Aktivitas Rutin Pengajian Ibu-ibu di Kampung Condrokusumo dalam Konteks Sosiologi Agama (Pandangan Emile Durkheim)

Assalamualaikum para blogger. kali ini saya akan memposting tugas dari mata kuliah Sosiologi Agama. tugas ini berisi tentang aktivitas pengajian ibu-ibu disekitar rumah kemudian di analisis  dalam pandangan Emile Durkheim. selamat membaca…

Pengajian merupakan salah satu bagian dari ibadah keagamaan yang dilakukan oleh orang muslim sebagai mana juga wajib dilakukan walaupun tidak sewajib ibadah utama. Dalam hal ini saya akan mengkaji bagaimana pengajian rutin ibu-ibu yang ada di sekitar tempat tinggal saya yaitu kampung Condrokusumo semarang dalam konteks sosiologi agama.

Pengajian merupakan aktivitas rutin sehari-hari yang dilakukan ibu-ibu untuk beribadah dan berdoa secara bersama-sama. Selain untuk ibadah pengajian yang dilakukan ibu-ibu kampung Condrokusumo ini juga untuk mengirim doa kepada saudara-saudara yang sudah meninggal dunia. Dalam pengajian ini juga sebagai tempat bagaimana ibu-ibu kampung Condrokusumo belajar lebih mendalam mengenai agama dan agar menjadikan kebersamaan mereka menjadi kebersamaan yang bermanfaat dan yang paling penting menjadikan pula ibu-ibu yang taat kepada agama dan agar mereka lebih mengerti ilmu-ilmu mengenai agama. Dahulu di kampung Condrokusumo sendiri ibu-ibu belum mempunyai grup pengajian tersebut. Apabila akan mengikuti pengajian ibu-ibu kampung Condrokusumo harus mengikuti pengajian dikampung seberang yang sudah mempunyai grup atau perkumpulan yang cukup besar dan banyak jemaahnya. Lambat Laun warga Condrokusumo sendiri merasa bingung apabila ingin menggelar pengajian dan doa bersama untuk mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal atau ingin mendoakan anggota keluarga yang akan melakukan sesuatu yang sakral dan mereka harus mengundang grup pengajian kampung sebrang yang lumayan jauh. Dan akhirnya sekarang kampung Condrokusumo memiliki kelompok pengajian sendiri walaupun ada beberapa ibu-ibu yang juga masih mengikuti pengajian dikampung seberang agar tali silahturahmi diantara mereka masih terjalin biarpun sudah memiliki kelompok pengajian sendiri-sendiri. Pengajian rutin kampung Condrokusumo ini sendiri menjadi sarana dalam ibu-ibu mencari pahala dan ilmu yangg lebih mendalam mengenai agama islam yang mereka anut. Dan pengajian dilakukan setiap hari senin malam selasa, dan juga apabila ada salah satu warga yang akan punya hajat , atau juga untuk pengajian 7 hari orang meninggal. Pengajian ini dimulai setelah magrib dan selesai setelah isya. Dan tempatnya di rumah-rumah ibu-ibu kampung Condrokusumo secara bergantian atau mengurutkan letak rumah atau tempat dimana warga yang akan mempunyai hajat. Pengajian dipimpin oleh seorang uztadzah yang mahir dalam membaca ayat suci Al-Qur’an. Dan apabila acar pengajian yang diselenggarakan cukup besar maka pengajian tersebut mengundang seorang Kiai yang nantinya akan Tauziyah. Dalam pengajian tersebut ibu-ibu yang pertama dilakukan untuk membuka pengajian ialah berdoa untuk saudara-saudara yang sudah meninggal terlebih dahulu lalu membaca beberapa surat-surat pendek ,lalu membaca doa-doa yang mereka sebut “Berjanjen”.

Dalam konteks sosiologi Agama pengajian rutin yang dilakukan oleh ibu-ibu kampung condrokusumo adalah sebagai berikut.

      Agama secara umum didefenisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib (Tuhannya)/vertikal dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya/horizontal. Secara khusus Agama merupakan suatu sistem keyakinan (mengatur kehidupan masyarakat yang beragama), yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respon apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci. Agama sebagai sistem keyakinan berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya selamat dari kehidupan setelah kematian. Keyakinan keagamaan dapat dilihat sesuatu yang berorientasi pada masa yang akan datang.

      Pengaruh agama terhadap sistem nilai masyarakat diwujudkan berupa simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama dan menjadi kerangka acuan dalam berbuat dan bertingkah laku. Agama mempunyai fungsi sosial yang dapat menciptakan saling keteraturan masyarakat, sebagai lembaga sosial primer yang mengatur hubungan sosial. Agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang mempunyai nilai-nilai normatif yang dijadikan sebagai pedoman segala tingkah laku dan tindakan.

Dalam masyarakat sendiri Agama memberi makna pada kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat kelompok-kelompok, sanksi moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan masyarakat.
Agama berperan dalam tiga kawasan kehidupan manusia :

  1. kawasan yang kebutuhan manusiawi dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri.
  2. kawasan manusia yang merasa aman secara moral. Tingkah laku dan tata pergaulan manusia diatur lewat norma-norma rasional yang dibenarkan agama, seperti norma sopan santun, norma hukum serta aturan-aturan dalam masyarakat.
  3. merupakan daerah yang manusia secara total mengalami ketidakmampuannya.

Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Masyarakat, bagimanapun akan tetap menghasilkan simbol-simbol pengertian diri kolektifnya dan dengan demikian, menciptakan agama.
Masyarakat diikat oleh sistem simbol yang umum. Sistem simbol itu akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma-norma etik yang selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada representasi diri simboliknya.

Menurut E. Durkheim, agama didefinisikan sebagai sebuah sistem kepercayaan mengenai tabiat dari keuatan-kekuatan menentukan nasib umat manusia dan praktek-praktek yang berhubungan dengan kepercayaan tersebut yang dianut bersama oleh sebuah kelompok. Menurut Teorinya , Agama bukanlah `sesuatu yang di luar’, tetapi `ada di dalam masyarakat’ itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut. Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan dengan seluruh manusia. Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka.

Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan nilai-nilai primordial. Masyarakat yang masih sederhana, dengan tingkat pembagian kerja yang rendah terbentuk oleh solidaritas mekanis. Ikatan yang terjadi bukan karena paksaan dari luar atau karena intensif ekonomi semata, melainkan kesadaran bersama yang didasarkan pada kepercayaan yang sama dan nilai-nilai yang disepakati sebagai standar moral dan pedoman tingkah laku. Dengan solidaritas mekanis tersebut masyarakat menjadi homogen dengan kesadaran kolektif yang tinggi tetapi menenggelamkan identitas pribadi untuk agar tercipta kebersamaan. Maka dari itu masyarakat yang berdasarkan system kekeluragaan dan kekerabatan serta kegotong-royongan yang dipertahankan oleh asas keharmonisan.

Pada waktu itu Durkheim yang hidup pada masa perkembangan Kapitalisme dan Revolusi Industri, telah memeberikan jawaban. Menurut pendapatnya pada masyarakat yang semakin haterogen, ikatan-ikatan primordial yang semula mengikat individu dalam simbol-simbol kebersamaan akan mulai memudar. Solidaritas mekanis akan segera tergantikan oleh solidaritas organis, suatu solidaritas baru yang didasarkan pada kesadaran terhadap kondisi pluralitas yang terbentuk apabila apabila dalam masyarakat yang telah mengalami proses individualisasi itu telah timbul kesadaran adanya saling ketergantungan di antara mereka dan timbul pula rasa saling membutuhkan.

Dalam pemikiran pamungkas Emile Durkeim yang dijabarkan dalam buku terakhirnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Anggapan Durkheim agama berasal dari masyarakat itu sendiri, dan masyarakat itu sendiri yang mengintepretasikan tentang Tuhan yang diyakini sesuai dengan idealismenya. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sakral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi. Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat) dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus/ upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan.

Ia juga berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yang terikat satu kesamaan. Dalam hal ini agama mengikat orang-orang kedalam kelompok pengajian yang terikat suatu kesamaan yaitu kesamaan agama, kesamaan ingin berdoa kepada Tuhan. Pengajian tersebut juga menjadikan pengajian sebagai simbol-simbol yang sifatnya suci.

Seperti halnya ibu-ibu melakukan pengajian atas dasar agama yang mereka anut yaitu agama islam. Dalam agama islam bukan ritual namun seperti ibadah yang dilakukan setelah ibadah wajib terpenuhi dan pengajian tersebut dianggap pula sebagai bentuk dari doa bersama sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah mereka miliki, dan berdoa.

Dalam hal ini ibu-ibu memeluk Agama islam sebagai aturan atau cagak yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan lingkungannya dalam kehidupan mereka dimasa hidupnya baik sekarang maupun masa yang akan datang. Dan agama islam merupakan keyakinan mereka yang menginterpretasikan dan memberi respon apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci. Agama islam yang dianut ibu ibu kampung condrokusumo merupakan sistem keyakinan berisikan ajaran dan petunjuk bagi para mereka supaya selamat dari kehidupan setelah kematian. Dan hal ini diwujudkan melalui simbol-simbol suci dan salah satunya adalah pengajian rutin yang dilakukan ibu-ibu kampung condrokusumo. Dan pengajian yang mereka lakukan mempunyai makna yang bersumber dari agama islam yang mereka anut. Pengajian ini juga merupakan fungsi agama sosial yang dapat menciptakan saling keteraturan masyarakat, sebagai lembaga sosial primer yang mengatur hubungan sosial yang menjadikan mereka kelak lebih tau dan lebih paham mengenai ajaran agama mereka yaitu islam. Dalam agama pengajian memberikan makna bagi umat islam untuk lebih mengeratkan hubungan silahturahmi antar umat islam dan dapat memperkuat kelompok-kelompok umat islam.

Menurut Teori E. durkheim , Agama bukanlah `sesuatu yang di luar’, tetapi `ada di dalam masyarakat’ itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut. Oleh karena itu, agama dengan syariatnya tidak mungkin berhubungan dengan seluruh manusia. Seperti halnya agama islam yang mereka peluk berada pada masing-masing individu ibu-ibu kampung condrokusumo dan pengajian memiliki tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus yang ada dalam pengajian tersebut. Dan ketidak mungkinan berhubungan dengan seluruh manusia diibaratkan apabila manusia tidak segama atau tidak memiliki agama. Ikatan yang terjadi didalam pengajian bukan karena paksaan dari luar atau karena intensif ekonomi semata, melainkan kesadaran bersama yang didasarkan pada kepercayaan yang sama dan nilai-nilai yang disepakati sebagai standar moral dan pedoman tingkah laku yaitu kepercayaan apabila doa yang dilakukan secara bersama-sama akan cepat terkabul dan sampai kepada orang yang didoakan dan tentunya harus pula disertai dengan tingkah laku yang baik pula. Dan karena pengajian mereka menciptakan solidaritas mekanik yang menenggelamkan identitas pribadi agar terciptanya kebersamaan yang sama dan sederajat dihadapan Tuhannya.

Kesimpulan

Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Pengajian sendiri merupakan salah satu ritual keagamaan dalam konteks berdoa yang dilakukan secara bersama-sama agar doa yang dipanjatkan terkabul dan sampai kepada Tuhan. Dalam hal ini pengajian juga merupakan sarana yang mampu menciptakan kesadaran dalam diri untuk berkelompok dan menghilangkan identitas diri agar terciptanya derajat yang sama dihadapan Tuhan. Dan pengajian pula yang memberikan ilmu yang lebih mendalam mengenai agama Islam dan bagaimana agar kehidupan mereka lebih dekat kepada Tuhan.

 

Tentang firma aprianti

Nama : Firma Aprianti TTL : Semarang, 28-04-1995 Program Study : Pendidikan sosiologi dan Antropologi Unniversitas Negeri Semarang blog ini berisi mengenai materi pembelajaran-pembelajaran sosiologi dan antropologi yang juga sedang saya pelajari
Tulisan ini dipublikasikan di Tugas Kuliah. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: