Daftar Pengunjung

kalender

November 2015
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Review Teori Tan Malaka

Biografi Tan Malaka

Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan dan tokoh, yang telah mengisi perjuangan Indonesia merebut penjajahan dari kolonialisme. Tan Malaka merupakan salah satu Bapak Republik Indonesia yang terlupakan oleh generasi muda Indonesia. Ia (Tan Malaka) orang pertama yang menulis tentang konsep atas cita-citanya  membentuk Republik Indonesia, Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”, sementara Soekarno menyebutnya sebagai “seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara Republik Indonesia. Mungkin dua – tiga generasi melupakan sosok sejarah perjuangannya selama ini, tokoh perjuangan ini kembali terkuak ketika reformasi 1998 pecah menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun. Karena mainstream pemikiran dan ideologinya adalah seorang Marxisme, tokoh perjuangan ini sengaja dihilangkan oleh penguasa Orde Baru, agar tidak menimbulkan semangat baru revolusi politik menentang sistem politik status quo Orde Baru.

Dengan nama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir 2 Juni 1897 tokoh Minangkabau Sumatra Barat, merupakan keturunan keluarga berada dan muslim taat. Namun perjalanan hidup dan karirnya berkata lain bukan menjadi seorang ulama. Mengenyam pendidikan di tingkat lokal yang baik karena ayahnya seorang pejabat, Tan meneruskan pendidikan sekolah guru di Haarlem Belanda, Rijkweekschool pada 1913. Pendidikan di Negeri Kincir Angin ini tidak terlepas dari campur tangan G.H.Horensma seorang guru asal Belanda yang pernah mengajari music cello di sekolah tingkat pertama di Indonesia.

Namun pendidikan sekolah guru di Belanda bukan hanya menjadikannya sebagai calon guru bagi rakyat Indonesia, namun telah menguatkan tekad dan cita-citanya untuk melakukan revolusi di Tanah Air oleh penjajah kolonialis. Tekadnya ini didukung pula oleh diskusi politik dengan mahasiswa lainnya dari negara lain yang mengikuti perkembangan politik dunia yang memasuki perang dunia. Sehingga perang yang terus berkecamuk telah mempengaruhi pemikirannya, selain sering membaca koran atau buku dari aliran “kiri” dia rajin mencari informasi politik. Buku yang sering dibacanya adalah karangan filsuf Jerman Friedrich Nietzche (Will to Power) dan penulis esai The French Revolution karya Thomas Carlyle dari Skotlandia. Dari buku ini Tan mengenal semboyan Liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).

Revolusi komunis yang di Rusia pada Oktober 1917, semakin memberi keyakinan pada Tan bahwa politik dunia sedang beralih ke sosialisme, selain itu berbagai gagasan baru tentang bagaimana bangsa Indonesia dibangun dan bangkit menuju kemerdekaan, berseliweran dalam pemikiran dan benak Tan apa yang tepat fondasi bagi Indonesia.

Sebagai pelajar dari bangsa yang terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari kolonialisme, dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan kelulusan dan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan Malaka memutuskan untuk kembali ke Tanah Air pada 1919. Tan memang kembali ingin merealisasikan cita-citanya untuk berjuang bagi bangsa Indonesia, karena cita-cita ini pulalah Tan Malaka kembali ke Belanda, namun bukan sebagai pelajar, melainkan sebagai buangan politik karena dianggap radikal. Terpesonanya pada paham Marxisme-Leninisme, menyebabkan dia berkali-kali dipenjara dan dibuang dari negara yang disinggahinya. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxis-lah yang menyebabkan dia dipenjara dan dibuang. Tapi pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di dunia, tapi untuk kemerdekaan Tanah Airnya.

Naar de ‘Republiek Indonesia’

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan Malaka dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer, dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.

Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 69 tahun, artikel ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

Tan Malaka filsuf tersohor Indonesia meninggalkan misteri dari sisi kehidupannya, tapi menghidupkan akal sehat manusia ketimuran dengan karya terbaiknya. Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog). Mahakarya ini menempatkan Tan Malaka sebagai salah satu tokoh filsuf Indonesia, bahkan tidak sedikit orang yang mengatakan Tan Malaka adalah satu-satunya filsuf yang dimiliki oleh Indonesia.

Perjalanan hidup Tan Malaka melahirkan kontroversi dan tanda tanya di penghujung hayatnya, karena kaburnya jejak kehidupan Tan Malaka seperti hilang di telan bumi, hilang yang tak tau rimbanya, mati yang tak tau kuburnya, ia raib bersama orisinalitas pemikirannya, kabur bersama konsistensi dan komitmen hidupnya, tetapi kekuatan berpikir yang dimiliki Tan Malaka disandarkan kepada hasil berpikir ilmiah yang berangkat dari problematika sosial ke Indonesiaan.

Perang Dunia I (1914-1918) telah memecah dunia antara negara-negara yang kalah dan yang menang perang, namun namun dua-duanya menderita secara ekonomi. Yang kalah bayar biaya dan pampasan perang, yang menang bayar biaya  perang. Karena itu dua-duanya harus ditolong oleh para raja-uang Amerika Serikat seperti J.P. Morgan, melalui organisasi bantuan seperti Rencana Dawes (1924). Dua-duanya juga harus tunduk terhadap kekuatan modal tersebut, yang kalah menjadi negeri setengah-jajahan, yang menang menjadi sekutu yang patuh. Itu berarti kapitalisme bukannya terpukul seperti diharapkan segera setelah Revolusi Rusia (1917-1920), tapi agaknya bakal memperoleh masa damai untuk berkembang.Semua hal itu membuat kekuatan revolusioner menghadapi kesulitan menentukan sikap: bergerak dengan perkiraan kapitalisme segera akan runtuh atau kapitalisme akan berembang dalam masa damai. Kesulitan ini diatasi dengan tidak memilih perkiraan yang mana pun, tapi membuat  kekuatan revolusioner tidak boleh lupa dengan kesadaran pertentangan kelas sosial, yang kini bekerja pada tataran negara. Negara-negara yang menang perang bakal bersaing di bidang modal [kolonialisme dan imperialisme], sedang negara-negara setengah jajahan karena kalah perang siap menanti kesempatan yang timbul akibat persaingan itu. Demikianlah Jepang menjadi pesaing besar di Asia, dan Jerman menanti kesempatan di Eropa. Dua-duanya dapat menimbulkan perang dunia baru.

Sementara Jerman dan Jepang menanti kesempatan baik, pertentangan kelas sosial terus bergolak menuju kehancuran kapitalisme untuk diganti dengan sistem kemasyarakatan yang baru. Ternyata kekuatan revolusiner dunia sekarang jauh lebih terkait satu sama lain, makanya kekuatan revolusioner wajib bergerak sesuai dengan asas pertentangan kelas sosial, ada atau tidak ada peluang akibat persaingan dunia kapitalis. Kekuatan revolusioner patut memusatkan upaya untuk membentuk di mana-mana Partai Rakyat Pekerja dan memperkuatnya, membawa massa yang menderita di bawah pimpinan kita dan akhirnya memperkuat ikatan dan setia-kawan internasional. Dengan demikian Jika nanti waktu untuk bertindak bagi kita telah datang, kekuatan revolusioner sudah siap.

Pertentangan seperti itulah yang berkobar di Bandung, Sumedang, Ciamis, dan Sidoarjo, utamanya sejak Februari 1925. Rakyat Indonesia di bawah siksaan di luar batas prikemanusiaan tetap menuntut hak-hak kelahirannya hak-hak asasi. Hak-hak  yang semenjak puluhan tahun yang lalu telah diakui di Eropa dan Amerika, tapi oleh imperialisme Belanda dijawab dengan tindakan-tindakan biadab. Politik apakah yang harus kita lakukan pula sekarang?  Jawabannya tergantung pada kemampuan kaum revolusioner untuk melihat kenyataan sosial Indonesia dengan kacamata pertentangan kelas. Lebih dari 300 tahun imperialisme Belanda melakukan politik ‘gertakan’ dan ‘tindasan’. Belum pernah  politik semacam itu oleh rakyat Indonesia disambut dengan terang-terangan dan sewajarnya, sebagaimana telah terjadi pada 1 Pebruari 1925.Sambutan ini berbeda dengan aneka perlawanan sebelumnya seperti Perang Jawa atau Perang Aceh. Perlawanan ini berkobar karena sumpah, jimat, suara gaib atau segala kegelapan-kegelapan feodal, sedang perlawanan sejak Februari 1925 karena hak-hak yang nyata dan wajar sebagai manusia hak-hak asasi. Kini penjajah berkata kepada diri sendiri Orang Indonesia tak dapat lagi digertak dan ditindas. Namun demikian, karena mengenal susunan sosial-ekonomi Indonesia, kekuatan revolusioner Indonesia tahu bahwa pemegang kekuasaan itu tak akan dapat selangkah pun keluar dari lingkungan sempit birokrasinya.Imperialisme Belanda tak akan dapat dengan seketika memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah berlangsung berabad-abad dengan serentak.

Apa saja yang akan coba dilakukan oleh imperialisme Belanda untuk membuka kompromi itu akan hanya berarti satu tetes air di atas besi yang membara. Itu berarti krisis Indonesia bukan hanya krisis politik, seperti di Mesir, India-Inggris, dan Filipina, akan tetapi juga terutama adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi ini tak akan dapat disembuhkan dalam beberapa tahun. Karena itu  imperialisme Belanda tak akan mungkin mendekati rakyat Indonesia dengan memberikan konsesi politik dan ekonomi, ia harus melakukan politik biadab yang lama, warisan dari Oost Indische Compagnie.

Marx pernah berkata: Proletariat tak akan kehilangan sesuatu miliknya, kecuali belenggu budaknya. Kalimat ini dapat kita gunakan di Indonesia lebih luas. Di sini anasir-anasir bukan proletar berada dalam penderitaan yang sama dengan buruh industri, karena di sini tak ada industri nasional, perdagangan nasional

Tujuan Partai-partai Komunis dunia ialah menggantikan sistem kapitalisme dengan komunisne. Namun, penggantian ini tidak bisa serta-merta, perlu suatu masa peralihan yang tidak bisa dipastikan lamanya. Dalam masa peralihan ini, proletariat melakukan diktatur atas borjuasi. Sovyet adalah perwujudan diktatur proletariat. Tujuan Sovyet ialah menghapuskan kapitalisme dan mempersiapkan tumbuhnya komunisme.”

Selama masa peralihan, diktatur proletariat menasionalisasi industri-industri yang penting, artinya diserahkan kepada negara proletar. Dengan nasionalisasi, hak milik pribadi dihapus. Dengan demikian akan hapuslah anarchisme dalam produksi, yaitu: menghasilkan barang  yang satu sama lain tidak ada sangkut-pautnya. Sebagai gantinya diadakanlah rasionalisasi, yaitu menghasilkan barang-barang keperluan hidup menurut kebutuhan masyarakat. Dengan hapusnya hak milik perseorangan  dan anarchi dalam produksi, persaingan juga akan hapus dan hilang pulalah semua kelas sosial seperti kelas proletar dan kelas borjuasi.

Dengan hapusnya persaingan, tak akan berlaku lagi politik imperialisme, yaitu politik modal-bank sesuatu negara kapitalis untuk menjajah negara-negara lain guna menampung kelebihan hasil pabriknya. Sebagai gantinya tersusunlah hak milik bersama, produksi terencana, penukaran produksi dengan sukarela dan internasionalisme, yaitu: perdamaian, kerjasama dan persaudaraan antara berbagai bangsa di dunia. Pendeknya terciptalah masyarakat komunis, masyarakat tanpa kelas sosial.

Apa yang diuraikan di tas adalah teori komunis yang bisa menjadi kenyataan jika kapitalisme dunia jatuh serentak, sebagaimana yang hampir-hampir terjadi pada tahun-tahun pertama sesudah revolusi Bosjewiki di Rusia. Ternyata kapitalisme dunia tidak runtuh serentak, malah tertolong oleh golongan sosial demokrat. Bolsjewiki Rusia pun mengadakan langkah mundur pada tahun 1921. Langkah mundur ini harus diterima dalam arti ekonomi dan taktik. Negara Sovyet mengijinkan berlakunya kembali hak milik perseorangan kepada petani-petani yang merupakan 80% penduduk Rusia dan kepada burjuis-borjuis kecil di kota-kota. Perdagangan pun dilakukan atas dasar kapitalisme. Pendeknya para petani dan borjuis kecil dapat ditarik dalam barisan pendukung Negara Buruh. Inilah yang disebut PEB (Politik Ekonomi Baru).

PEB tidak hanya berlaku khusus di Rusia yang terbelakang, tapi juga di negeri-negeri kapitalis. Jika demikian halnya, PEB lebih penting lagi berlaku di Indonesia yang kapitalismenya bersifat kolonial dan tidak tumbuh secara tersusun dari masyarakat Indonesia sendiri  Ia dipaksakan dengan kekerasan oleh suatu negeri imperialis Barat dalam masyarakat feodal Timur. Dirumuskan lain proletariat Indonesia berada lebih rendah daripada proletariat Eropah Barat dan Amerika. Diktator proletariat yang tulen akan dapat membahayakan peri penghidupan ekonomi di Indonesia, terlebih jika revolusi dunia tak kunjung datang. Akibatnya  bagian yang terbesar daripada penduduk, yaitu orang-orang yang bukan proletar, sangat mudah dihasut melawan buruh Indonesia yang kecil jumlahnya.

Untuk menjamin peri penghidupan ekonomi di Indonesia dalam kemerdekaan nasional yang mungkin datang, kepada penduduk yang bukan proletar harus diberikan kesempatan mengusahakan hak milik perseorangan dan perusahaan-perusahaan kapitalis. Sudah barang tentu, perusahaan-perusahaan besar harus segera dinasionalisir. Dengan demikian kegiatan ekonomi rakyat dapat dikembangkan tanpa kekuatiran akan datangnya [kelas-kelas] lainnya. Dengan demikian perimbangan ekonomi antara proletar dan bukan proletar dapat dicapai dan dipertahankan.”

“Memang kita harus selalu ingat bahwa buruh Indonesia menurut kualitas dan kuantitasnya ada rendah, sedang orang-orang bukan proletar berjumlah besar dan revolusioner. Karenanya dalam ‘INDONESIA MERDEKA’ cara bagaimana pun kepada orang-orang bukan proletar harus diberikan kesempatan mengeluarkan suaranya. Akan tepat adanya, jika buruh dalam perang kemerdekaan nasional yang mungkin datang, mewujudkan barisan pelopor bagi seluruh rakyat, maka perusahaan-perusahaan besar akan jatuh di tangannya, dan selaras dengan itu kekuasaan politik. Perimbangan politik dengan orang-orang bukan proletar akan mudah diciptakan, yang sangat penting adanya bagi Indonesia Merdeka. Perkembangan selanjutnya tergantung kepada keadaan internasional dan lebih lanjut pada perkembangan industri di Indonesia sendiri.

Daftar Pustaka

Malaka, T 1962, Menuju Republik Indonesia, dilihat tanggal 24 Juni

2015https://www.marxist.org.

Suseno, FM 2000, Madilognya Tan Malaka, dilihat tanggal 24Juni 2015

https://hmimipaub.4t.com/Madilog%20nya%20Tan%20Malaka.

Dharma, Rajif. “Pemikiran Politik Tan Malaka Menuju Kemerdekaan Indonesia”. Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah. Volume 11 Nomor 1, Juni 2013. Hlm. 1-70

9 comments to Review Teori Tan Malaka

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: