Materi Antropologi SMA Kelas XI: Persamaan dan Perbedaan Budaya, Bahasa, Dialek, Tradisi Lisan yang ada di Masyarakat Setempat

download (16) download (17)

Ada berapa bahasa yang sudah kalian kuasai sekarang? tentunya sangat menarik sekali jika kalian dapat menguasai lebih dari satu bahasa. Kalian akan dapat berkomunikasi secara lancar dengan berbagai orang yang berlatar belakang budaya dan bahasa yang berbeda dengan kalian. Kalian dalam segala aktivitas sehari-hari pasti menggunakan bahasa. Saat keluarga berkumpul di rumah melakukan sesuatu bersama-sama pasti menggunakan bahasa. Guru bertemu anak didiknya di kelas, pasti mereka menggunakan bahasa. Upacara bendera setiap hari senin di sekolah maupun upacara hari besar lainnya pasti mengunakan bahasa. Bupati dan Gubernur mengadakan kunjungan kerja ke berbagai tempat, pasti menggunakan bahasa. Presiden berpidato, pasti menggunakan bahasa. Adakah kegiatan manusia yang tidak menggunakan bahasa? Adakah budaya manusia yang tidak menggunakan bahasa? Semuanya pasti menggunakan bahasa. Itulah sebabnya bahasa menjadi unsur pertama dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal. Kehidupan manusia selalu diwarnai oleh interaksi dan komunikasi. Interaksi dan komunikasi hanya dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa.

Ada dua ciri bahasa yang saling bertentangan, yakni ciri universal dan ciri lokal (unik). Ciri universal bahasa, diantaranya terletak pada fonologi, morfologi, dan sematik yang ditemukan pada hampir semua bahasa yang terletak pada adjektiva mengikuti nomina, seperti rumah besar, jalan besar dan orang pandai yang juga ditemui di berbagai bahasa di dunia. Sifat universal bahasa dapat juga ditemui di persamaan kata pada beberapa bahasa di dunia. Fakta ini memperkuat dugaan para ahli bahwa pada asal mulanya bahasa manusia itu adalah satu dan sama. Sifat lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah dan waktu serta individu. Lingua franca Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi cara setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dapat kita tentukan asal-usul daerah. Cara orang Ambon berbeda dengan orang Betawi dalam mengungkapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan orang Minahasa, Madura, Batak, Jawa, dan sebagainya. Keunikan itu pada akhirnya membentuk aksen, logat atau dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek. Bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dapat kita temui pada Mandra yang terkenal dengan sinetronnya Si Doel Anak Sekolahan.

Bahasa Indonesia dengan dialek Madura diwakili oleh Kadir dalam sinetron Kanan Kiri Oke. Bahasa Indonesia dengan dialek Batak diwakili oleh Si Raja Minyak yang diperankan oleh Ruhut Sitompul dalam sinetron Gerhana, dan sebagainya. Bahasa sebagai suatu sistem memiliki multimakna. Dari sekian banyak makna, ada tiga makna yang memunculkan variasi-variasi dan dialek bahasa dalam kehidupan manusia, yaitu:

1). Bahasa bersifat unik. Artinya, tiap bahasa mempunyai sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain. Bahasa Jawa mempunyai 100 kata untuk menyebutkan berbagai anak binatang yang tidak ada dalam bahasa lain. Bahasa Inggris mempunyai lebih dari 50 kata untuk menggambarkan berbagai bentuk daun yang tidak dikenal dalam bahasa lain.

2). Bahasa mempunyai variasi-variasi karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia untuk bekerjasama dan berkomunikasi, karena kelompok manusia tersebut banyak ragamnya yang berinteraksi dalam berbagai lapangan kehidupan, serta penggunaan bahasa untuk berbagai macam keperluan. Di lingkungan masyarakat Jakarta misalnya, Si Ucok memiliki kebiasaan sehari-hari untuk mengakhiri tuturnya dengan kata ‘bukan?’, namun tetangganya yang bernama si Andi, si Oneng dan si Ujang tidak suka dengan kebiasaan semacam itu. Pilihan kata-kata antara seseorang dengan orang lain pun juga berbeda. Sebenarnya semuanya itu masih tetap kita sebut satu bahasa, semuanya merupakan perbendaharaan dari suatu bahasa. Nah, tutur kata dari setiap anggota masyarakat bahasa (misalnya masyarakat bahasa Betawi, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain), yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan kecil semacam itulah yang kita sebut sebagai idiolek. Atau dengan bahasa yang sangat sederhana dapatlah dikatakan bahwa yang dinamakan idiolek adalah keseluruhan ciri-ciri dalam ujaran perseorangan.

Bahasa bersifat unik yang membuatnya berbeda dengan bahasa lainnya yang ada di dunia ini. Bahasa sangat variatif yang timbul dari keperluan dan pribadi pengguna bahasa. Bahasa sebagai sarana identifikasi kelompok sosial. Soalnya adalah apakah yang menjadi dasar pemberda yang memunculkan dialek bahasa? Menurut Kridalaksana (1970) adalah waktu dan tempat. Menurut Sibarani (2002) adalah budaya yang menjadi latar belakangnya. Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya.

Contohnya adalah :

  1. a) Makna leksikon godang pada dialek Angkola/Mandailing berarti banyak sedangkan makna leksikon godang pada dialek Batak Toba berarti besar.
  2. b) Makna leksikon penyakit kelaminnya telah bertambah larut (bahasa Malaysia) sama dengan penyakit istrinya telah bertambah parah (bahasa Indonesia).
  3. c) Makna leksikon ran itu didiami oleh sekelamin orang sakai (bahasa Malaysia) sama dengan pondok itu didiami oleh sepasang orang Sakai (bahasa Indonesia).
  4. d) Keadaan serupa dapat juga kita temui pada bahasa Jawa dan Sunda, yaitu :
Bahasa Sunda Bahasa Jawa
amis ‘manis’ amis ‘manis’
gedang ‘pepaya’ gedang ‘pisang’
raos ‘enak’ raos ‘rasa’
atos ‘sudah’ atos ‘keras’
cokot ‘ambil’ cokot ‘gigit’

3). Dengan bahasa suatu kelompok sosial bisa mengidentifikasi dirinya.

Di antara semua ciri budaya, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Gaya bahasa menunjukkan identitas suatu kelompok sosial. Gaya bahasa Indonesia masyarakat Bugis berbeda dengan gaya bahasa masyarakat Samarinda, masyarakat Bali, masyarakat Madura, masyarakat Lampung, masyarakat Melayu Riau, masyarakat Aceh, dan sebagainya. Bahasa yang menunjukkan identifikasi sosial pemakainya disebut dengan masyarakat bahasa. Menurut Halliday yang dikutip F.X. Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama. Masyarakat bahasa sangat erat hubungannya dengan subjektivitas pemakainya. Secara linguistik, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah satu bahasa yang sama, namun masyarakat bahasa yang memakai kedua bahasa tersebut menganggapnya sebagai bahasa yang berbeda. Akibatnya muncullah dua masyarakat bahasa yang berbeda. Masyarakat bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa Malaysia. Kondisi ini mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakai bahasa yang bersangkutan. Anggota masyarakat bahasa Indonesia terasa semakin akrab dengan sesamanya yang menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan orang dari masyarakat bahasa Malaysia, begitu juga sebaliknya. Bahasa membentuk identitas suatu kelompok sosial yang akan mempengaruhi keakraban dan keintiman pemakainya.

Analogi Budaya 5 :

Coba kembangkan etos kerja dan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian.

Di Jawa terdapat berbagai dialek Jawa. Salah satunya adalah bahasa Jawa logat Banyumas, bahasa Jawa logat Surakarta dan sebagainya. Coba diskusikan dengan teman-teman kalian dan berikan solusi yang tepat supaya perbedaan dialek tersebut tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Selanjutnya solusi hasil diskusi tersebut coba praktikkan dalam kehidupan kalian sehari-hari.

Bahasa Membentuk Dialek

Pada uraian terdahulu, kalian telah mempelajari bahasa dan dialek yang menghasilkan suatu kesimpulan ada hubungan yang sangat erat antara bahasa dan dialek. Soalnya adalah bagaimanakah hubungan antara bahasa dengan dialek? Jawaban pertama adalah bahasa membentuk dialek. Bagaimana hal itu terjadi? Terjadinya hal itu dikarenakan pengaruh non bahasa, terutama politik, kebudayaan dan ekonomi. Atas dasar pengaruh non bahasa itu, akhirnya muncul keragaman dialek dan aksen menurut pemakainya.

Dialek adalah kata-kata di atas tanahnya. Lingua franca bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi tiap daerah-daerah di Indonesia memiliki dialek dan aksen yang unik dalam berbahasa Indonesia. Orang Papua memiliki dialek unik ketika berbahasa Indonesia, begitu juga halnya dengan orang Kalimantan, orang Bali, orang Sulawesi, orang Jawa, orang Sunda, orang Madura, orang Baduy, orang Palembang, orang Batak, orang Aceh, dan sebagainya. Misalnya saja ada suatu kelompok pemakai bahasa Indonesia (yaitu kumpulan dari sejumlah idiolek-idiolek) yang mengucapkan kata ’pecah’, sedangkan kelompok pemakai bahasa Indonesia lain akan mengucapkannya dengan ‘picah’. Demikian pula ada kelompok idiolek yang mengucapkan kata ‘nasehat’, sedangkan kelompok lainnya mengucapkan ‘nasihat’, dan begitulah seterusnya. Semuanya menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa Indonesia, tetapi mereka memiliki logat (dialek) sendiri ketika menggunakannya. Sehingga dari cara mereka berbicara kita dapat mengetahui identitas sosial penuturnya, kita dapat tahu asal-usul penuturnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa membentuk dialek melalui perbedaan tempat. Dialek yang ditimbul karena tempat atau daerah disebut dengan dialek regional.

Dialek bahasa dapat juga disebabkan oleh latar belakang pendidikan pemakainya, pekerjaannya atau karena faktor derajat resmi situasinya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus berikut. Banyak nama diri di masyarakat kita yang memiliki konsonan frikatif labiodental tak bersuara (f), seperti Jusuf, Fahrudin, Alif, Fransiska, dan lain-lain. Kalau diperhatikan ternyata tidak semua orang melafalkan nama tersebut dengan tepat. Karena latar bekakang pendidikan ataupun bahasa pertamanya. Sebagian orang mengganti konsonan frikatif labiodental tak bersuara (f) itu dengan konsonan bilabial tak bersuara (p) dan melafalkannya menjadi jusup, pahrudin, alip, dan pransiska. Dialek bahasa yang disebabkan oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan dan faktor derajat resmi situasinya disebut dialek sosial (Suhardi dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Bahasa, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa bahasa membentuk dialek melalui perbedaan latar belakang pendidikan. Dialek yang ditimbul karena perbedaan latar belakang pendidikan disebut dengan dialek sosial.

Dialek sosial dapat juga dikarenakan pekerjaan yang berbeda. Cara seorang anggota militer berbahasa Indonesia menunjukkan dialek yang berbeda dengan sipil. Anggota militer nampak lebih tegas, jelas dan lantang. Sementara anggota masyarakat sipil (non militer) nampak menunjukkan dialek dan aksen yang lebih lembut, luwes dan lemah. Hakim, jaksa dan pembela menunjukkan dialek yang berbeda dalam menggunakan bahasa Indonesia, lebih formal, pilihan kata yang kaku dan tepat. Sementara guru menunjukkan dialek yang lebih familiar, luwes dan longgar dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa bahasa membentuk dialek sebagai pengaruh dari pekerjaan. Dialek yang ditimbul karena pekerjaan disebut dengan dialek regional.

Derajat resmi situasinya juga menimbulkan dialek dalam menggunakan bahasa Indonesia. Saat Presiden mengungkapkan pidato kenegaraan, saat penghulu memimpin jalannya upacara pernikahan atau Pendeta yang melakukan pemberkatan pernikahan. Mereka semuanya menggunakan bahasa dengan dialekotoritas, tegas dan penuh kedaulatan dan kekuasaan. Berbeda halnya pada situasi tidak remis, seperti saat santai dan pembicaraan tidak resmi lainnya, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek persahabatan, kedekatan dan lunak. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa membentuk dialek melalui resmi tidaknya situasi pembicaraan. Dialek yang ditimbul karena resmi tidaknya situasi disebut dengan dialek sosial.

Dialek Membentuk Bahasa

Kalian mempelajari bahasa dan dialek yang menghasilkan suatu kesimpulan ada hubungan yang sangat erat antara bahasa dan dialek. Soalnya adalah bagaimanakah hubungan antara bahasa dengan dialek? Jawaban kedua adalah dialek membentuk bahasa. Bagaimana hal itu terjadi? Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbedabeda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

Dengan meminjam kata-kata Claude Fauchet, dialek ialah mots de leur terroir yang berarti dialek adalah kata-kata di atas tanahnya (Chaurand, 1972 : 149), yang di dalam perkembangannya kemudian menunjuk kepada suatu bahasa daerah yang layak dipergunakan dalam karya sastra daerah yang bersangkutan. Di dalam perkembangannya tersebut, kemudian salah satu dialek yang kedudukannya sederajat itu sedikit demi sedikit diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah pakai dialek-dialek itu. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor subyektif maupun obyektif. Faktor-faktor yang menentukan suatu dialek menjadi bahasa baku ialah politik, kebudayaan dan ekonomi (Meillet, 1967 : 72). Demikian caranya dialek membentuk bahasa baku yang bersifat universal pada tingkat daerah, nasional maupun internasional.

Selain adanya beberapa faktor di atas, munculnya bahasa baku juga bisa dipicu oleh adanya kebutuhan dari beberapa kelompok masyarakat yang saling terpisah, untuk bisa berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, dari sudut pandang ini yang dinamakan bahasa baku (standar) adalah bahasa atau dialek yang dipilih oleh anggota masyarakat untuk saling berkomunikasi. Dipilihnya suatu dialek menjadi bahasa baku (standar) bisa juga karena bahasa atau dialek tersebut dianggap paling betul (baik) oleh masyarakat yang akan memakainya. Bentuk serta pemakaian bahasa baku ini selanjutnya akan menjadi model percontohan bagi seluruh rakyat. Kemudian di dalam praktiknya, seseorang yang akan berbahasa di samping akan menyesuaikan diri dengan orang yang akan diajak bicara (misalnya pakai bahasa atau dialek apa), maka seorang penutur bahasa tersebut akan mencoba menyesuaikan diri dengan bentuk, serta pemakaian bahasa yang telah dipakai secara luas di dalam masyarakat. Dengan demikian, praktik penggunaan bahasa tarik-menarik antara bahasa standar (bahasa baku/bahasa nasional) dengan bahasa yang digunakan secara akrab (yakni bahasa lokal/dialek bahasa yang biasanya bersifat kelokalan/kedaerahan) akan berlangsung terus-menerus.

Demikianlah cara dialek berubah menjadi bahasa yang bersifat universal, baik pada tingkat regional, nasional maupun internasional. Sebelum bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional, pada awalnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa daerah dengan dialek daerah khusus. Atas kesepakatan bersama dengan berbagai alasan. Seperti lebih familiar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan daerah penyebaraannya lebih luas dibanding bahasa etnik lainnya, maka dipilih dan disepakatilah bahasa Melayu menjadi bahasa baku (standar) nasional yang kemudian dikenal dengan bahasa Indonesia. Perkembangan selanjutnya menunjukkan Indonesia sekarang tidak dapat lagi disamakan dengan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia menyerap berbagai bahasa daerah dan bahasa asing lainnya dan mengangkatnya menjadi bahasa baku. Demikian cara dialek menjadi bahasa baku (standar).

Analogi Budaya 6 :

Coba kembangkan wawasan kebinekaan dan orientasi kecakapan pada diri kalian!

Carilah informasi dari berbagai sumber dan media massa mengenai keanekaragam budaya dan kemajemukan masyarakat serta aneka ragam suku bangsa. Kemudian kaitkan dengan perbedaan bahasa dan dialek yang digunakan. Coba berikan komentar dan solusi kalian berkaitan dengan keanekaragaman bangsa sebagai kekayaan potensi Indonesia dan untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan kalian!Selain itu Coba kalian peragakan berbagai budaya yang beranekaragam dan kalian kuasai seperti tari dari beberapa daerah misalnya tari Bali, tari Gambyong dan Jaipong.

Kegunaan Bahasa

Masih ingatkah kalian pengertian bahasa? Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang digunakan pemakainya untuk berkomunikasi dan untuk berbagai keperluan lainnya. Menurut Harimurti Kridalaksana dan Hermina Sutami dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), pengertian bahasa di atas menunjuk kepada bahasa lisan, sistem tanda bunyi mengarah kepada bahasa lisan.

Menurut Kridalaksana dan Sutami dalam buku yang sama ada dua wujud bahasa, yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Unsur utama bahasa tulis adalah tulisan, sedangkan unsur utama bahasa lisan adalah bunyi (ujaran). Kedua wujud bahasa itu bersifat saling melengkapi, kehadiran bahasa tulis didasarkan akan kebutuhan manusia untuk dapat mengingat peristiwa penting dalam jangka panjang. Daya ingat manusia terbatas, manusia merekam peristiwa penting dalam bahasa tulis, sehingga dapat mengingatnya dalam waktu yang sangat lama selama tulisan itu ada.

Kemampuan berbahasa yang pertama kali dikuasai manusia adalah kemampuan berbahasa lisan. Sebelum seorang manusia mengenal dan memasuki sekolah, ia telah dapat menggunakan bahasa lisan. Seorang anak yang belum sekolah berkomunikasi dengan mudah bisa menggunakan bahasa lisan pada siapapun. Bahkan sampai akhir hayatnya manusia tetap menggunakan bahasa lisan dalam kehidupannya. Bahkan peradaban manusia dimulai dengan bahasa tulisan, dan sampai sekarang masih banyak masyarakat bahasa yang mengandalkan bahasa lisan dalam mengembangkan dan mewariskan kebudayaannya. Bila dibandingkan, manusia dalam hidupnya lebih banyak menggunakan bahasa lisan dari pada bahasa tulisan. Sangatlah tepat pendapat Kridalaksana dan Sutami dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), yang mengatakan “Bahasa lisan merupakan hal utama dan mendasar yang dimiliki manusia”.

Bagaimanakah gambaran kebudayaan bahasa manusia dalam menggunakan bahasa lisan? Gambaran itu dapat diperoleh dengan memahami beberapa konsep yang penting dan timbul dari penggunaan bahasa lisan. Dari zaman purba hingga jaman sekarang, hakekat manusia sebagai makhluk sosial diantaranya diwujudkan dengan cara mencari teman. Manusia mencari teman, manusia bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Proses perjalanan itu, kemungkinan besar ia bertemu dengan orang dari masyarakat bahasa yang lain. Singkatnya orang itu bertemu dengan orang lain yang berbeda bahasa dengannya. Pada keadaan ini terjadilah sentuh bahasa.

  1. Sentuh Bahasa

F.X. Rahyono dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), menggambarkan sentuh bahasa sebagai berikut; “Di dunia ini banyak terdapat masyarakat bahasa yang berbeda bertemu, hidup bersama-sama, dan berpengaruh terhadap masyarakat bahasa lain. Keadaan semacam ini menimbulkan apa yang disebut sentuh bahasa atau kontak bahasa. Ciri yang menonjol dari sentuh bahasa ini adalah terdapatnya kedwibahasaan (bilingualism).

Pada masyarakat Indonesia sangat sering terjadi sentuh bahasa. Setiap waktu terjadi pertemuan dari manusia yang berasal dari masyarakat bahasa yang berbeda. Orang Indonesia dari berbagai suku bangsa hidup berdampingan secara damai di berbagai daerah Indonesia. Tidak terelakkan terjadinya sentuh bahasa dari masyarakat bahasa yang berlainan. Hal ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala. Hasilnya banyak orang Indonesia yang menguasai bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang berasal dari masyarakat bahasa lain dan bahasa daerah digunakan dengan sesama orang yang berasal dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Bahkan banyak juga orang Indonesia yang menguasai tiga atau lebih bahasa.

  1. Ekabahasawan (monolingual, unilingual, atau monoglot) adalah orang yang menguasai satu bahasa.
  2. Dwibahasawan (bilingual) adalah orang yang menguasai dua bahasa.
  3. Anekabahasawan (multilingual, plurilingual atau polyglot) adalah orang yang menguasai lebih dari dua bahasa.
  4. Kedwibahasaan

Apakah yang dimaksud dengan kedwibahasaan? B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), mengutip beberapa pendapat tokoh sebagai berikut:

  1. Leonard Bloomfield (1933) mengartikan kedwibahasaan sebagai “penguasaaan (seseorang) yang sama baiknya atas dua bahasa”.
  2. Uriel Weinreich (1968) mendefinisikan kedwibahasaan sebagai “pemakaian dua bahasa (oleh seseorang) secara bergantian”.
  3. “Einar Haugen (1966) mengartikan kedwibahasaan sebagai ‘kemampuan (seseorang) menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain”.

Sangat sulit menemukan definisi yang tepat dan lengkap terhadap kedwibahasaan, tetapi dari beberapa definisi di atas, ada satu tolak ukur yang dikandungnya, yaitu kemampuan seseorang menghasilkan tuturan dalam bahasa lain di luar bahasa ibunya.

Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai seseorang. Pada umumnya bahasa ibu orang Indonesia adalah bahasa daerahnya. Bahasa ibu suku bangsa Makasar adalah bahasa Makasar. Bahasa ibu suku bangsa Manggarai di Nusa Tenggara adalah bahasa Manggarai. Bahasa suku bangsa Nias di Sumatera adalah bahasa Nias, dan sebagainya. Bahasa kedua adalah bahasa lain diluar bahasa ibu yang dikuasai seseorang.

Bahasa kedua pada umumnya orang Indonesia adalah bahasa Indonesia. Menurut dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), penguasaan seseorang terhadap bahasa kedua sangat tergantung pada sering tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu. Penguasaannya atas bahasa kedua itu sedikit banyak akan berpengaruh pada dirinya saat bicara. Kelancarannya bertutur dalam tiap-tiap bahasa menentukan kesiapan untuk memakai bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian.

Penguasaaan seseorang terhadap bahasa pada umumnya tampak saat bertutur. Seseorang yang bertutur dalam bahasa ibunya, diselipi oleh kata-kata bahasa kedua yang dikuasainya. dan Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), menyebutnya sebagai alih kode (code-switching). Alih kode disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, karena orang yang bersangkutan berlatih menggunakan suatu bahasa tertentu dalam membicarakan suatu pokok pembicaraan tertentu. Atau karena kurangnya kata atau istilah dalam salah satu bahasa yang dikuasainya untuk mengungkapkan gagasannya. Contoh alih kode adalah sebagai berikut.

  1. A. San, kemarin saya tunggu sampai satu jam, kamu tidak datangdatang. Aduh, nyeri hate pisan! Kalau memang tidak bisa datang tidak usah janji.
  2. Ya, Esih. Makanya saya sekarang ke sini saya mau minta maaf, punten pisan! Seueur pisan tamu di rorompok!
  3. A Dik, saya dengar kabar selentingan, lo! Wanneer vertrek je naar Holland? Nanti saya titip surat, ya?
  4. Silakan, Mbak.

Lingua Franca

Pasti kalian sering bertemu dengan orang yang berasal dari satu suku. Bahasa apa yang kalian gunakan ketika bertutur (berkomunikasi). Pada umumnya saat orang Indonesia bertemu dengan orang yang sedaerahnya (satu suku bangsa), mereka menggunakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa daerahnya. Cobalah perhatikan orang lain atau orang tuamu, bahasa apa yang mereka gunakan saat bertemu dengan orang sedaerahnya atau orang satu sukunya?

Lantas bahasa apa yang digunakan, saat dua orang dari masyarakat bahasa yang berlainan bertemu? Orang Makasar bertemu dengan orang Jawa. Orang Batak bertemu dengan orang Sunda. Orang Ambon bertemu orang Madura, dan sebagainya. Bahasa apa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi? Bahasa daerahnya, tidak mungkin, karena tidak dimengerti oleh peserta tutur lainnya. Pada umumnya saat dua atau beberapa orang dari masyarakat bahasa yang berbeda bertemu, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa titik temu kedua belah pihak yang memiliki bahasa ibu yang berbeda dan keduanya tidak dapat berkomunikasi menggunakan satu pun di antara bahasa ibu mereka. Saat situasi dan kondisi demikian, bahasa titik temu itu disebut dengan bahasa lingua franca. Bagi masyarakat Indonesia, bahasa lingua franca adalah bahasa Indonesia.

  1. Pijin (Pidgin)

Menurut B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), pijin merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki penutur asli. Munculnya bahasa pijin bermula dari bertemunya dua pihak yang ingin berkomunikasi satu sama lain, tetapi sangat berbeda bahasanya. Mereka tidak menggunakan bahasa ketiga sebagai bahasa perantara, tetapi mereka menggabungkan bahasa mereka menjadi bahasa sendiri yang disebut Pijin. Pijin pada umumnya digunakan sebagai alat komunikasi antara imigran dan orang-orang lokal atau penduduk asli. Sehingga keduanya dapat mengerti tanpa mempelajari bahasa dari kelompok lain. Diperkirakan ada seratus pijin di dunia ini. Kebanyakan pijin dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris, Spanyol dan Prancis. Contoh pijin yang terkenal adalah adalah pijin Melanesia, seperti Tok Pisin di Papua New Guinea, Bislama di Vanuatu dan Pijin di Solomon Island.

  1. Kreol

Seiring dengan perubahan waktu, pijin juga mengalami perubahan menjadi kreol. Pijin yang digunakan oleh generasi pertama kemudia diwariskan kepada generasi berikutnya. Bagi generasi kedua dan seterusnya, pijin berubah kedudukan menjadi bahasa ibu. Pijin yang berubah menjadi bahasa ibu disebut dengan kreol. B. Suhardi dan B. Cornelius Sembiring dalam buku Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), mengartikan kreol sebagai bahasa pijin yang memiliki penutur asli. Pijin untuk generasi dan kreol untuk generasi baru. Kreol juga mengalami perkembangan dari berbagai aspek kebahasaan. Sehingga lama kelamaan, pijin sudah mulai sejajar dengan bahasa-bahasa lain di negara yang memilikinya. Tata bahasa dan kosakata kreol mulai rumit dan kompleks.

Analogi Budaya 7 :

Coba kembangkan orientasi kecakapan hidup pada diri kalian!

Buatlah kelompok diskusi untuk membahas tentang penggunaan bahasa ibu atau bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan bangsa. Kemukakan pendapat kalian disertai dengan argumentasi dan solusi untuk memecahkan persoalan seputar perbedaan atau keragaman bahasa! Setelah menjadi kesimpulan kelompok maka presentasikan pendapat kelompok kalian di depan kelas!

Tradisi Lisan

Ada dua wujud bahasa, yaitu bahasa lisan dan tulis. Bahasa lisan telah digunakan sejak awal peradaban manusia. Beberapa lama kemudian manusia menemukan dan mengenal bahasa tulis. Penggunaan bahasa lisan dan tulis dari dahulu hingga sekarang melahirkan tradisi lisan dan tulis. Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi sastra tulis, diantaranya adalah tradisi tulis Melayu, tradisi tulis Aceh, tradisi tulis Bali, tradisi tulis Sunda, tradisi tulis Sumatera Selatan, tradisi tulis Batak, dan tradisi tulis Sulawesi Selatan (Indonesia Heritage, Jilid 10, 2002)

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat mengandalkan tradisi lisan dalam hal pemeliharaan dan pewarisan budaya masyarakat dari generasi ke generasi. Seperti pemeliharaan dan penyampaian ilmu pengetahuan, adat istiadat, sejarah, filsafat moral, agama, kedudukan sosial, dan norma-norma masyarakat. Tradisi lisan menjelma dalam kisah-kisah lisan di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama.

Kisah lisan memiliki beberapa ciri yang lazim. Biasanya banyak sekali –panjang lebar dan berlebihan dalam bahasa – menggunakan pola dan susunan baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengingat teksnya. Cerita tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Pencerita mengikuti kerangka kerja dasar, tetapi tak ada dua pencerita yang menceritakan satu kisah dengan cara yang sama. Mereka akan menambahkan gaya dan sikapnya sendiri, memperbesar peran tokohtokoh tertentu yang mereka sukai (atau memperkecil yang tidak mereka sukai) atau menambah kelucuannya, tergantung pada khalayak pendengarnya (Indonesian Heritage, jilid 10 2002).

Peran sang pencerita (penutur) dan kedudukannya di masyarakat tergantung pada setiap masyarakat. Pada beberapa masyarakat, para pencerita diperlakukan sebagai dukun atau saman yang berhubungan langsung dengan dewa. Di Indonesia kini, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara pendidikan massal, yang terutama dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang sudah dominan, kebudayaan sastra dengan mengorbankan yang kurang non sastra. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan, “Tulisan lidah”, merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang (Indonesian Heritage, jilid 10, 2002)

Berikut ini disajikan gambaran beberapa bahasa daerah di Indonesia berdasarkan jumlah penuturnya.

  1. Bahasa Jawa

Menurut Hidayah (1999), orang Jawa sering menyebut dirinya Wong Jowo atau Tiang Jawa. Jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain, dan wilayah asal serta wilayah persebarannya di seluruh Indonesia juga paling luas. Pada pembicaraan sehari-hari orang Jawa digunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Menurut Koentjaraningrat (1999), pada waktu mengucapkan bahasa Jawa, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia dan status sosialnya.

Menurut Koentjaraningrat (1999), bila ditinjau dari tingkatannya, bahasa Jawa terdiri dari bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Bahasa Jawa Krama dipergunakan untuk bicara dengan orang yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya. Dari kedua macam derajat bahasa ini, timbul berbagai variasi dan kombinasi dalam bahasa Jawa, yang terletak di antara bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Krama, yaitu bahasa Jawa Madya Ngoko, bahasa Jawa Madya antara dan Bahasa Jawa Madya Krama. Jenis lainnya dari bahasa Jawa adalah bahasa Krama Inggil, terdiri dari 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat dan emosiemosi dari orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosial.

Jenis lainnya lagi adalah Kedaton (atau bahasa Bagongan) yang khusus dipergunakan di kalangan istana. Jenis lainnya adalah bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa. Akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.

  1. Bahasa Bali

Suku bangsa Bali atau Bali Hindu mendiami Pulau Bali yang sekarang menjadi sebuah provinsi dengan delapan buah kabupaten. Pulau yang terdiri dari dataran rendah dikelilingi bagian pesisir dan daerah perbukitan serta pengunungan di bagian Tengah. Suku bangsa Bali menggunakan bahasa Bali dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Bali terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan Jembrana. (Hidayah, 1999).

Peninggalan-peninggalan prasasti dari zaman Bali–Hindu menunjukkan adanya suatu bahasa Bali Kuno yang agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno di samping mengandung banyak kata-kata sansekerta, pada masanya terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit, ialah zaman di mana pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal apa yang disebut “Perbendaharaan kata-kata hormat”, walaupun tidak sebanyak seperti di dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (basa alus) yang dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi, telah mengalami beberapa perubahan akibat pengaruh modernisasi dan cita-cita demokrasi akhir-akhir ini (Koentjaraningrat, 1999).

  1. Bahasa Minangkabau

Daerah asal dari kebudayaan Minangkabau kira-kira seluas daerah propinsi Sumatera Barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan Mentawai. Umumnya orang Minangkabau mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat tertentu, yaitu Par(h)iangan, Padang Panjang. Mereka beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari tempat itu dan kemudian menyebar ke daerah penyebaran yang ada sekarang (Koentjaraningrat, 1999).

Bahasa sehari-hari Mingkabau adalah bahasa Minangkabau. Bahasa Minangkabau termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu Austronesia dengan aturan tata bahasa yang amat dekat dengan bahasa Indonesia, karena itu dekat pula dengan bahasa Melayu Lama yang mendasari bahasa Indonesia. Kata-kata Indonesia dalam bahasa Minangkabau hanya mengalami sedikit perubahan bunyi, seperti tiga menjadi tigo, lurus menjadi luruih, bulat menjadi bulek, empat menjadi ampek, dan sebagainya (Hidayah, 1999).

  1. Bahasa Bugis

Kebudayaan Bugis adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis – Makassar yang mendiami bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan suatu propinsi, yaitu propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa ialah Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Percakapan sehari-hari orang Bugis menggunakan bahasa Ugi (Koentjaraningrat, 1999). Orang Bugis sering juga disebut orang Ugi. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Ugi atau bahasa Bugi. Menurut ahli etnolinguistik klasik, Esser, Bahasa Bugis sekelompok dengan bahasa-bahasa orang Lawu, Sa’dan, Mandar, Pitu Ulunna Sallu, Makasar dan Seko. Bahasa Bugis terdiri pula atas beberapa dialek, seperti dialek Bone, Soppeng, Luwuk, Wajo, Bulukumba, Sidenreng, Pare-Pare dan lain-lain. Sejak berabad-abad yang lalu orang Bugis telah mengenal tulisan sendiri yang disebut aksara lontarak, yaitu aksara tradisional yang mungkin berasal dari huruf sansekerta yang ditulis di atas daun lontar (daun sejenis palem) (Hidayah, 1999).

  1. Bahasa Melayu

Bahasa Melayu dapat ditemukan di Jambi, Langkat dan Riau. Masyarakat Jambi menggunakan bahasa Melayu Jambi. Masyarakat Langkat menggunakan bahasa Melayu Langkat dan bahasa Melayu Riau menggunakan bahasa Melayu Riau. Menurut Hidayah (1999), Bahasa Melayu yang dipakai di Jambi sangat dekat dengan bahasa Indonesia. Bedanya hanya sedikit, misalnya kata-kata yang berakhiran A dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Melayu Jambi menjadi O, seperti duga menjadi dugo, mata menjadi mato, kemana menjadi kemano, permata menjadi permato, dan seterusnya.

Orang Melayu Langkat mendiami daerah sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, mulai dari daerah Langkat di utara sampai ke Labuhan Batu di selatan. Bahasa mereka adalah bahasa Melayu seperti umumnya dikenal orang di sekitar pantai timur Sumatera dan semenanjung Malaysia. Orang Melayu langkat menggunakan bahasa Melayu dialek langkat yang dicirikan dengan pemakaian huruf E pada akhir kalimat. Selain itu, irama (nada) dalam cara berbicaranya juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan bahasa Melayu yang digunakan di daerah lain (Hidayah, 1999).

Suku bangsa Melayu di Riau adalah salah satu keturunan para migran dari daratan Asia bagian tengah. Mereka juga menggunakan bahasa Melayu yang disebut dengan bahasa Melayu Raiu. Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah dianggap sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Riau disebut juga Bahasa Melayu Tinggi, karena awalnya digunakan sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir abad yang lalu. Sebelum mengenal tulisan Latin, masyarakat Melayu Riau menuliskan gagasan mereka dalam tulisan arab – melayu atau arab gundul ( Hidayah, 1999).

Referensi :

Hidayah, Z. 1999. Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. p. 302.

Indonesia Heritage. 2002. Jilid 10. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antarbangsa untuk Grolier International, Inc.

Koentjaraningrat. 1999. Pengantar Ilmu ANtropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Kridalaksana, H. 2005. “Bahasa dan Linguistik,” Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. ed. Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, H. dan H. Sutami. 2005. “Aksara dan Ejaan” dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. ed. Kushartanti. Jakarta: PT. Gramedia.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1983. Kamus bahasa Indonesia, Volume 2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sibarani, R. 2002. Hakikat Bahasa. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XI. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 193.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: