Konsep Resiprositas dalam Tradisi Ater- Ater di Temanggung

helping_hand

Dusun Kauman merupakan salah satu kampung yang terletak di ujung timur Kabupaten Temanggung. Wilayah ini termasuk masih dalam distrik Kecamatan Kaloran yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang. Sebagian besar masyarakat disini merupakan petani ladang milik sendiri dan hanya sebagian kecil yang bekerja pada sektor industri dan perkantoran. Selain pekerjaannya yang homogen, karakteristik mereka sebagai masyarakat desa juga tidak lepas dari agama dan adat istiadat yang hampir sama. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk merupakan masyarakat yang hidup secara genetik, artinya mereka hidup dan bertempat tinggal secara turun temurun di daerah ini. Hanya ada beberapa keluarga saja yang merupakan warga pendatang. Keadaan ini mendorong mereka untuk dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai sebab adanya hubungan personal dan rasa kekerabatan yang kuat dan mendasar.

Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah kegiatan sosial yang unik dan mungkin tidak ditemui akan ditemui di masyarakat lain adalah tradsi “ater- ater”, yaitu tradisi  menghantarkan makanan untuk tetangga dekat dan sanak saudara ketika seseorang sedang memiliki hajat atau acara baik itu acara besar maupun kecil. Contoh : setiap Kamis atau malam Jumat selepas isya’ di kampung ini rutin diadakan acara tahlilan untuk mendo’akan anggota keluarga yang telah lebih dulu meninggal. Biasanya acara ini diadakan di tiap- tiap RT dalam satu kampung, yang dilakukan secara bergiliran dari satu rumah ke rumah yang lain setiap minggunya dan biasanya pula hanya diikuti oleh bapak- bapak saja.

Biasanya si empunya rumah (yang mendapat giliran acara tahlilan) akan mempersiapkan makanan sebagai wujud ucapan terima kasih atas kehadiran para tamu atau masyarakat lazim menyebutnya dengan “suguhan”. Selain itu juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Allah Swt. Suguhan ini biasanya berbentuk makanan kecil mulai dari beraneka macam kue tradisional , kerupuk camilan, dan lain- lain. Sebagai pelengkap untuk menikmati makanan ini biasanya disajikan dengan teh manis hangat.

Bukan hal ini yang akan kita bahas lebih mendalam, akan tetapi ada hal menarik lain dibaliknya. Ada satu tradisi yang telah hidup secara turun temurun dan menjadi kebiasaan masyarakat disini adalah tradisi “ater- ater” sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Si empunya acara biasanya akan menyediakan makanan lebih banyak daripada jumlah yang diperkirakan untuk disuguhkan dalam acara tahlilan nanti. Hal ini dimaksudkan untuk menghantarkan makanan yang akan disajikan dalam acara tahlilan nanti dan diberikan untuk tetangga dekat dan kerabat atau saudara dekat yang masih tinggal dalam satu kampung dengan mereka. Tujuannya tidak lain agar tetangga atau kerabat mereka dapat ikut merasakan makanan yang akan disuguhkan nanti. Secara tidak langsung hal ini juga menjadi salah satu wujud kehidupan manusia sebagai mahluk biologis dan sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain dan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang rukun. Selain itu hal ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi anak- anak maupun keturunan mereka untuk dapat hidup berbagi dan merupakan salah satu wujud melestarikan budaya yang telah hidup dalam lingkungan mereka.

Tidak ada batasan seberapa banyak makanan yang harus diberikan, hanya saja mereka memperkirakan jumlah makanan yang diberikan cukup untuk dimakan satu rumah yang mendapat hantaran tersebut. Selain itu juga tidak ada kewajiban batas waktu untuk mengembalikannya, sebab hal semacam ini biasanya akan dilakukan secara bergantian dari satu warga kepada warga yang lain yang sama- sama mendapat hantaran tersebut.

Entah darimana asal muasalnya, akan tetapi tradisi ini telah ada dan nyata hidup dalam masyarakat ini secara turun menurun. Memang tidak ada peraturan maupun hukum yang mengaturnya, akan tetapi pantang bagi masyarakat disini umtuk melanggar apa yang telah diturunkan oleh nenek moyang mereka sejak zaman dahulu. Biasanya bagi mereka yang melanggar tidak akan dikenai sanksi hukum secara tegas, akan tetapi hanya akan mendapat tekanan moral dari masyarakat sekitar seperti gunjingan, cemoohan, dan sebagainya.

Jika dilihat dari segi antropologi, maka tradisi “ater- ater” ini termasuk ke dalam konsep resiprositas umum dimana anggota masyarakat disini memberikan barang berupa makanan kepada anggota masyarakat yang lain tanpa menentukan batas waktu pengembaliannya. Tidak ada hukum-hukum yang ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai suatu kebenaran yang tiak boleh dilanggar. Orang yang melanggar resiprositas akan mendapat tekanan moral dari masyarakat atau kelompok yang mungkin berupa umpatan, peringatan, lisan atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat atau kelompoknya. Sistem resiprositas semacam ini berlaku di lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat, contohnya seperti yang telah disebutkan di atas bahwa masyarakat Dusun Kauman merupakan masyarakat yang hidup dan tinggal secara turun- temurun di daerah ini. Berdasarkan faktor-faktor genetis mereka mempunyai naluri untuk meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya bukan semata-mata dilandasi oleh harapan-harapan akan pengembalian dan haknya.

5 Responses to “Konsep Resiprositas dalam Tradisi Ater- Ater di Temanggung”

Leave a Reply

My Visitors
Following