yang dipergunakan. Dalam menganalisa sastra, seni lukis, sistem-sistem filsafat atau musik, Sorokoin bersandar pada karya-karya yang masih lestari dan tercatat. Apakah karya-karya ini mewakili kreasi budaya secara keseluruhan yang dihasilkan?. Atau karya ini hanya mencerminkan karya-karya elit budaya yang memiliki sumber, waktu dan keterampilam dalam kegiatan kreatif?. Tetapi apakah budaya reatif-kreatif itu hanya mencerminkan mentalitas pada umumnya atau secara transendental, ciptaan karya-karya budaya tidak dapat merupakan cermin usaha penduduk biasa yang umumnya utama.

Persamaan pokok antara Comte dan Sorokoin adalah bahwa kebudayaan memusatkan perhatiannya pada bentuk-bentuk pengetahuan sebagai kunci untuk memahami kenyataan sosial. Pengetahuan, kepercayaan, ide, corak intelektual pandangan dunia, setiap istilah ini cocok untuk mengidentifikasikan perhatian utama mereka untuk melihat proses-proses yang besar dalam perubahan sosial jangka panjang dan mengembangkan suatu prespektif teoritis untuk menginterpretasi peristiwa sejarah yang tidak sebanding jumahnya. Singkatnya menganalisa tingkat budaya itu dapat memberikan suatu gambaran makro mengenai suatu sistem sosial, kerugiannya, gambaran yang terlalu simplistis, atau kesalahan-kesalahan dalam menginterpretasi peristiwa khusus atau perkembangannya di masa depan.

Pandangan Comte bahwa akhirnya industrialisme akan menggantikan militerisme merupakan suatu contoh yang jelas tentang kesalahan yang demikian dalam meramalkan, dominasi dari gabungan militer-industri dalam masyarakat-masyarakat industri, memperlihatkan bahwa indusrialisme sudah digunakan untuk meningkatkan kekuasaan militer dan bukan sebagai alternatif terhadap militarisme.

  1. KEBUDAYAAN MATERIL DAN NONMATERIL

Aspek materialistis dari kebudayaan secara implisit ada dalam teori Comte dan Sorokin. Pandangan Comte mengenai transisi dari masyarakat militer ke industri sudah jelas mengandung implikasi perubahan dalam kebudayaan materil. Terutama munculnya industrialisme tergantung pada kemajuan teknologi dan kemajuan dalam teknologi mencerminkan perubahan dalam kebudayaan materil. Sorokin juga menyinggung tentang kemajuan teknologi, tetapi umumnya Sorokin memandang kebudayaan materil sebagai wahanaperwujudan mentalitas kebudayaan nonmateril. Analsa kebudayaan materil harus berkisar pada arti-arti budaya yang disimbolkan dalam bentuk-bentuk materil.

  1. Perkembangan Teknologi dan Ketinggalan Budaya.

Ogburn memperoleh pendidikan di Iniversitas Coloumbia dan sumbangannya yang paling terkenal adalah konsepnya tentang ketinggalan budaya (cultural lag). Konsep ini mengacu pada kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behaind) perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil dan nonmateril. Hal ini bertentanan dengan Comte dan Sorokin.

Bagi Ogburn, segi yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materil, termasuk penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi, sedangkan Comte dan Sorokin menekankan perubahan dalam bentuk pengetahuan atau pandangan dunia sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, dimana perubahan dalam kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan nonmateril.

Perhatian utama Ogburn adalah menunjukan bahwa perilaku manusia meruoakan produk warisan sosial atau budaya, dan bukan merupakan produk faktorfaktor biologis yang diteruskan lewat keturunan. Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan materil. Perubahan ini mulai dari adanya penemuan-penemuan seperti teknologi awal berupa roda hingga komputer dan satelit komunikasi. Kebudayaan nonmateril seperti kebiasaan, tata cara, pola-pola organisasi sosial akhirnya harus menyesuaikan dengan kebudayaan materil yang selalu tertinggal di belakang kebudayaan materil. Akhirnya terjadilah ketimpangan antara keduanya.

Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa ke masa dalam sejarah yang terjadi sangat cepat ketika terjadinya Revolusi Industri. Jadi karena kebudayaan nonmateril tidak dapat mengejar karena kecepatan perubahan materil yang selalu maju, hasilnya ketegangan yang terus meningkat kebudayaan materil dan yang beradaptasi atau kebudayaan nonmateril.

  1. Ketinggalan dalam Kebudayaan Materil

Urutan perubahan kebudayaan seperti yang dihipotiskan Ogburn yaitu menemukan situasi-situasi dimana kemajuan dalam kebudayaan nonmateril lebih dahulu daripada kebudayaan materil. Urutan ini dapat berlaku untuk bidang khayalan ilmaih, dimana impian-impian mengenai inovasi teknologis sudah ada sebelum inovasi itu berhasil. Lebih penting lagi, cita-cita dan nilai-nilai budaya tertentu sudahmerupakan bagian dari warisan budaya selama ribuan tahun dan masih dianggap memiliki produk akal budi manusia yang sagat maju dan dapat menjadi terang sebagai cita-cita yang harus dikembangkan. Suatu model yang lengkap mengenai kecepatan perubahan budaya yang berbeda-beda akan harus meliputi situasi-situasi dimana perubahan budaya nonmateril kelihatannya merupakan aspek yang penting dan perubahan materil juga penting.

Daftar Pustaka

Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.1986. Jakarta : PT Gramedia.

Tentang firma aprianti

Nama : Firma Aprianti TTL : Semarang, 28-04-1995 Program Study : Pendidikan sosiologi dan Antropologi Unniversitas Negeri Semarang blog ini berisi mengenai materi pembelajaran-pembelajaran sosiologi dan antropologi yang juga sedang saya pelajari
Tulisan ini dipublikasikan di Tugas Kuliah. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: