Saatnya Generasi Muda Melawan Radikalisme #2

Saatnya Generasi Muda Melawan Radikalisme

Fungsi dari mempelajari Radikalisme agar kita bisa menjaga diri (mawas diri)
Radikalisme dari kata radikal yang artinya perubahan paham atau aliran yang inginkan pembaharuan dengan cara keras/dratis.
Faktor penyebab Radikalisme :
1. Faktor Pemikiran
2. Faktor Ideologi
3. Faktor Politik
4. Faktor Ekonomi
5. Faktor Sosial
6. Faktor Psikologi
7. Faktor Pendidikan
8. Faktor Kurangnya wawasan kebangsaan

Baru-baru ini masyarakat kembali dikejutkan dengan penangkapan 11 orang terduga pelaku aksi teroris yang dikabarkan merencakan aksi kekerasan dan teror di sejumlah lokasi di Indonesia. Penangkapan ini membuat sebagian masyarakat dan kalangan bertanya-tanya atas derasnya proses rekrutmen orang-orang yang kemudian diarahkan untuk melakukan tindakan teror yang kerap kali menyalahgunakan pemahaman agama. Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror mengamankan sebelas orang terkait kelompok teroris Harakah Sunny untuk Masyarakat Indonesia di empat kota yakni Solo, Bogor, Madiun, dan Jakarta.
Kegiatan teror dan radikal ini meresahkan berbagai kalangan masyarakat. Yang mengejutkan banyak pihak, ternyata sebagian besar pelaku bom buku dan perencana serangan merupakan lulusan perguruan tinggi , bahkan diantaranya lulusan perguruan tinggi Islam. Pelaku jelas-jelas menunjukkan pemahaman keagamaan Islam dengan cara sempit, bercorak eksklusif, dan keras.
Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian manusia berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun terhadap pengaruh ideologi radikalisme. Radikalisme menyeruak menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Kasus seperti diatas dapat ditemukan dalam skala berbeda di banyak perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekruitment daripada mahasiswa mahasiwa perguruan tinggi  agama Islam. Gejala ini jelas berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan tinggi umum khususnya bidang sains dan teknologi, cenderung hitam putih. Sedangkan mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang mendapat kergaman perspektif tentang islam cenderung lebih terbuka dan bernuansa ( Azyumardi Azra, Kompas, 27/4/11 ).
Perguruan tinggi Islam mempunyai peran besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia sebagai bangsa dunia. Sedari dini generasi muda dan mahasiswa perlu dilatih berpikir dan berkomunikasi menggunakan dua bahasa sekaligus. Dua bahasa yang dimaksud kepatuhan dan tata pergaulan yang dapat memahamkan kalangan internal umatnya sendiri sekaligus dapat dipahami wilayah publik yang lebih luas di luar komunitasnya.
Mendidik genersi baru yang sadar bahwa ia adalah warga dunia, yang tidak berpandangan ghetto, dan berkomunikasi dua bahasa merupakan pekerjaan pendidikan yang tidak mudah. Pengenalan pandangan dunia keislaman yang bercorak klasik, modern, dan postmodern merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar.
Ideologi radikal dan teroristik tidak bisa diatas hanya dengan wacana, bahkan  tindakan represif aparat penegak hukum sekalipun. Ia harus dihadapi dengan kontra ideologi dan perspektif keindonesiaan yang utuh. Tidak perlu redesain kurikulum meynyeluruh karena hal itu akan mengganggu stabilitas akademis keilmuan. Yang mendesak perlu dilakukan adalah revitaslisasi mata kuliah yang bersifat ideologis pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama. ( Azra, 2011 ).
Azumardy Azra juga menambahkan, Pancasila yang marjinal sebagai negara sejak reformasi juga terjadi di perguruan tinggi negeri. Mata kuliah pancasila di beberapa perguruan tinggi diganti dengan Filsafat Pancasila atau dihapus sama sekali. Filsafat pancasila lebih sebagai wacana akademis daripada wacana ideologis. Padahal hanya dengan memahami pancasila tumbuh semangat kebangsaan keindonesiaan, dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Agama semestinya tidak hanya mengulangi ajaran teologis-normatif agama, tetapi juga penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan dan diorientasikan untuk penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama serta toleransi intra agama dan antar agama serta anatara umat beragama dengan nagara.
Yang tidak kurang kalah penting adalah revitalisasi lembaga, badan, dan organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus. Organisasi-organisasi yang ada di kampus memegang peranan penting untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme ini melalui pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang komprehensif dan kaya makna.
Keanggotaan dan aktivisme organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal yang ekstrem. Sebaliknya terdapat gejala kuat para mahasiswa yang non aktivis dan kutu buku sangat mudah terkesima sehingga segera dapat mengalami cuci otak dan indoktrinasi pemikiran radikal dan ekstrem. Mereka cenderung naïf dan polos karena tidak terbiasa berpikir analitis, kritis, seperti lazimnya dalam dkehidupan dunia aktivis.
Menggalakkan propaganda anti radikalisme seharusnya menjadi salah satu agenda utama untuk memerangi gerakan radikalisme dari dalam kampus. Peran itu menjadi semakin penting karena organisasi mempunyai banyak jaringan dan pengikut sehingga akan memudahkan propaganda-propaganda kepada kader-kadernya. Jika ini dilaksanakan dengan konsisten, maka pelan tapi pasti gerakan radikalisme bisa dicegah tanpa harus menggunakan tindakan represif yang akan banyak memakan korban dan biaya.

Sumber : https://www.kompasiana.com/djokolelono/saatnya-generasi-muda-melawan-radikalisme_5519508481331128769de0e2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: