Materi Antropologi SMA Kelas XI: Pemetaan Budaya, Masyarakat Pengguna Bahasa Dialek, dan Tradisi Lisan di Suatu Daerah dan Nusantara

Kantor Bahasa Provinsi Jambi dalam Mengelola Sastra Daerah dan Tradisi Lisan

download (15)

Oleh: Yon Adlis

Abstrak

            Bahasa merupakan alat transmisi budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Kepunahan, menurun, dan melemahnya fungsi suatu bahasa berarti  memiliki implikasi pada lemah, hilang, atau punahnya suatu kekayaan budaya. Kelestarian bahasa, khususnya bahasa daerah, akan memperkuat ketahan budaya daerah yang termasuk di dalamnya sastra lisan dan tradisi lisan. Memanfaatkan potensi budaya daerah seperti sastra lisan dan tradisi lisan sebagai sumber pendidikan karakter merupakan revitalisasi kepribadian anak bangsa yang dibentuk melalui pendidikan yang berbasis budaya.

  1. Latar belakang

Suatu hal yang sungguh ironis dan menyedihkan memang kalau suatu saat nanti, entah lima puluh tahun, entah dua puluh tahun, atau sepuluh tahun lagi, anak bangsa ini tercabut dari akar budayanya. Mereka tidak dapat lagi berpikir, bersenda gurau, bertukarpikiran, menuturkan pengalaman, menyatakan kebahagian/kesediahan, dan menyapa orang tuannya  dengan bahasa ibunya sendiri. Bahasa daerah tersingkirkan dari memori mereka sebagai  anak bangsa,  sementara mereka memiliki sikap dan penghargaan  yang rendah  terhadap bahasa Indonesia. Di perkotaan, anak-anak lebih suka dan lancar menggunakan bahasa asing daripada bahasa ibunya, bahasa daerah, atau bahasa Indonesia. Akhirnya, mereka menjadi manusia yang monolingual dengan kemampuan bahasa Indonesia yang rendah. Anak bangsa ini sebenarnya merupakan penutur multilingual. Namun, tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa mereka telah mengarah pada penutur monolingual.

Fenomena yang ada dihadapan kita saat ini adalah perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada diri anak bangsa sedang terjadi perubahan dalam tatanan kehidupan.  Anak bangsa ini begitu memuja-muja dan mendambakan budaya impor yang sangat populer. Kemajuan teknologi informasi begitu cepat mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku masyarakat. Perilaku  anak muda cenderung lebih egois, tak acuh, masa bodoh, dan individualis pada saat ini. Hal ini merupakan indikator  terjadinya perubahan sosial. Setiap hari dapat disaksikan diberbagai pelosok nusantara adanya budaya kebut-kebutan di jalan yang dilakukan anak muda. Sikap keras kepala, tidak mau mengalah dijumpai mulai di jalan raya, di rumah tangga, di dusun/desa, kota bahkan sampai ke gedung Senayan.  Sifat saling curiga berkembang dengan pesat di lingkungan masyarakat. Saling percaya, kejujuran, kebersamaan, tenggang rasa, merasakan penderitaan orang lain, dan tolong-menolong seolah-olah redup dalam kehidupan bangsa ini. Ada hal yang menarik, yaitu korupsi, manipulasi, eksploitasi, dan tipu- menipu malah menjadi kebiasaan yang lumrah.

Di satu sisi, perilaku manusia, cara berpikir, nilai-nilai yang dianut, dan budaya yang tumbuh dalam suatu masyarakat  dilambangkan dengan bahasa yang dituturkan. Bahasa  yang halus, santun, pantas, layak, dan enak didengar sudah barang langka di negeri ini. Bahasa yang berkembang dari hari ke hari terlihat bahwa penutur menggunakan kata-kata yang kasar, tidak santun, mencela, mengejek, menyindir, bahkan vulgar.  Hal ini menunjukkan bahwa anak bangsa  ini memiliki perilaku bahasa yang sudah sangat buruk. Keadaan ini menandai   sudah semakin tipis rasa bangga anak bangsa pada budaya, bahasa ibu, bahasa daerah, dan bahasa negara sebagai identitas bangsa. Di sisi lain, penggunaan bahasa asing di media luar ruang di berbagai kota besar sampai  ke kota kecil begitu merajalela.  Bahasa media elektronik, iklan di televisi, dan radio begitu banyak menggunakan bahasa Inggris.

Penutur yang menggunakan ragam bahasa yang buruk merupakan indikator adanya perubahan sosial ke arah yang semakin buruk. Fenomena ini menunjukkan bahwa bangsa ini sudah menjurus pada tanda-tanda ke arah jurang kehancuran. Sudut pandang politik kebudayaan, perilaku bahasa dan perilaku sosial yang memburuk  merupakan penguatan konsep luluh-lantaknya budaya daerah dan budaya nasional.  Pedoman moral di tengah masyarakat nampaknya semakin kabur. Berbohong, menipu, mencuri, mencela, berujar dengan bahasa/kata-kata yang kasar sudah merupakan hal yang lumrah dan dirasakan bukan kesalahan lagi.

Modal sosial yang dimiliki bangsa ini semakin menipis dan mengarah pada kekacauan, misalnya masyarakat berperilaku boros alias konsumtif, mencari jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah, kurangnya kemauan bekerja keras, individualis, dan tidak ada rasa kebersamaan. Padahal negara yang dapat unggul dalam persaingan global adalah negara  yang penduduknya memilki  modal sosial yang tinggi, seperti Jepang, Korea, Cina, dan Thailand. Keempat negara ini memiliki sumber daya manusia yang baik karena masyarakatnya hidup hemat, pekerja keras, memiliki loyalitas dan kebersamaan yang tinggi. Di sisi lain, faktor modal sosial yang dimiliki warga suatu negara merupakan penentu keberhasilan memenangkan persaiangan global.

Keadaan yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya.  Budaya tidak akan dapat di ekspresikan tanpa bantuan media bahasa. Kehancuran suatu budaya, baik daerah maupun budaya bangsa, berawal dari memburuk, menipis, dan  memunahnya bahasa daerah. Negara yang kuat dalam menghadapi tantangan globalisasi adalah negara yang berpijak pada  budaya dalam pembangunan bangsanya.

Berdasarkan pemikiran di atas, makalah ini membahas campur tangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang juga merupakan  lembaga pengusung tujuan pendidikan di negeri ini dalam mempertahankan, melindungi, dan merevitalisasi bahasa daerah, sastra lisan, dan tradisi lisan yang merupakan bagian dari kebudayaan daerah. BPPBN (Badan Pengembangan dan Perlindungan Bahasa Nasional) sangat berkepentingan  dalam pelestarian bahasa-bahasa daerah baik dari sisi kebahasaan maupun sastranya (sastra lisan dan tradisi lisan) sebagian budaya.

2.Pembahasan

Salah satu penyebab keadaan ironis yang dipaparkan pada bagian latar belakang adalah adalah kebijakan pendidikan yang tidak mau berpihak pada pendidikan yang berbasis budaya. Selama ini pendidikan di Indonesia begitu berorientasi pada pendidikan kapitalisme dan imperialisme barat. Pembangunan moral tidak diseimbangkan dengan pembangunan materi. Hal yang berkaitan dengan budaya, seperti tradisi, tradisi lisan, sastra lisan, budaya lokal  sebagai entitas yang unggul untuk menciptakan manusia yang dapat bersaing secara sehat dalam hidup dan kehidupannya tidak banyak digubris para pelaku pendidikan untuk dijadikan sebagai dasar pendidikan . Artinya, pendidikan di Indonesia tidak berhasil merakayasa manusia Indonesia yang cerdas  berbasis budaya.  Sementara itu, manusia yang hemat, mau bekerja keras, loyal, dan penuh daya juanglah yang  akan dapat memenangkan persaingan global secara baik.

Pendidikan merupakan alat pembangunan bangsa, watak masyarakat, perilaku, peradaban, dan budaya akan tumbuh dan berkembang dari dalam kelas. Dieter Mark (1996) mengemukakan bahwa pembangunan suatu bangsa yang mengabaikan kebudayaan  akan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Pembangunan yang tidak berakar pada dasar budayanya akan mengakibatkan hilangnya kepribadian dan jati diri bangsa yang bersangkutan. Bangsa yang demikian pada gilirannya akan lemah dalam menghadapi persaingan global bahkan pada akhirnya bisa runtuh, baik yang disebabkan kuatnya tekanan pengaruh dari luar  maupun oleh pengeroposan dalam tubuhnya sendiri.

