Pendahuluan

Masyarakat merupakan sekumpulan orang atau manusia yang membentuk suatu sistem sosial yang didalamnya terdapat komunikasi satu sama lain dan memiliki tujuan tertentu. Sejak dilahirkan manusia mempunyai naluri untuk hidup bergaul dengan sesamanya. Naluri ini merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, yaitu kebutuhan afeksi, kebutuhan inklusi, dan kebutuhan kontrol. Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dilaksanakan melalui suatu proses yang disebut interaksi sosial.

Interaksi yang terjadi di dalam masyarakat menyangkut hubungan timbal balik antar individu, antar individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Hal tesebut dapat terjadi karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan dengan yang lainnya. Ketergantungan tersebut disebabkan karena kebutuhan manusia yang berbeda satu sama lain. Setiap orang tidak akan mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa adanya bantuan ataupun campur tangan dari orang lain.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, untuk memenuhi kebutuhan sering kita jumpai orang-orang yang melakukan tindakan ekonomi dalam bentuk transaksi barang dan jasa dengan menggunakan uang ataupun sesuatu yang memiliki nilai yang sepadan. Hal inilah yang kemudian dinamakan sebagai transaksi dalam bentuk jual beli, ataupun dengan menggunakan pertukaran. Dalam hal ini, memang transaksi jual beli yang lebih sering dijumpai di masyarakat. Akan tetapi di dalam masyarakat yang masih mengutamakan sebuah prinsip gotong royong, masih sering dijumpai transaksi pertukaran dalam wujud barang dan jasa, dan yang menjadi ciri khas tersendiri yaitu pertukaran tersebut dilakukan secara timbal balik. Pertukaran ini tidak hanya sebatas pertukaran untuk mendapatkan kebutuhan yang diinginkan saja, tapi juga sebagai alat untuk untuk menciptakan kerukunan di masyarakat. Dalam ilmu antropologi sendiri, hal itu sering disebut dengan Resiprositas.

Resiprositas

Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Polanyi (1998) memeberi batasan resiprositas sebagai perpindahan barang atau jasa sacara timbal balik dari kelompok-kelompok yang berhubungan secara simetris. Polanyi (1998:10) mengungkapkan:

Reciprocity is enormous facilitated by the instituional pattern of symmetry, a frequent feature of social organization among non-literate peoples.

Tanpa adanya syarat hubungan yang bersifat simetris antar kelompok atau individu tersebut, maka kelompok-kelompok atau individu tersebut cenderung tidak saling menukarkan barang atau jasa yang mereka miliki. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dimana masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses petukaran berlangsung. Jadi, sebagai model misalnya, seorang petani mengundang tetangganya, termasuk kepala desanya, untuk ikut kenduri selamatan atas kelahiran anaknya. Pada waktu yang lain kepala desa mengundang juga untuk pristiwa yang serupa. Pada aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda, mereka sama-sama sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai warga desa mereka mempunyai derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda. Dalam peristiwa tersebut mereka peranannya sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang.

Konsep resiprositas berbeda dengan konsep redistribusi karena adanya hubungan simetris tersebut sebagai syarat timbulnya aktivitas resiprositas. Sebaliknya, aktivitas redistribusi memerlukan syarat adanya hubungan asimetris, yang ditandai oleh adanya peranan individu-individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki di dalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dan jasa dari anggota-anggota kelompok kemudian didistribusikan kembali ke dalam kelompok tersebut dalam bentuk barang atau jasa yang sama atau berbeda.  Ontoh redistribusi, misalnya, kewajiban warga masyarakat untuk membiayai pesta desa dan melakukan kerja bakti. Masyarakat menyediakan dana dan tenaga untuk aktivitas tersebut, kemudian mereka menikmati hasil partisipasi mereka bersama. Dalam aktivitas tersebut kelompok sebagaisuatu organisasi mendelegasikan wewenag kepada individu tertentu untuk mengontrol pelaksanaan dari aktivitas tersebut.

Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personal di antara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama dan masih dan masih hidup dalam tradisi nir-tulisan. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat agar mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antar pelaku kerjasama resiprositas sangat rendah, sehingga pengingkaran pun semakin mudah muncul.

Proses pertukaran resiprositas bukan hanya suatu proses yang pendek, namun juga dapat panjang, yaitu jangka waktunya memakan waktu bukan sekejab seperti proses jual-beli. Bahkan proses tersebut bisa berlangsung spanjang hidupnya individu dalam mayarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan anak keturunannya. Seoranag petani, misalnya sejak kecil dia mewakili orang tuanya ikut gotong royong mencangkul di sawah tetangga, kemudian ketika besardan kawin dia menjalin hubungan kerjasama gotong royong dengan tetangganya serta keturunan mereka. Kelak ketika dia sudah mati, kerjasama tersebut tetapditeruskan anak keturunan mereka.

Bentuk Resiprositas

Menurut Shlins ada tiga macam resiprositas, yautu: Resiprositas umum (generalized Reciprocity), Resiprositas negatif (negative Reciprocity), dan resiprositas sebanding (balanced reciprocity).

  1. Resiprositas umum (generalized Reciprocity)

Dalam resiprositas ini, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu mengembalikan. Dalam pertukaran masing-masing pihak percaya bahwa mereka akan saling memeberi, dan percaya bahwa barang dan jasa yang diberikan akan dibalas entah kapan. Sehingga juga bisa dikatakan bahwa resiprositas umum berlaku di kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Berdasarkan faktor genetis mereka mempunyai naluri untuk meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya.

Dalam resiprositas umum tidak ada hukum-hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mngembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima rseiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran mungkin akan dinilai sebagai suatu perbuatan munafik, dosa, durhaka, curang, tidak jujur, tidak bermoral dan sebagainya. Pelanggaran tersebut kemudian bisa mendapat tekanan moral dari masyarakat atau kelompok yang mungkin berupa umpatan, peringatan lisan, atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya. Sangsi hukum tidak berlaku dalam resiprositas ini, kecuali kalau resiprositas tersebut adalah resiprositas sebanding yang sangsinya dalam masyarakat tertentu dapat berupa sangsi hukum dengan memakai hukum adat.

  1. Resiprositas Negatif (negative reciprocity)

Resiprositas negatif merupakan resiprositas yang dikatakan sudah terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar. Transformasi ekonomi di bidang system pertukaran yang terjadi dinegara berkembang merupakan suatu proses yang terus berjalan. Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar. Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran  tradisional  diganti  oleh  bentuk  pertukaran  modern. Kedua,  adalah munculnya dualisme pertukaran. Dengan berkembangnya uang sebagai alat tukar, maka berang dan jasa akan kehilangan nilai simbolik yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Hal inilah yang disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada. Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang karena kegiatan masyarakat yang semakin money oriented membuat nilai-nilai keikhlasan untuk selalu membantupun berkurang.

  1. Resiprositas Sebanding

Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Kecuali itu dalam pertukaran tersebut disertai pula dengan kapan pertukaran itu berlangsung: kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan. Pertukaran ini dapat dilakukan individu, dua atau lebih dan dapat dilakukan dua kelompok atau lebih.

Dalam pertukaran ini masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari partnernya, namun masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok yang melakukan  transaksi bukan sebagai unit sosial, satu satuan sosial, melainkan sebagai unit-unit sosial yang otonom. Jadi berbeda dengan resiprositas umum di mana individu-individu atau kelompok-kelompok terikat oleh solidaritas yang kuat sehingga mereka merupakan satu unit, satu satuan sosial yang utuh.

Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan dengan adanya norma-norma sosial untuk mengontrol individu-individu dalm melakukan transaksi. Bila individu melanggar perjanjian resiprositas, ia mungkin mendapat hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat. Resiprositas sebanding berada di tengah-tengah antara titik ekstrim dari resiprositas umum dengan resiprositas negatif. Jika resiprositas sebanding bergerak ke arah resiprositas umum, maka hubungan sosial yang terjadi mengarah ke hubungan setiakawanan dan hubungan sosial yag intim (Sahlins, 1974: 194). Sebaliknya jika bergerak ke arah resiprositras negatif, maka hubunga sosial yang terjadi bersifat tidak setia kawan, masing-masing pihak saling berusaha  mendapatkan keberuntungan dari lawannya.

Reiprositas dalam masyarakat Madugowongjati

Masayarkat desa Madugowongjati merupakan masyarakat yang ramah, hidup rukun, pekerja keras, dan saling bergotong royong dalam melakukan sebuah pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Masyarakat tersebut lebih suka menyelesaikan suatu persoalan dengan jalan musyawarah, dan merekapun menghindari terjadinya suatu pertentangan ataupun konfik di dalam masyarakat desa. Karena masyarakat sendiri juga paham dan sadar ketika mereka saling mementingkan egonya satu sama lain dan tidak memperdulikan orang di sekitarnya, maka yang akan terjadi adalah permusuhan di dalamnya. Dari dasar kerukunan yang ada di dalam masyarakat desa Madugowongjati, kemudian berkembang menjadi lebih luas, tidak hanya kerukunan dalam aspek sosial saja yang terjadi, tetapi kerukunan itu juga muncul dalam hal kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi tersebut muncul karena masyarakat memiliki kebutuhan, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka saling bekerjasama satu sama lain.

Kerjasama ekonomi tersebut dapat diketahui karena adanya pembagian peran dalam masyarakat, yaitu dengan peran masyarakat sebagai produsen, distributor, dan konsumen. Ketiga peran ini saling berhubungan satu sama lain, ada masyarakat yang memang menyediakan atau memproduksi barang dan jasa yaitu sebagi produsen. Contoh sederhananya yaitu banyak masyarakat madugowongjati yang menjadi petani dan mereka menghasilkan padi sendiri untuk kemudian dikonsumsi sendiri ataupun ataupun untuk dijual kepada orang lain. Di sisi lain ada juga msyarakat yang berperan sebagai distributor atau mereka yang menyalurkan barang atau jasa kepada konsumen (menjadi perantara). Contohnya, tidak hanya padi atau beras saja yang menjadi kebutuhan utama masyarakat, tapi untuk mengolah padi menjadi beras dan beras menjadi nasi pun itu adalah bagian dari kebutuhan, misal saja untuk menanak nasi seseorang harus menggunakan gas atau kayu sebagai bahan bakar, atau mungkin dengan menggunakan mesin penanak nasi (rice cooker). Hal tersebut tidak mungkin dimiliki langsung oleh pribadi tanpa sebelumnya harus membeli di warung atau toko-toko yang memperjual belikan barang tersebut. Dan warung atau toko yang memperjual belikan barang tersebut pun tidak mungkin menghasilkan barang itu sendiri, akan tetapi mendapatkannya dari pihak lain yang disebut produsen. Sedangkan untuk konsumen sendiri yaitu orang-orang atau masyarakat yang memakai nilai guna dari suatu barang atau jasa. Contohnya, untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam menutup aurat, masyarakat harus menggunakan busana atau pakaian yang bisa mereka dapat dari produsen ataupun distributor.

Untuk menjalankan peran sebagai produsen, distributor, dan konsumen diperlukan juga adanya alat tukar yang memiliki nilai yaitu uang. Dengan uang, kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, Baik itu kebutuhan yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier. Sebagai contoh saja untuk membeli sesuatu harus menggunakan uang, dan besar kecilnya nominalnya pun tergantung dengan kualitas barang tersebut. Apabila besarnya uang tidak sesuai dengan kualitas barang, maka salah satu pihak masih memiliki tanggungan atau kewajiban untuk mengganti kekurangannya. Sehingga dapat dikatakan uang memiliki kekuatan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun dalam masyarakat desa Madugowongjati kondisi yang demikian tidak menjadi permasalahan, individu di dalamnya tidak terlalu menuntut individu lain agar mampu menyesuaikan diri satu sama lain dalam memenuhi kebutuhannya berkaitan dengan nilai suatu barang, akan tetapi masyarakat lebih menekankan pada keinisiatifan atau kesadaran diri masing-masing terhadap hubungan timbal balik yang ada di masyarakat. Contohnya ketika ada orang yang sedang sakit biasanya bebrapa orang memilih untuk pergi ke tempat pijit saja daripada pergi ke dokter dan setelah dipijit, orang yang sakit tersebut tidak membayarnya dengan menggunakan uang, melainkan hanya sebatas memeberikan beras seikhlasnya kepada yang telah memijit tadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan suatu jasapun tidak perlu menggunakan uang, akan tetapi dengan menggunakan barang yang memiliki nilai sepadanpun bisa.

Tanpa disadari, konsep resiprositas telah ada dalam masyarakat desa Madugowongjati. Hal tersebut menyebabkan adanya hubungan timbal balik di dalam masyarakat yang menumbuhkan keharmonisan ataupun rasa saling memiliki di dalam masyarakat. Contoh nyata yang memang seringkali dapat dijumpai dalam masyarakat yaitu ketika ada salah satu warga yang sedang memiliki hajat, pasti tetangga-tetangga sekitarnya akan berinisiatif dalam menyumbangkan tenaga atau bahkan hartanya dalam membantu melaksanakan hajat tetangganya tersebut. Bahkan hal tersebut terjadi tanpa adanya harapan untuk mendapatkan balasan dari yang memiliki hajat. Sehingga kemudian hanya perasaan memiliki tanggung jawablah yang tumbuh didalam masyarakat, dan keadaan yang seperti contoh tadi bersifat timbal balik. Maksudnya, walaupun setiap warganya tidak memiliki harapan untuk mendapatkan balasan dari oarang lain terhadap apa yang diberikan kepadanya, namun inisiatif dari orang lainlah yang muncul untuk membalas perbuatan tersebut. Hal inilah yang pada akhirnya berlangsung secara terus-menerus di dalam masyarakat desa Madugowongjati, dan sampai sekarang tetap terjaga keberadaannya.

Kesimpulan

Konsep resiprositas sebenarnya sudah ada di dalam masyarakat tanpa masyarakat itu sendiri sadari. Di dalam resiprositas terdapat pola hubungan timbal balik, dimana pola hubungan tersebut terbentuk di dalam masyarakat berdasarkan perasaan kesadaran diri setiap individunya. Berkaitan dengan konsep tersebut, Setiap individu sebenarnya tidak mengharapkan adanya suatu imbalan, namun keadaan orang lainlah yang menginginkan untuk memberikan sesuatu.

Daftar Pustaka

https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/2076

https://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/pengertian-masyarakat/

artikel ini dibuat oleh: Hafid Setiaji