PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat pedesaan memiliki ikatan kekerabatan yang erat satu dengan yang lain. Ikatan kekerabatan tidak hanya berlaku untuk orang yang memiliki ikatan darah, namun juga terjadi terhadap orang yang rumahnya berdekatan dan orang yang sering berhubungan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang menjadikan eratnya kekerabatan pada masyarakat pedesaan adalah adanya kegiatan-kegiatan yang menyatukan mereka, seperti halnya tradisi, pengajian, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Terjadinya hal yang demikian dikarenakan masyarakat pedesaan bersifat homogen. Mereka memiliki banyak kesamaan, di antaranya adalah kesamaan mata pencaharian, status sosial, asal daerah, nenek moyang, dan sebagainya. Selain itu, besarnya ketergantungan dengan alam turut menambah eratnya hubungan kekerabatan masyarakat pedesaan untuk mengatasai gejala-gejala alam yang mengalami perubahan secara tak menentu.

Eratnya ikatan kekerabatan pada masyarakat pedesaan menumbuhkan rasa kepedulian antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Mereka saling melengkapi satu dengan yang lain. Jika terdapat anggota masyarakat yang mengalami kesulitan maka anggota masyarakat yang lain tak sungkan untuk membantu. Begitu juga jika terdapat anggota masyarakat yang sedang mendapatkan kebahagiaan maka dia akan berbagi kebahagian dengan anggota masyarakat yang lain, seperti berbagi makanan, barang, dan lainnya. Oleh karena itu hubungan yang baik antar sesama manusia pada masyarakat pedesaan –terutama masyarakat Jawa– sangatlah penting. Mereka menjunjung tinggi konsep rukun, isin, dan urmat. Hingga pada masyarakat Jawa terdapat pula semboyan “mangan ora mangan asal kumpul”.

Eratnya ikatan kekerabatan pada masyarakat pedesaan yang memunculkan aktifitas saling tolong menolong, menimbulkan adanya resiprositas yang secara sederhana adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok (Sairin, dkk, 2002)

Tujuan

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberi pengetahuan mengenai resiprositas yang terkandung dalam acara pengajian rutin di Desa Kradenan Kota Pekalongan. Dari hal tersebut diharapkan rasa saling tolong-menolong pada masyarakat dapat terus ada, karena itu merupakan hal yang baik yang telah membudaya sebagai perilaku keseharian nenek moyang kita.

PEMBAHASAN

Pengajian Rutin di Desa Kradenan

Desa Kradenan merupakan desa yang berada di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Masyarakat Desa Kradenan masih menjunjung tinggi nilai religius yaitu Islam, bahkan terdapat anggapan bahwa masyarakatnya kebanyakan adalah santri. Di sana masih sering diadakan pengajian. Pengajian tersebut dilaksanakan untuk merayakan hari-hari besar Islam dan ada pula yang dilaksanakan rutin setiap seminggu, sebulan, atau selapanan sekali. Pengajian yang diselenggarakan antara lain berupa marhabanan, yasinan, dan pengajian kitab kuning.

  • Marhabanan

Marhabanan merupakan kegiatan pembacaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini dilaksanakan seminggu sekali, biasanya setiap malam Jum’at. Marhabanan dilaksanakan di musholla maupun masjid, dan ada pula yang dilakukan di rumah warga secara bergiliran. Kitab maulid yang dibaca adalah Simthudduror atau Diba’. Kegiatan ini diikuti semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.

  • Yasinan

Yasinan merupakan kegiatan pembacaan surat Yasin secara bersama-sama. Kegiatan ini dilaksanakan seminggu sekali, biasanya setiap malam Selasa. Yasinan dilaksanakan di rumah warga secara bergiliran. Sebagian besar jamaah Yasinan adalah anak muda.

  • Pengajian kitab kuning

Pengajian kitab kuning yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kradenan biasanya adalah kitab Fiqih, yaitu mengenai urusan ibadah manusia. Kegiatan ini dilaksanakan seminggu sekali pada sore hari, bertempat di musholla maupun masjid. Sebagian besar yang mengikuti kegiatan tersebut adalah kalangan orang tua.

Resiprositas pada Pengajian Rutin di Desa Kradenan

Desa Kradenan walaupun secara administratif berada di wilayah kota, namun masyarakatnya masih menjunjung nilai-nilai sebagaimana yang terdapat di daerah pedesaan. Antara lain saling berbagi, saling tolong-menolong, gotong royong, dan lain sebagainya agar terasa ringan dalam melakukan suatu hal atau kegiatan. Nilai-nilai tersebut masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga pada pengajian yang dilakukan masyarakat Desa Kradenan, dan mungkin juga daerah lain, yang di dalamnya terdapat konsep resiprositas.

Resiprositas dijelaskan secara sederhana oleh Sjafri Sairin, dkk dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi Ekonomi, yaitu pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Masyarakat Desa Kradenan dalam menyelenggarakan pengajian menggunakan konsep tersebut, yaitu secara bergantian dalam mengurus penyelenggaraannya. Pada pengajian yang diselenggarakan di musholla atau masjid, masyarakat bergantian dalam menyediakan jajan atau makanan. Biasanya setiap penyelanggaraan pengajian terdapat satu atau dua orang penyedia jajan. Mereka mengajukan diri sendiri, tidak dengan paksaan. Hal ini berlaku untuk kegiatan pengajian marhabanan, manaqiban, dan kitab kuning. Sedangkan pengajian yang diselenggarakan di rumah, masyarakat bergantian menyediakan tempat untuk pelaksanaan pengajian beserta jajan atau makanan untuk jama’ahnya. Hal ini berlaku untuk kegiatan pengajian yasinan dan marhabanan keliling.

Pengajian rutin di Desa Kradenan dengan cara bergiliran dapat terus berjalan hingga sekarang. Hal tersebut dikarenakan tidak terdapat stratifikasi sosial yang menonjol, masyarakat setempat cenderung bersifat homogen. Masyarakat Desa Kradenan sebagian besar merupakan penduduk asli daerah setempat. Dari segi tingkat ekonomi tidak terdapat perbadaan yang mencolok. Sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor produksi batik, ada yang sebagai buruh dan beberapa sebagai juragan, dan sebagian kecil lainnya sebagai penjahit, karyawan pabrik, pegawai kantor, serta pegawai negeri. Namun di antara mereka juga tidak terdapat perbadaan yang menonjol. Seperti yang diungkapkan Sairin, dkk (2002), bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Halperin dan Dow, dijelaskan dalam Pengantar Antropologi Ekonomi (Sairin, dkk, 2002: 47), juga berpendapat bahwa keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh struktur masyarakat yang egaliter, yaitu suatu masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuasaan politik relatif terdistribusi merata di kalangan warganya. Struktur masyarakat yang egaliter ini memberi kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas. Hal tersebut didorong lagi oleh kegiatannya yang bersifat religius sehingga perbedaan pekerjaan, tingkat ekonomi, dan kependudukan tidak begitu diperhatikan.

Khusus untuk pengajian keliling rumah –yaitu yasinan dan marhabanan– jama’ahnya adalah kalangan pemuda. Terdapat yasinan dan marhabanan masing-masing antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut termasuk salah satu faktor pendukung terjadinya resiprositas, dalam hal ini adalah kesamaan usia dan jenis kelamin yang mendorong adanya hubungan timbal balik di antara mereka.

Dengan konsep resiprositas, masyarakat Desa Kradenan dapat terus melaksanakan pengajian rutin tanpa ada rasa keberatan. Mereka dengan sukarela bergantian menjadi penyedia jajan atau makanan. Mungkin merasa ewuh (ada perasaan tidak enak) jika biasa mendapatkan jajan atau makanan dari pengajian rutin tersebut, tapi tidak mau bergantian menyediakan jajan atau makanan. Untuk menghindari adanya rasa tidak ikhlas dalam memberi jajan dikarenakan hanya sekadar menghindari rasa tidak enak dengan jama’ah yang lain, pemberian jajan (biasa juga disebut maceti oleh masyarakat setempat) bersifat ala kadarnya. Tidak ada ketentuan atau tuntutan jenis jajan yang harus disediakan. Dengan Rp. 2.000,00 cukup untuk menyediakan jajan setiap orangnya. Biasanya dalam maceti cukup dengan menyediakan wedang (sebutan minuman teh oleh masyarakat setempat) dan dua jenis jajan, seringnya berupa gorengan, jajanan ringan, buah-buahan, roti, atau lainnya. Terkadang dilakukan iuran untuk mengurangi beban dalam penyediaan jajan. Hal tersebut lebih khusus dilakukan pada yasinan, karena jama’ahnya sebagian besar merupakan pemuda yang sudah bekerja dan biasanya yang disediakan pada kegiatan tersebut adalah hidangan makanan. Pergantian dalam penyediaan jajan atau makanan tersebut setiap orangnya mendapat giliran sekitar tiga bulan sekali.

Terjadinya konsep resiprositas tidak hanya pada cara bergiliran dalam penyediaan jajan atau makanan, namun pada proses dari penyediaannya juga. Ketika seseorang mendapat giliran menyediakan jajan atau makanan maka yang lain akan membantu, entah hanya membantu membawakan jajan dari rumah ke musholla ataupun turut memasak.

Pengajian rutin di Desa Kradenan termasuk resiprositas umum. Sesuai dengan penjelasan Sairin, dkk (2002), bahwa dalam resiprositas umum, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian. Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hukum-hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Resiprositas pada pengajian rutin ini tidak sesuai untuk dikategorikan sebagai resiprositas sebanding ataupun resiprositas negatif. Sairin dkk juga menjelaskan, bahwa reiprositas sebanding menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Pertukaran tersebut disertai pula dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberi, menerima, dan mengembalikan. Pada resiprositas sebanding ini keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada di tangan masing-masing individu. Resiprositas ini berada di tengah-tengah antara resiprositas umum dan resiprositas negatif. Sedangkan resiprositas negatif merupakan sistem pertukaran yang bersifat komersial. Pada pertukaran ini mulai mengenal adanya untung-rugi. Orang melakukan pertukaran untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain. Hal tersebut dikarenakan adanya intervensi sistem ekonomi barat yang mengarah pada sistem ekonomi pasar masyarakat Eropa. Seiring berjalannya waktu, terjadilah transformasi ekonomi dan resiprositas lambat laun semakin hilang tergantikan oleh sistem ekonomi uang.

PENUTUP

Simpulan

Pada pengajian rutin di Desa Kradenan Kota Pekalongan terdapat konsep resiprositas, yaitu pada penyediaan jajan atau makanan. Mereka secara bergantian mengajukan diri untuk menyediakan jajan. Hal tersebut terjadi secara sukarela dari masyarakat tanpa adanya paksaan. Terjadinya resiprositas tidak hanya pada cara pembagian penyedia jajan, namun juga pada proses penyediaannya. Mereka saling membantu ketika mendapat giliran sebagai penyedia jajan. Pendorong adanya resiprositas pada masyarakat Desa Kradenan dalam menyelenggarakan pengajian rutin adalah tidak adanya perbedaan yang terlalu menonjol pada masyarakatnya baik pada aspek pekerjaan, tingkat ekonomi, maupun kependudukan. Dari adanya resiprositas ini masyarakat tidak merasa keberatan untuk melaksanakan pengajian rutin setiap seminggu atau sebulan sekali. Resiprositas yang terjadi pada pengajian rutin ini termasuk resiprositas umum, seseorang menyediakan jajan karena di waktu lain juga biasa diberi jajan. Selain itu juga pada diri seseorang mungkin akan merasa ewuh jika tidak ikut menyediakan jajan.

DAFTAR PUSTAKA

Sairin, Sjafri, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.