Sebenarnya  bangsa Indonesia  kaya dengan khasanah budaya yang dapat dijadikan sebagai landasan dan arah pendidikan kita.  Nenek moyang kita terkenal dengan budaya melaut, budaya bertani,  religi yang kuat. tetapi adakah budaya ini dijadikan dasar pendidikan di sekolah.  Hal ini mengakibatkan budaya kelautan, budaya pertanian, dan budaya taat beragama semakin hilang.

Negara kita berdiri kokoh dalam keanekaragaman bahasa dan budaya. Tidak terlalu berlebihan kalau kita mengatakan bangsa Indonesia  merupakan negeri yang kaya dengan budaya, seperti bahasa, tradisi, sastra lisan, tradisi lisan, tarian, dendang, pepatah petitih, seni kerawitan,  sandiwira, masakan yang sekarang terkenal dengan kuliner, arsitek bangunan, bahkan alat transportasi laut, danau, sungai, dan darat.  Setiap etnis memiliki bahasa yang unik dan menarik yang dapat memutar roda kehidupan penuturnya.  Di nusantara ini diberbagai daerah hidup budaya lokal yang menggambarkan pola pikir, filsafat hidup, dan perilaku keseharian pemiliknya. Sekitar seribu etnis yang berbeda  mendiami tanah ibu pertiwi ini dengan keragaman  bahasa yang berjumlah sekitar 712 bahasa daerah . Budaya yang tersebar dalam hampir seribu etnis diwujudkan dalam bermacam bentuk, seperti tarian, tradisi lisan, sastra lisan,  arsitek rumah, makanan, nyanyian, pepatah, dan cerita rakyat.

Sastra lisan dan tradisi lisan merupakan potret kehidupan masyarakat di masa lampau. Keduanya juga merupakan luapan emosi kejiawaan pemiliknya. Dalam kehidupan sekelompok orang terukir cara pandang, pola pikir, tata kelola alam, masyarakat, dan lingkungannya, serta adanya aturan keseimbangan antara manusia dan alam, pemikiran yang jernih melihat kehidupan sebagai fenomena kebersaamaan, toleran, rasa cinta, saling membutuhkan bukan sebagai perlombaan capaian materi terkubur dalam tradisi lisan dan sastra lisan. Beragam pembelajaran moral dan etika ada di dalam kedua kekayaan produk budaya masa silam ini. Masalahnya, kita tidak banyak melirik khasanah harta karun yang begitu besar ini untuk dijadikan dasar berbangsa dan bernegera melalui pendidikan.

Perbedaan wujud budaya dan  bahasa lokal ini bukan menjadi halangan untuk menyatakan kita dalam satu bangsa dan satu bahasa. Dalam satu wilayah yang tidak begitu luas dari segi ukurannya bisa saja ditemukan sejumlah bahasa dengan keaneragaman budaya, tradisi, dan tradisi lisan. Semua etnis menonjolkan identitasnya dengan bahasa dan budaya yang berbeda dengan etnis lain. Semua ini menjadi modal yang kuat untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki karakter yang unggul, hemat, punya daya juang, bekerja keras, setia pada apa saja, disiplin, dan tidak konsumtif.

Negeri Melayu Jambi sama dengan etnis lain banyak menyimpan tradisi lisan, sastra lisan, dan tradisi yang menggambarkan pola pikir, pandangan hidup, cara pandang, perilaku, nilai, dan moral anak-anak melayu. Kita masih sering menemukan seloko adat dalam pernikahan yang digunakan sebagai tradisi lisan dalam membesarkan makna pernikahan. Krinok masih sering didendangkan oleh pelantunnya kalau ada musim beladang ke humo, mendirikan rumah, dalam pernikahan, atau dalam acara ritual di tengah masyarakat Melayu. Masih banyak pula tunjuk ajar dari pepatah petitih atau pantun yang dilantunkan di tengah rumah saat menjelang tidur oleh para nenek di kampung.  Semua tradisi lisan ini menunjukkan bahwa anak Melayu memiliki identitas, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai moral yang masih dibutuhkan anak muda Melayu pada zaman kemajuan ini bahkan sampai masa yang akan datang.

Kenyataannya, pada masa kemajuan teknologi ini tradisi, tradisis lisan, dan sastra lisan bersaing secara tidak berimbang. Budaya populer semakin meracuni kehidupan orang-orang desa dengan cara yang sangat cepat dan dramatis. Tayangan televisi sudah menggusur  perhatian anak desa dari budayanya, tradisi sudah dilupakan, sastra lisan sudah dianggap barang antik, dan tradisi lisan tidak lagi menjadi tontonan yang menarik bahkan dianggap sudah kuno. Perilaku yang ramah-tamah berubah menjadi perilaku yang acuh, tidak peduli sama orang lain, tegur sapa menjadi barang yang mahal, bahkan pendidikan rumah tangga pun menjadi hilang. Di rumah-rumah tidak ada lagi makan bersama pada siang hari atau pada malam hari. Anak-anak balita sudah dininabobokkan dengan permainan yang serba elektronik sehingga tidak ada lagi lantunan cerita rakyat menjelang tidur.

Kesibukan mengurus pekerjaaan, politik, rumah tangga, dan mencari nafkah membuat manusia lupa akan tradisi, budaya, cerita tentang tokoh terkenal, sakti, penolong, ramah, dan suka memberi di kampungnya. Masyarakat Indonesia seolah tercabut dari akar budayanya. Masalah demi masalah, konflik sosial, saling bunuh terjadi di mana-mana. Penurunan nilai kearifan sudah meraja- lela di seluruh nusantara ini. Egoisme yang lebih menonjol menyapa kita di setiap lini kehidupan. Semua ini terjadi karena kita melupakan nilai-nilai budaya yang dianut para pendahulu kita.

Bahasa daerah yang ada di nusantara banyak yang terancam punah. Ada yang penuturnya tinggal satu orang dan ada pula yang sudah punah. Hal ini menunjukkan bangsa kita tidak menghargai budayanya. Lihat saja, tradisi lisan di jagat nusantara  banyak sekali yang sudah punah, maestronya sudah tidak ada. Masyarakat dan pemerintah seolah setengah hati dalam menjaga warisan budaya nenek moyang.

Lain halnya dengan negara Jepang yang pernah menjajah Indonesia. Negara ini begitu kuat mempertahankan kemurnian budaya warisan nenek moyangnya bahkan mereka siap mengisolasi diri dari dunia luar selama 219 tahun (635-816). Salah satu alasan pemerintah Jepang menutup diri ini karena mempertahankan warisan budaya mereka. Setakad ini, budaya asing tidak begitu banyak mengubah budaya asli orang Jepang. Mereka sangat bangga dengan bahasa negaranya. Bahasa daerahnya mereka pelihara dengan baik agar dapat abadi sampai akhir zaman. Tradisi mereka tetap hidup di tengah kemajuan negerinya.

  1. Kebijakan

Kebijakan Badan Pengembangan dan Pelindungan Bahasa berkaitan dengan Tradisi Lisan. Kebijakan merupakan campur tangan yang dilaksanakan satu instansi  atau lembaga terhadap suatu fenomena yang ada dalam kehidupan sosial masyakat. Hal ini tentu lebih kental dengan keputusan-keputusan politis yang diambil oleh negara melalui instansi pemerintah yang diberi tanggung jawab tentang suatu hal.

Tradisi lisan merupakan ungkapan emosi suatu  kelompok atau etnis yang mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi yang dilengketkan dengan gerak berupa tarian, upacara, kegiatan ekonomi (bertani, berlayar, menangkap ikan, berburu, dll). Berkaitan dengan pemanfaatan bahasa sebagai media ekspresi dalam folklor dan tradisi lisan maka pelindungan bahasa terutama pemertahanan bahasa sangatlah tepat BPPN memiliki kebijakan khusus tentang tradisi lisan yang termasuk di dalamnya cerita rakyat, ungkapan tadisi, pepatah petitih, sejarah lokal, seloka, pantun, syair, dan gurindam.

Dilihat dari pesan pendidikan yang ada di dalam tradisi lisan yang berupa nilai-nilai yang memperkuat rasa kebersamaan, rasa memiliki kelompok etnis yang akhirnya menyatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia akan memperkuat perlunya tradisi lisan menjadi perhatian BPPN dan berbagai instansi pemerintah. Tradisi lisan muncul dan berkembang di tengah masyarakat nusantara ini tidak hanya pada masa lampau, tetapi masa kini, dan bahkan di masa mendatang maka BPPN melakukan hal-hal berikut.

  1. Pendokumentaisan tradisi lisan
  2. Revitasilasi tradisi lisan
  3. Pengembangan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan karakter

Kebijakan tentu tidak dapat dibuat begitu saja tanpa melihat peta apa yang sudah dilakukan selama ini oleh pemerintah dan ilmiah atau kalangan akademisi. Yang perlu diperhatikan sebelum membuat kebijakan di antaranya perlu dilihat kajian yang menyangkut tradisi lisan.

3.1. Pemetaan

Pemetaan yang dimaksud dalam kebijakan ini adalah usaha untuk menggambarkan  jumlah varian dialek bahasa Melayu di Jambi termasuk di dalamnya bahasa Orang Rimba, dan Bahasa Kerinci. Hal yang dipetakan selain jumlah dialek bahasa Melayu di daerah ini termasuk jumlah penutur, jumlah satra lisan (cerita rakyat, ungkapan-ungkapan, pepatah-petitih,  jumlah tradisi lisan, kepunahan bahasa, dan tradisi yang masih bagian khasanah budaya. Penduduk Melayu yang tersebar di berbagai desa tentu memiliki sastra lisan dan tradisi lisan yang berbeda dan tidak tertutup kemungkinan ada yang sama. Semua ini akan dilihat dengan mengadakan pemetaan bahasa, sastra, dan tradisi lisan.

Bahasa Melayu di Provinsi Jambi yang merupakan harta karun budaya bangsa, beraneka ragam keindahan tradisi,  pengetahuan, dan teknologi memang belum terancam punah. Namun, sastra lisan dan tradisi lisan boleh dikatakan  belum difungsikan secara baik di tengah masyarakat sebagai hiburan rakyat pengiring acara ritual acara adat dan kegiatan sosial yang lain. Artinya, eksistensi tradisi lisan dan sastra lisan dalam komunitas masyarakat adat Melayu sudah mulai redup, tidak bersinar lagi, seperti masa-masa 70-an ke bawah. Bahasa Melayu memang masih relatif terjaga kelestariannya di tengah masyarakat penuturnya, tetapi kalau dilihat bahasa Melayu yang dipakai orang Rimba sudah mulai terancam punah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya kehidupan meraka yang terdesak oleh pengeksploitasian hutan untuk lahan pertanian, pengambilan kayu balok, dan pertambangan memaksa meraka harus bergabung dengan masyarakat yang tinggal di dusun-dusun sekitar hutan.

Di permukiman baru anak-anak Rimba sudah mulai bersekolah dan dalam kegiatan pendidikan bahasa Rimba tidak dituturkan. Setelah tamat sekolah, mereka dapat pekerjaan dan mencari kehidupan. Mereka tidak lagi hidup di rimba, tetapi di tengah masyarakat yang maju.  Hal ini membuat mereka juga tidak lagi menuturkan bahasa Rimba. Sebagian mereka juga melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang tidak berasal dari orang Rimba. Kawin silang ini juga membuat bahasa Rimba tidak digunakan lagi di rumah tangga meraka. Selain itu, orang Rimba sudah merasa tidak nyaman alias sudah merasa rendah diri disebut orang Rimba sehingga mereka menghilangkan identitasnya  sebagai orang Rimba termkasuk  bahasa, tradisi, tradisi lisan, sastra lisan, dan perilaku hidup yang meraka lakukan selama ini. Dalam keadaan seperti ini  bahasa Rimba yang relatif sedikit penuturnya menghadapi ancaman yang cukup serius dalam sudut pandang kepunahan bahasa. Kehilangan bahasa  dalam satu kelompok manusia berarti kehilangan identitas budaya yang ada di dalamnya.

Pokok pikiran yang dikemukakan di atas menjadi alasan yang kuat untuk mengemukakan faktor yang dapat mengancam keberlangsungan bahasa lokal beserta tradisi lisannya. Ragam bahasa dan dialek yang ada dalam bahasa Melayu yang dituturkan oleh berbagai kelompok di daerah-daerah yang berbeda belum pernah di- petakan secara menyeluruh. Hal ini di sinyalir akibat luasnya wilayah permukiman penduduk Melayu di Sumatera bagian selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jambi, Kepulauan Riau, dan Sumatera utara).

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang dominan dengan dialek dan logat yang berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnya, bahasa Melayu Seberang Jambi, Melayu Nipahpanjang, Melayu Sabak, Melayu Kualatungkal yang berada dipesisir sungai berbeda logat dan dialeknya dengan Melayu Bangko, Melayu Sarolangun, dan Melayu Muarobungo. Perbedaan dialek dan logat ini juga memunculkan sastra lisan dan tradisi lisan yang berbeda di antara wilayah-wilayah yang didiami etnis Melayu dengan dialek dan logat yang khas di daerah itu. Perbedaan lain ditemukan pada bahasa Melayu yang digunakan di daerah Kerinci. Orang Melayu di pesisir dan Melayu di pedalaman, seperti orang Batin umumnya dapat menuturkan bahasa Melayu yang dapat dimengerti oleh kelompok Melayu lain. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat kelompok melayu di daerah Kerinci. Bahasa mereka sulit dimengerti oleh orang Melayu di luar wilayah ini.

Keragaman dialek dan bahasa Melayu diberbagai daerah Jambi sepertinya mulai terancam bergeser pada dialek bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional kita. Hal ini disebabkan gencarnya pemasyarakatan bahasa Indonesia di media cetak, media elektronik, dan penggunaan bahasa Indonesia di ranah pendidikan.

Pertemuan adat yang  bersifat ritual yang diadakan di desa bahasa Indonesia yang resmi sudah banyak digunakan. Hal ini ditandai dengan adanya alih kode, campur kode, dan penggantiannya. Oleh karena itu, kerumitan yang dihadapi oleh pemangku kepentingan dalam melestarikan bahasa Melayu mulai sangat tampak akhir-akhir ini

3.2 Pemanfaatan Tradisi Lisan Sebagai Muatan Pendidikan Karakter

Kebijakan pendidikan yang tidak mendukung pelestarian bahasa Rimba. Pelestarianan bahasa daerah yang ada di daerah Provinsi Jambi sepertinya belum ada kebijakan khusus yang dibuat oleh pemerintah. Bahasa daerah belum diajarkan atau tidak dijadikan sebagai alat interaksi dalam dunia pendidikan walaupun itu tingkat sekolah dasar, guru dan murid, bahan cetak, serta buku ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga frekuensi ruang  bahasa daerah semakin sempit. Hal ini membuat lulusan sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi enggan , malu, bahkan merasa tidak nyaman menggunakan bahasa daerah. Fenomena ini juga mengakibatkan anak Melayu dengan usia muda tidak lagi mengenal tradisi dan tradisi lisanya karena mereka sudah kehilangan bahasa ibu atau aslinya akibat kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada bahasa lokal.

Lebih jauh kehilangan bahasa lokal merupakan jalan yang mulus untuk menghilangkan budaya lokal termasuk di dalamnya satra lisan, tradisi lisan seperti tradisi berpantun, tradisi seloko tradisi krinok senandung, metik simul, bekabah, dan tari Melalak, tidak lagi dikenal oleh anak muda Melayu Jambi.

Muatan lokal yang ada di sekolah-sekolah bukanlah bahasa derah yang memunculkan pendidikan kearifan lokal berupa nilai-nilai, moral, aturan kemasyarakatan, hukum-hukum sosial yang bersumber dari bahasa lokal. Tradisi lisan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan pendidikan yang tidak disentuh oleh bahan ajar di sekolah. Sekolah-sekolah di kabupaten dan di Kota Jambi  memberikan huruf aksara Melayu Jawi sebagai muatan lokal.

4.Strategi Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah Jambi

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memberi roh pada budaya termasuk sastra lisan dan tradisi lisan, di antaranya menerapkan pendekatan integratif dan partispasif.

            Pendekatan integratif berusaha menangkap isu yang tidak hanya terbatas pada isu budaya yang ada, tetapi juga isu-isu lain yang berpengaruh terhadap eksistensi sebuah budaya, seperti kelestarian lingkungan hidup, akses terhadap sumber daya alam, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Pendekatan partisipatif diterapkan untuk menjamin keterlibatan  masyarakat pemilik budaya dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budaya meraka. Dengan demikian, proses transformasi dan aktualisasi dijalankan secara sadar dan sukarela, bukan atas dasar ketidaktahuan atau paksaan.

Selama kurun waktu lima tahun ke depan BPPN/ Kantor Bahasa Propinsi Jambi akan mendokumentasikan ribuan naskah tradisi lisan serta menerbitkannya dalam berbagai bentuk. Tabel 1 memberikan gambaran tentang rencana induk produk yang akan  dihasilkan oleh BPPN/KBPJ dalam bentuk fisik.

Daftar Pustaka

https://atljambi.blogspot.co.id/2012/10/kantor-bahasa-provinsi-jambi-dalam.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: